KRI Nanggala dan Urgensi Modernisasi Alutsista RI
(last modified Tue, 27 Apr 2021 05:04:21 GMT )
Apr 27, 2021 12:04 Asia/Jakarta
  • Kapal Selam Indonesia
    Kapal Selam Indonesia

Tenggelamnya kapal selam KRI Nanggala-402 milik TNI AL yang merenggut 53 nyawa prajurit memperkuat dorongan modernisasi alat utama sistem pertahanan (alutsista).

Berkurangnya kapal selam yang dimiliki Indonesia bukan tidak mungkin akan membuat kekuatan bawah laut berkurang. Pasalnya sebagai negara kepulauan, Indonesia membutuhkan 10-12 kapal selam untuk mencegah potensi gangguan keamanan laut.

Sebelum KRI Nanggala-402 tenggelam, Indonesia memiliki 5 kapal selam. Namun sekarang, otomatis tinggal 4. Berikut daftarnya:

KRI Nagapasa-403

1. Kapal Selam Cakra-401

2. Kapal Selam Nagapasa-403

3. Kapal Selam Ardadedali-404

4. Kapal Selam Alugoro-405

Dari keempat kapal selam itu, baru tiga yang beroperasi. Sedangkan kapal selam Cakra-401 masih dalam proses perawatan (overhaul) di PT PAL Indonesia (Persero) sejak tahun lalu dan direncanakan selesai pada tahun ini.

Menhan Mendesak Percepatan Modernisasi Alutsista

Menteri Pertahanan Letnan Jenderal TNI (Purn) Prabowo Subianto blak-blakan soal rencana modernisasi alat utama sistem persenjataan (alutsista) di tiga matra TNI, yaitu darat, laut, dan udara. Hal itu dipaparkan Prabowo saat memberi keterangan pers terkait musibah KRI Nanggala-402 di Pangkalan TNI AU Ngurah Rai, Bali, Kamis (22/4/2021).

Menurut dia, musibah ini menunjukkan pertahanan negara adalah suatu pekerjaan yang sangat rumit, memerlukan teknologi yang sangat tinggi, dan mengandung unsur bahaya. Prabowo menyebut hampir semua kegiatan di bidang pertahanan negara, baik itu di laut, di darat, dan di udara, mengandung ketiga unsur tersebut.

Prabowo pernah menyatakan bahwa anggaran pertahan Indonesia saat ini terbilang kecil jika dibandingkan dengan negara-negara lain yang ada di kawasan Asia Tenggara. Anggaran pertahanan saat ini hanya berkisar kurang dari 1%, sedangkan negara tetangga berada pada kisaran 2-3%. Perlu adanya peningkatan anggaran pertahan dalam rangka menjaga stabilitas dan keamanan kawasan Indonesia.

Namun memodernisasi militer membutuhkan dana yang begitu besar dan waktu yang lama. Dan saat ini kedua komponen ini sangat sulit untuk tercapai. Jika anggaran belanja untuk pertahanan masih bertahan di angka 1-1,5% dan perencanaan hanya sebatas pada pergantian alutsista, maka modernisasi militer akan berjalan sangat lambat.

Pada akhirnya tenggelamnya KRI Nanggala menjadi refleksi bahwa saat ini keamanan prajurit dan kedaulatan masyarakat seluruh Indonesia sedang rentan dan solusi terbaik untuk saat ini yakni dengan melakukan modernisasi militer secara cepat dan tepat.

Progres MEF Masih Lambat

Upaya modernisasi alutsista sebenarnya sudah dipetakan melalui Minimum Essential Force (MEF) atau Kebutuhan Pokok Minimum yang dicanangkan pemerintah sejak 2007.

MEF dibagi ke beberapa tahap dengan jenjang waktu lima tahun. Tahap I dimulai pada 2010-2014, tahap II 2015-2019, dan tahap III 2020-2024. Harapannya MEF sudah dipenuhi 100 persen pada 2024.

Namun, Pusat Kajian Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI mendapati capaian MEF tahap II masih mandek. Seharusnya, pada 2019 MEF sudah mencapai target 75,54 persen. Realitasnya, MEF yang dipenuhi baru 63,19 persen.

Progres pemenuhan target MEF sepanjang tahap II bisa dibilang minim. Pada 2014, MEF berada pada 54,97 persen. Artinya, dalam kurun waktu lima tahun pemenuhan alutsista hanya meningkat 8,22 persen.