Lemhanas RI: Kolaborasi Antarnegara Solusi Atasi Krisis Global
https://parstoday.ir/id/news/indonesia-i131074-lemhanas_ri_kolaborasi_antarnegara_solusi_atasi_krisis_global
Gubernur Lemhannas RI, Andi Widjajanto, mengatakan kolaborasi antarnegara merupakan solusi dalam mengatasi krisis yang diprediksi melanda dunia pada tahun 2023 mendatang.
(last modified 2025-11-30T07:49:40+00:00 )
Okt 11, 2022 10:56 Asia/Jakarta
  • Lemhanas RI: Kolaborasi Antarnegara Solusi Atasi Krisis Global

Gubernur Lemhannas RI, Andi Widjajanto, mengatakan kolaborasi antarnegara merupakan solusi dalam mengatasi krisis yang diprediksi melanda dunia pada tahun 2023 mendatang.

Situs Antara melaporkan, Wakil Gubernur Lemhanas RI saat memberikan sambutan dalam Seminar Nasional Program Pendidikan Reguler Angkatan LXIV Lemhannas RI Tahun 2022 bertajuk Kolaborasi/Kepemimpinan G20: Konektivitas dan Rantai Kolaborasi di Gedung Pancagatra Lembaga Ketahanan Nasional, Jakarta, Selasa (11/10/2022).

"Adapun krisis yang diprediksi melanda dunia pada tahun 2023 itu," kata dia, adalah krisis pangan, energi, dan finansial, seperti yang disampaikan oleh Presiden Joko Widodo saat memberikan amanat dalam upacara peringatan HUT Ke-77 TNI pada 5 Oktober 2022 lalu.

Kemudian, dia juga menyampaikan bahwa seluruh negara di dunia dihadapkan pada ancaman krisis yang semakin kompleks akibat dampak dari pandemi Covid-19 dan dinamika geopolitik global yang tengah bergejolak.

Oleh karena itu, tambah dia, sebagai negara yang memegang keketuaan G20 pada tahun ini, Indonesia diharuskan bekerja keras agar forum itu mampu terlaksana dengan baik, bahkan memberikan solusi yang mampu membawa dunia berhasil menghadapi segala tantangan yang ada.

Dalam kesempatan yang sama, dia menyampaikan bahwa Lemhannas pun berusaha mencarikan solusi atas ancaman krisis global itu. Salah satunya, melalui penyelenggaraan seminar pada hari ini.

Seminar bertajuk Kolaborasi/Kepemimpinan G20: Konektivitas dan Rantai Kolaborasi itu, lanjut dia, diharapkan dapat menghasilkan rekomendasi langkah lebih lanjut bagi Indonesia serta negara-negara lainnya dalam melakukan interaksi positif dan kolaborasi sebagai solusi untuk menghadapi ancaman krisis global.

Selain itu pembahasan mengenai tema seminar tersebut juga diharapkan mampu menawarkan solusi bagi negara-negara dunia agar terhindar dari dampak krisis global yang lebih kompleks.

"Semoga yang menjadi tema dari seminar nasional tentang G20 pagi ini, tentang konektivitas, dan tentang rantai pasok global bisa menjadi tawaran solusi untuk mencegah dunia masuk ke krisis yang lebih dalam," ujarnya.

 

 

Sebelumnya, Menteri Luar Negeri RI, Retno Marsudi, saat menyampaikan pidato pada Sidang Majelis Umum PBB ke-77, mengusung paradigma kolaborasi untuk mengatasi berbagai tantangan global.

"Indonesia menawarkan tatanan dunia yang berbasis paradigma baru. Paradigma win-win, bukan zero-sum. Paradigma merangkul, bukan mempengaruhi (containment). Paradigma kolaborasi, bukan kompetisi. Ini adalah solusi transformatif yang kita butuhkan," kata Retno, seperti disampaikan dalam keterangan Kementerian Luar Negeri pada Selasa.

Retno mengatakan paradigma baru itu diperlukan dalam menghadapi kondisi dunia saat ini yang mengkhawatirkan di mana pandemi berkepanjangan, ekonomi dunia masih kelam, adanya perang yang nyata, dan pelanggaran terhadap hukum internasional yang telah menjadi norma untuk kepentingan sebagian pihak.

"Krisis pun datang silih berganti, dari pangan, energi, hingga perubahan iklim. Seharusnya dunia bersatu untuk mengatasinya, namun sayangnya, dunia justru terbelah, sehingga menyulitkan kita berupaya mengatasi kondisi ini," ujar Retno  dalam pembukaan pidatonya di PBB pada Senin (26/9) di New York, Amerika Serikat.

Untuk itu, Pemerintah Indonesia menyerukan perlunya tatanan dunia yang berdasarkan paradigma baru dalam Sidang Majelis Umum PBB ke-77.

Menurut Menlu RI, paradigma baru itu penting untuk diterapkan karena beberapa alasan, salah satunya untuk menyalakan kembali semangat perdamaian.

Retno menilai bahwa kurangnya rasa saling percaya antarnegara (trust deficit) telah memicu kebencian dan ketakutan yang dapat berujung pada konflik. Hal ini terjadi di berbagai belahan dunia.

Lebih lanjut  Retno menambahkan bahwa paradigma baru juga dibutuhkan untuk mencapai Agenda Pembangunan 2030 dan memerangi perubahan iklim.

Selain itu, menurut dia, paradigma kolaborasi juga penting untuk memperkuat kemitraan regional.

Arsitektur regional tidak semestinya digunakan untuk mengurung dan mengucilkan negara tertentu. Arsitektur regional harus dapat mendukung upaya menjaga perdamaian dan stabilitas, bukan justru membahayakannya, kata Retno.

Ia juga menegaskan bahwa paradigma kolaborasi harus menjadi semangat PBB.(PH)