Ibu Kota Baru dengan Arsitektur Ekonomi Politik yang Sumir
Baru-baru ini, Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), Jenderal Polisi (Purn) Budi Gunawan dengan yakin menyampaikan bahwa pemindahan ibu kota baru negara adalah bagian dari kerangka besar kebijakan pemerataan ekonomi dan keadilan sosial nasional.
Dengan memindahkan ibu kota negara ke Kalimantan Timur, pembangunan yang selama ini terkesan Jawa Sentris bisa dihapus. Disparitas Jawa dan Luar Jawa bisa dieliminasi.
Demikian kira-kira inti justifikasi beliau atas pemindahan ibu kota negara ke Kalimantan.
Saya tentu sangat mengapresiasi substansi pesan di balik pemindahan ibu kota negara ke Kalimantan.
Saat ini sudah jarang penguasa berbicara tentang pemerataan ekonomi dan keadilan sosial.
Sudah lama saya sebagai rakyat atau mungkin rakyat kebanyakan tak mendengar kata-kata tersebut didengungkan oleh pejabat-pejabat negara di ruang publik.
Tapi persoalannya, apakah tujuan tersebut simetris dengan kebijakan pemindahan ibu kota ke Kalimantan?
Persis pada pertanyaan ini saya tidak sependapat dengan kepala BIN atau siapapun pejabat negara yang mengatasnamakan pemerataan ekonomi dan keadilan sosial sebagai justifikasi strategis pemindahan ibu kota negara.
Bagaimana menjembatani logika antara dua hal tersebut?
Menjauh dari posisi geografis yang berpenduduk paling padat ke titik geografis yang tidak padat penduduknya untuk sebuah ibu kota negara baru bukanlah representasi dari pemerataan ekonomi dan keadilan sosial.
Namun justru meninggalkan tanggung jawab demokratis untuk berada di tengah-tengah kepentingan mayoritas penduduk.
Kesannya, pemindahan ibu kota ke Kalimantan seperti memilih mengabdi kepada hanya beberapa gelintir pihak dan meninggalkan pihak mayoritas.
Dalam bahasa yang agak tendensius, justru kebijakan tersebut seperti memilih oligarki ketimbang demokrasi. Sangat sulit diterima logika.
Lalu pertanyaan selanjutnya, apakah benar kebijakan memindahkan ibu kota ke Kalimantan adalah strategi besar pemerintah untuk mendorong pemerataan ekonomi dan keadilan sosial?
Apakah membangun besar-besaran secara fisik di satu lokasi akan berimbas pada pemerataan ke seluruh lokasi?
Bukankan memilih mengalokasikan anggaran besar-besaran ke satu lokasi juga bermakna mengabaikan banyak lokasi lainnya? Sehingga di mana logika pemerataan dan keadilan sosialnya?
Apakah pemindahan ibu kota ke Putrajaya dari Kuala Lumpur telah memperbaiki kondisi pemerataan ekonomi dan keadilan sosial di Malaysia?
Apakah memindahkan ibu kota ke Washington DC memperbaiki pemerataan ekonomi dan keadilan sosial di Amerika Serikat? Jawabanya, tidak.
Pemindahan Ibu Kota Australia dari Sydney ke Canberra bukanlah penyebab membaiknya pemerataan ekonomi dan keadilan sosial di Australia.
Dan sampai hari ini, Sydney yang dikenal Opera House-nya itu tetap lebih menarik dan tenar ketimbang Canberra. Karena sangat tergantung pada apa yang dibangun di sana.
Kalau yang dibangun hanya pusat administratif, maka imbas ekonomi dan pemerataannya tidak akan terlalu "wah," bahkan boleh jadi tidak ada.
Bukankah Seoul hanya beberapa puluh kilometer dari Pyongyang, tapi kemajuan Busan yang jauh dari Seoul tetap luar biasa.
Tidak ada satupun kajian yang menyatakan bahwa Jepang mengalami transformasi struktural secara masif pun pemerataan ekonominya sangat baik karena pusat ibu kota Jepang dipindah dari Kyoto ke Edo dan perubahan nama Edo menjadi Tokyo.
Tidak ada kajian semacam itu. Karena urusan pemerataan pembangunan dan keadilan sosial bukanlah perkara di mana letak ibu kota baru sebuah negara.
Sudah banyak studi soal pemerataan pembangunan dan keadilan di dunia ini, tapi tak satupun yang mengatakan faktornya adalah pada soal letak ibu kota baru.
