Respon Positif Dunia atas Kekalahan Trump
(last modified Wed, 11 Nov 2020 13:49:14 GMT )
Nov 11, 2020 20:49 Asia/Jakarta
  • Donald Trump
    Donald Trump

Pengumuman hasil pemilu presiden 2020 di Amerika Serikat dan kemenangan Joe Biden, kandidat dari kubu Demokrat dengan perolehan lebih dari 270 suara elektoral di banding 214 suara elektoral Donald Trump, mendapat tanggapan positif di kancah internasional dan banyak negara termasuk Eropa yang mengucapkan selamat kepada Biden.

Meskipun Trump belum mengakui kekalahannya dan mendorong tindakan hukum, seperti penghitungan ulang, serta gugatan terhadap peradilan AS, termasuk Mahkamah Agung AS, kritik terhadap kebijakannya sudah dimulai. Faktanya, banyak negara di seluruh dunia yang telah dirugikan selama empat tahun terakhir oleh kebijakan sepihak pemerintahan Trump sekarang menunggunya untuk mundur pada Januari 2021 dan memulai era baru dalam hubungan dengan AS yang bertumpu pada kesepahaman dan kepentingan bersama.

Konflik selama pemerintahan Trump telah terjadi tidak hanya dengan kekuatan saingan AS seperti Rusia dan China, atau negara-negara yang telah dinyatakan Washington sebagai musuh, seperti Iran, Korea Utara, dan Venezuela, tetapi bahkan dengan mitra Washington di Eropa. Faktanya, pendekatan sepihak dan koersif Trump ke negara lain tidak hanya secara signifikan mengurangi citra Amerika, tetapi juga menyebabkan negara ini semakin terisolasi.

Donald Trump

Pejabat senior Eropa, termasuk pejabat Uni Eropa serta negara-negara penting di benua itu, telah bereaksi positif terhadap hasil pemilu AS, dan seraya menyambut kemenangan Biden, mereka mengkritik kebijakan dan tindakan Trump. Menteri Luar Negeri Jerman Heiko Maas dalam sebuah statemennya usai kemenangan Biden seraya mengkritik pemerintahan Trump dan kinerjanya mengatakan, “Kinerja Donald Trump, presiden AS saat ini di tingkat internasional telah menciptakan kendala besar bagi kita, Trump menyadari bahwa saat ini tiba saatnya untuk pergi.”

Pejabat senior Jerman tersebut merujuk pada masalah besar yang muncul selama pemerintahan Trump antara kedua sisi Atlantik akibat kebijakan sepihak Trump dalam kerangka slogan America First. Kendala besar ini memiliki beragam dimensi baik perdangan, ekonomi, militer, keamanan dan politik. Mengikuti kebijakan sepihak dan kebijakan yang sepenuhnya otoriter, Trump telah berusaha untuk memaksakan berbagai pendekatan dan tuntutannya pada mitra Washington di Eropa.

Dia telah berulang kali menyalahkan orang Eropa atas apa yang dia sebut kontribusi mereka yang tidak mencukupi untuk NATO, dan pada saat yang sama memicu kritik keras dari para pemimpin negara-negara besar Eropa dengan menarik diri dari perjanjian iklim Paris.

Trump selalu memiliki pendekatan yang menuntut kepada Eropa dan menuduh negara-negara penting di benua itu, terutama Jerman, menyalahgunakan Amerika Serikat untuk kepentingan mereka sendiri.

Selain itu, presiden kontroversial Amerika ini sejak awal menetapkan landasan yang tidak selaras di bidang mekanisme partisipasi Amerika di NATO dan menuntut peningkatan anggaran militer serta saham negara-negara Eropa anggota organisasi ini di anggaran NATO. Dalam hal ini, untuk menekan Berlin, ia menarik militer Amerika dari Jerman.

Sementara di bidang perdagangan dan ekonomi, Trump demi mensukseskan pendekatan proteksionisme ekonominya, bukan saja membuka medan perang dengan rival AS seperti Cina, bahkan juga terlibat konfrontasi dagang luas dengan mitra Eropa Washington yang sampai saat ini masih berlangsung.

