Ketika Rezim Zionis Terpaksa Menerima Gencatan Senjata
Akhirnya, setelah 14 bulan perang dan konflik antara rezim Zionis dan Hizbullah Lebanon, gencatan senjata selama 60 hari dilakukan antara kedua belah pihak Rabu (27/11) pagi.
Esmaeil Baghaei, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Iran menyambut baik penghentian agresi rezim Zionis terhadap Lebanon dan menekankan dukungan kuat Republik Islam Iran kepada pemerintah, bangsa, dan perlawanan Lebanon.
Mohammed Raad, Ketua Faksi Hizbullah di Parlemen Lebanon mengatakan, Partai ini terbuka terhadap formula apa pun yang dapat melindungi negara dari ancaman eksistensial dan bahaya musuh.
Gencatan senjata ini diterapkan dalam situasi di mana rezim Zionis, meskipun melakukan serangan udara dan darat yang ekstensif selama berbulan-bulan, tidak dapat meraih kemenangan dari pasukan Perlawanan Islam Lebanon dan mencegah serangan roket dan rudal jauh ke wilayah pendudukan.
Oleh karena itu, pengumuman gencatan senjata telah menimbulkan reaksi negatif dari sebagian besar politisi Zionis, dan para penentang Benjamin Netanyahu, Perdana Menteri rezim Zionis telah mengakui bahwa penerimaan gencatan senjata ini menunjukkan kekalahan telak bagi militer rezim ini melawan Hizbullah Lebanon.
Yair Lapid, pemimpin oposisi terhadap kabinet Netanyahu menulis dalam sebuah tweet, Kabinet terpaksa menerima gencatan senjata dengan Hizbullah, dan Netanyahu gagal mengubah keuntungan militer menjadi kemenangan politik.
Naftali Bennett, mantan Perdana Menteri Rezim Zionis menilai perjanjian gencatan senjata merupakan kegagalan total di bidang diplomasi dan keamanan bagi Netanyahu.
Hasil survei Channel 13 TV Rezim Zionis juga menunjukkan bahwa 61% penduduk Wilayah Pendudukan percaya bahwa tentara rezim ini belum menang.
Sejak 7 Oktober 2023, dengan dukungan penuh negara-negara Barat, rezim Zionis melancarkan pembantaian besar-besaran di Jalur Gaza dan Tepi Barat Sungai Yordan terhadap rakyat Palestina yang tidak berdaya dan tertindas.
Setelah itu, rezim ini menyerang bagian selatan Lebanon dan membunuh sejumlah besar warga sipil.
Diamnya masyarakat internasional dan lembaga hak asasi manusia terhadap kejahatan rezim penjajah Zionis menyebabkan berlanjutnya tindakan tidak manusiawi dan brutal rezim Zionis dalam pembunuhan perempuan dan anak-anak Palestina dan Lebanon.
Hizbullah Lebanon tidak tinggal diam menghadapi penargetan warga sipil di negara ini dan Jalur Gaza, dan merencanakan berbagai operasi terhadap posisi dan pemukiman Zionis di utara Palestina yang diduduki, yang berlanjut hingga Rabu (27/11) pagi sebelum gencatan senjata mulai berlaku.
Masalah ini jelas menunjukkan bahwa meskipun ada klaim dari otoritas Zionis, Hizbullah masih memiliki kekuatan untuk melanjutkan perjuangan melawan pendudukan Zionis.
Di sisi lain, Israel terpaksa menerima gencatan senjata dalam situasi di mana politik internal rezim Zionis menjadi semakin krisis, dan pada saat yang sama, tujuan kabinet Netanyahu di Gaza belum tercapai.
Netanyahu menganggap gencatan senjata di Lebanon sebagai peluang politik dan keamanan untuk mengurangi krisis internal dan eksternal Israel.
Namun, kekuatan perlawanan menampilkan kemampuan yang berbeda melawan musuh Zionis dan membuktikan bahwa jika rezim Zionis melakukan pelanggaran dan berusaha menciptakan krisis di kawasan, mereka memiliki kemampuan untuk menghadapi dan bereaksi sesuai dengan kondisi.
Esmaeil Baghaei, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri juga mencatat posisi pasti Republik Islam Iran mengenai perlunya segera menghentikan perang terhadap Gaza dan Lebanon serta langkah diplomatik Iran yang ekstensif untuk mencapai tujuan ini dalam 14 bulan terakhir.
Menurut Jubir Kemenlu Iran, Akibat dari perang dan kejahatan rezim Zionis yang disertai dengan dukungan komprehensif dari Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa, kematian 60 ribu orang tak bersalah, cederanya 120 ribu orang dan pengungsian lebih dari tiga setengah juta orang dari rakyat Palestina yang tertindas dan Lebanon serta kehancuran luas infrastruktur penting di Jalur Gaza dan Lebanon.(sl)