Rerata jawabannya adalah soal model kebijakan, soal sistem ekonomi, sistem politik dan pemerintahan, model kepemimpinan nasional, model interaksi elite dalam pengambilan kebijakan, ada atau tidaknya patologi ekonomi berupa rent seeking, eksistensi oligarki, tingkat korupsi, dan lainnya.
China dengan cepat melampaui kemajuan ekonomi Rusia bukan karena letak Beijing lebih dekat ke pantai ketimbang Moskow yang jauh ke Laut Baltik atau ke Laut Mediterania.
Tapi karena China mengubah secara fundamental kebijakan ekonominya sejak era kepemimpinan Deng Xiaoping yang menjadi "paramount leader" negara tirai bambu, China
Bahkan saya sempat bertanya kepada beberapa kawan-kawan ekonom dan sepakat dengan penjelasannya mereka.
Jika pemerintah memberikan justifikasi penambahan belanja pemerintah untuk mempertahankan gerak langkah pertumbuhan ekonomi atau menjaga agar input ekonomi tetap bisa didorong dengan kebijakan fiskal negara via proyek-proyek di ibu kota baru itu, maka masih bisa diterima akal sehat.
Dalam kondisi ekonomi kini yang cenderung stagnan, ditambah dengan ancaman resesi akibat pandemik, intervensi fiskal secara besar-besar memang sangat diperlukan.
Salah satunya melalui proyek-proyek infrastruktur, termasuk membangun ibu kota baru.
Tapi jika memakai alasan transformasi struktural, pemerataan ekonomi, atau keadilan sosial, dan alasan ini itu, saya kira terlalu berlebihan dan narasinya cenderung mengada-ada.
Bahkan Saya melihat alasan Presiden Joko Widodo mirip dengan alasan Kazakhstan yang juga sedang menyelesaikan ibu kota barunya, yakni Ibu Kota baru Astana yang kini berubah lagi menjadi Nur-Sultan, yang secara sepintas memang luar biasa itu.
Pemindahan ibu kota dari Almaty seperti 'anak' dari suksesnya kepemimpinan Presiden Kazakhstan, Nursultan Nazarbayev sehingga untuk menghormati beliau, Kazakhstan mengganti nama Astana menjadi Nur-Sultan.
Kota Nur-Sultan (Astana) yang menggantikan ibu kota lama Almaty; salah satu kota metropolis di Kazakhstan, selain kabarnya diniatkan agar menjauhkannya dari wilayah Cina juga akan menjadi pelopor energi terbarukan yang sudah digaungkan sejak beberapa tahun lalu di Eropa.
Menjadi luar biasa karena Kazakhstan adalah produsen minyak dan gas alam yang berlimpah, yang secara kategorial justru tidak sekepentingan dengan green ideologi yang diemban kota Nur-Sultan (Astana).
Tapi sejak awal Kota Nur-Sultan (Astana) dibangun hingga hari ini, tidak ada perubahan struktural, perbaikan pemerataan ekonomi, atau perubahan kondisi keadilan sosial secara signifikan di Kazakhstan.
Negara ini tetap menjadi negara otoriter dengan struktur ekonomi yang sangat bergantung pada komoditas minyak, gas, dan pariwisata, yang dikuasai oleh segelintir elite kekuasaan.
Tak ada perubahan struktural yang berarti dan nampaknya memang tidak diniatkan untuk itu.
Bahkan nampaknya diniatkan secara terselubung untuk mempertahankan status quo politik di Kazakhstan.
Nur-Sultan (Astana) hanya seperti proyek gagah-gagahan penguasa Kazakhstan untuk mengalihkan perhatian masyarakatnya dari buruknya sistem politik otoritarian yang dianut Kazakhstan sejak bubarnya Uni Soviet.
Entah kebetulan atau tidak, Jokowi pun menunjuk mantan Jubirnya, Fazroel Rachman, menjadi duta besar Indonesia di Kazakhstan merangkap Republik Tajikistan berkedudukan di Nur-Sultan baru-baru ini.
Apakah diniatkan untuk mempelajari bagaimana Kazakhstan membangun Kota Nur-Sultan (Astana) atau tidak, tidak ada yang mengetahui secara pasti.
Jika jawabannya memang demikian, justru tidak simetris dengan tujuan pemerataan ekonomi dan keadilan sosial sebagaimana yang disampaikan oleh Kepala BIN di atas.
Karena Bur-Sultan (Astana) adalah proyek megalomaniak dari pemerintahan otoritarian Kazakhstan.
Semoga Kota Nusantara, di Provinsi Kalimantan Timur sebagai ibu kota baru Republik Indonesia yang kita cintai ini tidak diniatkan demikian. Semoga!
Jannus TH Siahaan
Dimuat Kompas.com