Ali Khurram, pengamat hubungan internasional terkait kebijakan proteksionisme ekonomi Trump mengatakan, terkait bahwa mengapa Trump mengambil kebijakan ekonomi seperti ini adalah karena ia kurang pandai, tidak memiliki informasi atas kondisi hubungan internasional. Faktor kedua adalah Trump berpikir untuk memimpin negara lain sebagai komandan utama dunia. Dan negara lain akan melaksanakan setiap instruksinya.

Trump dan sanksi Iran

Di sisi lain, Trump menarik diri dari perjanjian internasional, terutama perjanjian yang sangat penting bagi Eropa, seperti Perjanjian Iklim Paris, perjanjian nuklir JCPOA, perjanjian kontrol senjata seperti Traktat Angkatan Nuklir Jangka Menengah (JNF) dan perjanjian Langit Terbuka, di mana hal ini secara praktis telah membahayakan keamanan dunia secara serius.

Di saat yang sama, Trump selalu memandang rendah negara lain, termasuk sekutu Washington di Eropa, dan berulang kali mempermalukan para pemimpin Jerman seperti Angela Merkel dan Emmanuel Macron dengan literatur pedas. Penarikan diri dari organisasi dan institusi internasional juga menyebabkan penurunan tajam dalam posisi global Amerika.

Contohnya adalah pendekatan bermusuhan Trump terhadap Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan pemotongan bantuan keuangan Washington, dan pada akhirnya penghentian kerja sama dengan organisasi internasional ini, yang di tengah epidemi virus Corona dan COVID-19 telah menimbulkan banyak kritik baik dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) maupun para rival, sekutu dan mitra internasional Washington.

Tindakan Trump, yang telah menyebabkan semakin meningkatnya isolasi Amerika Serikat di dunia, telah membuat Biden mengakui bahwa Trump telah mengikis rasa hormat AS di dunia. Mantan Ketua Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa, Federica Mogherini juga mengaku optimis bahwa presiden terpilih Amerika dengan mengubah jalur ke arah apa yang ia sebut sebagai nilai-nilai mendasar negara ini, akan kembali ke multilateralisme termasuk kesepakatan nuklir dengan Iran.

Tentu saja, bukan hanya mitra Eropa Washington yang senang dengan kepergian Trump dan penggantian Biden, tetapi juga politisi dan negara rival Amerika Serikat. Cina mengatakan akan segera meluncurkan vaksin Corona, yang merupakan semacam penolakan terhadap tuduhan Trump atas peran Beijing dalam epidemi virus Corona.

Selama masa kepresidenan Donald Trump, Amerika Serikat telah mengintensifkan konfrontasinya dengan Cina di berbagai bidang, berusaha untuk memaksakan tuntutannya kepada Beijing tidak hanya dalam hal perdagangan dan ekonomi, tetapi juga dalam urusan dalam negerinya, terutama di kedua kawasan Hong Kong dan Xinjiang dengan dalih hak asasi manusia.

Dalam beberapa bulan terakhir, hubungan antara kedua negara anjlok akibat krisis yang disebabkan oleh epidemi virus Corona dan Cina dituduh lalai dalam hal ini, serta seringnya campur tangan Washington dalam urusan dalam negeri Cina dan upaya AS untuk memaksakan persyaratan perdagangannya kepada Beijing. Meskipun ada perjanjian perdagangan bilateral antara pemerintahan Trump dan pemerintah China pada Januari 2020, kedua negara itu bergerak ke arah peningkatan ketegangan bilateral. Amerika Serikat dan Cina berada di ambang Perang Dingin baru, demikian menurut Menteri Luar Negeri Cina Wang Yi.

Di sisi lain, hubungan AS dengan Rusia sangat tegang pada masa pemerintahan Trump. Salah satu topik yang menjadi perbincangan melawan Moskow di Amerika Serikat dalam beberapa tahun terakhir adalah dugaan keterlibatan Rusia dalam pemilu AS. Di saat yang sama, para pejabat senior AS selalu menganggap Rusia sebagai ancaman keamanan terbesar bagi negaranya., oleh karena itu mereka menfokuskan upayanya untuk menerapkan represi maksimum kepada Moskow selama era Trump.

Di antara tekanan tersebut adalah pengesahan dan penerapan undang-undang CATSA (Countering America's Adversaries Through Sanctions Act) sejak Agustus 2018, yang menjatuhkan sanksi yang sangat luas terhadap Moskow. Pemerintahan Trump, sementara itu, telah fokus pada pemblokiran implementasi pipa gas Nord Stream 2, yang membawa gas Rusia ke Jerman dan dari sana ke bagian lain Eropa. Di sisi lain, Pentagon dan para pemimpinnya, selalu berusaha untuk menggambarkan Rusia sebagai musuh utama NATO, dan dengan demikian memaksa Eropa untuk berbaris melawan Moskow.

AS-Rusia

Salah satu kinerja negatif terpenting Trump di tingkat internasional adalah sikap permusuhannya terhadap kesepakatan nuklir JCPOA. Trump yang berulang kali mengkritik keras JCPOA dan menyebutnya sebagai kesepakatan terburuk bagi AS, pada 8 Mei 2018 secara sepihak dan melanggar komitmen Washington di JCPOA mengumumkan negaranya keluar dari kesepakatan ini dan kembali menerapkan sanksi nuklir ilegal terhadap Tehran. Langkah ini menuai kecaman luas baik di dalam negeri Amerika maupun di tingkat internasional, khususnya kelompok 4+1.

Anggota kelompok 4+1 khususnya pihak Timur yakni Rusia dan Cina meyakini, mengingat resolusi 2231 Dewan Keamanan PBB, JCPOA telah dibenarkan dan oleh karena itu, AS dengan keluar secara ilegal dari kesepakatan ini, bukan saja telah melakukan pelanggaran nyata, bahkan telah memaksa negara lain untuk menginjak-injak resolusi penting Dewan Keamanan ini.

Sikap Moskow dan Beijing sebagai anggota Kelompok 4+1 adalah menekankan pentingnya mempertahankan JCPOA yang disepakati oleh pihak Eropa yakni Uni Eropa dan Jerman, Prancis serta Inggris. Adapun pemerintah Trump tetap bersikeras untuk melanjutkan represi maksimum dan sanksi terhadap Iran meski ada pandemi Corona dengan harapan Tehran bersedia memenuhi tuntutan tamak pemerintah Trump dalam bentuk 12 syarat. Pemerintah Trump meski melakukan segala cara ini, tapi tetap gagal mensukseskan kebijakannya terhadap Iran dan mendapat kritikan pedas.

Paul Pillar, pakar politik Amerika seraya mengisyaratkan kekalahan strategi tekanan maksimum terhadap Iran menekankan, ada banyak indikasi yang meyakinkan para pengamat bahwa langkah Trump meningkatkan tekanan untuk membuat Iran menyerah telah gagal, bahkan para pendukung strategi ini juga mengakui kegagalannya. Kini dengan kegagalan nyata Trump di pilpres, sejatinya kebijakannya selama pemerintahannya akan dikejar termasuk kebijakan represi maksimum terhadap Iran yang gagal.

Semantara itu, negara-negara yang menghadapi kesulitan serius selama pemerintahan Trump di AS, kini berharap terbuka jalan baru di interaksi bilateral. Presiden Venezuela, Nicolas Maduro, negara yang paling banyak mendapat sanksi di era Trump, menyatakan kesiapannya berunding dengan pemerintahan baru Amerika. Adapun tokoh-tokoh anti imperialisme juga menyebut kepergian Trump sebuah tanda baik.

Evo Morales, mantan presiden Bolivia saat merespon kemenangan Joe Biden mengatakan, “Saya senang Trump yang fasis dan rasis kalah. Tapi saya tidak senang karena Biden menang, tapi Saya senang karena kekalahan Trump.”

Sikap ini menunjukkan bahwa tidak boleh terlalu senang dengan kemenangan Biden, karena terlepas siapa yang memimpin Amerika, baik itu, Demokrat maupun Republik, namun tujuan jangka panjang Washington khususnya hegemoni global, melawan negara rival dan penentang dengan kekuatan keras atau semi lunak khususnya sanksi serta kekuatan lunak yakni perang propaganda, senantiasa menjadi acuan kebijakan Gedung Putih dan dalam hal ini hanya metodenya yang berubah.

Selain itu, akhir empat tahun kepemimpinan Trump bukan berarti berakhirnya arus Trumpisme dan juga bukan berarti tertutupinya kesenjangan sosial dan budaya mendalam yang telah membagi masyarakat Amerika menjadi masyarakat dua kutub.