Dekolonialisasi Nuklir, Suara Perlawanan dari Tehran
https://parstoday.ir/id/news/iran-i177498-dekolonialisasi_nuklir_suara_perlawanan_dari_tehran
"Kolonialisme tidak pernah mati; ia hanya berganti pakaian.” – Frantz Fanon
(last modified 2025-10-07T09:39:18+00:00 )
Sep 28, 2025 16:33 Asia/Jakarta
  • Dekolonialisasi Nuklir, Suara Perlawanan dari Tehran

"Kolonialisme tidak pernah mati; ia hanya berganti pakaian.” – Frantz Fanon

Oleh: Purkon Hidayat

Teriakan Fanon masih terasa segar ketika kita melihat bagaimana dunia memperlakukan Iran. Di satu sisi, negara-negara besar bebas menimbun hulu ledak nuklir tanpa diganggu. Tapi di sisi lain, Iran yang menandatangani Traktat NPT dan menjadi anggota IAEA serta membuka pintu bagi inspekturnya, bahkan mengeluarkan fatwa anti-bom atom, tetap disanksi.

Iran hingga kini tetap tegar melawan, bukan dengan merakit bom nuklir, melainkan dengan mengembangkan sains, teknologi, dan hak untuk menentukan masa depan sendiri. Resistensi ini lebih dari sekadar mempertahankan program nuklir; ia adalah kritik keras terhadap tatanan global yang masih dikuasai logika kolonial.

Sains dan Warisan Kolonialisme

Kolonialisme klasik menaklukkan tanah dan sumber daya. Kolonialisme kontemporer menaklukkan pengetahuan. Pemikir Amerika Latin, Aníbal Quijano, menyebut ini sebagai coloniality of power—struktur dunia yang memosisikan Barat sebagai pusat sains, sementara yang lain didorong ke pinggiran.

Teknologi nuklir adalah contoh nyata. Negara-negara besar di Barat dan Rusia memegang ribuan hulu ledak. Mereka juga menulis aturan global dan menentukan siapa yang boleh menguasai teknologi nuklir. Ketika Iran memperkaya uranium untuk energi, medis, atau pertanian, segera dilabeli ancaman. Pengayaan yang sah di Paris atau Washington menjadi “haram” bila dilakukan di Tehran.

Wacana Keamanan sebagai Alat Kuasa

Barat membungkus tekanannya dengan istilah mulia: pencegahan proliferasi. Dunia harus aman dari senjata nuklir. Tetapi siapa yang berhak mendefinisikan aman?

Di sinilah kritik Walter Mignolo relevan. Ia menyebut kolonialitas pengetahuan sebagai upaya mengontrol wacana global dari satu pusat. Dalam kasus Iran, bahkan fatwa Ayatullah Khamenei yang mengharamkan bom atom dikesampingkan seolah tidak rasional. Barat seakan menegaskan: hanya epistemologi sekuler yang sahih, bukan etika Islam.

Padahal, fatwa itu menawarkan kerangka moral non-Barat: teknologi tinggi bisa diarahkan pada kehidupan, bukan pada kehancuran. Inilah resistensi epistemik yang jarang diakui.

Aturan Hukum yang Tebang Pilih

Kenyataan di lapangan memperlihatkan standar ganda. Israel bebas menyimpan senjata nuklir tanpa ditekan, meski menolak menandatangani traktat NPT. India dan Pakistan akhirnya diterima sebagai pemilik senjata nuklir. Tetapi Iran, yang justru anggota NPT dan diaudit IAEA, terus disanksi.

Inilah bentuk kolonialitas kuasa yang dijelaskan Quijano: aturan ditegakkan keras pada yang lemah, tapi dibiarkan longgar pada sekutu kuat. Frantz Fanon dalam The Wretched of the Earth menulis bahwa kolonialisme tidak sekadar menguasai tubuh, melainkan juga mendistorsi realitas pihak tertindas. Standar ganda nuklir adalah distorsi itu dalam wujud modern.

Nuklir sebagai Kedaulatan Masa Depan

Bagi Iran, nuklir bukan sekadar energi. Ia adalah simbol hak atas masa depan. Dengan isotop nuklir, pasien kanker bisa dirawat di dalam negeri. Dengan riset nuklir, generasi muda Iran bisa ikut percakapan global tentang sains tingkat tinggi.

Pertanyaannya, apakah hak membangun masa depan hanya dimiliki segelintir negara? Perspektif dekolonial menegaskan bahwa kolonialisme kini tidak lagi berbentuk senjata, melainkan penjajahan masa depan. Global South tidak dilarang hidup, tetapi dilarang tumbuh sejajar.

Dari Kecurigaan ke Keadilan

Selama dua dekade, tuduhan terhadap Iran lebih banyak dibangun di atas kecurigaan politik ketimbang bukti. Laporan intelijen Amerika Serikat beberapa kali menyatakan Iran tidak mengambil keputusan membuat bom. Fatwa Ayatullah Khamenei pun mempertegas hal itu. Meski demikian, kecurigaan terus direproduksi sebagai dasar sanksi.

Jika jalan tengah dimaknai sebagai kompromi yang memangkas hak Iran agar Barat merasa nyaman, itu bukan jalan tengah, melainkan jalan sepihak. Dekolonialisasi mengingatkan bahwa keadilan global tidak lahir dari subordinasi, melainkan dari pengakuan hak yang setara.

Iran tidak menolak transparansi, tidak menolak inspeksi. Yang ditolak adalah perlakuan sebagai bangsa kelas dua. Jalan yang adil bukanlah kompromi yang mengorbankan kedaulatan, melainkan kerangka multilateral yang menuntut Barat juga menahan standar gandanya. Dengan begitu, keamanan tidak lagi jadi alat dominasi, tetapi hasil kesetaraan.

Penutup: Mendengar Suara dari Pinggiran

Kasus nuklir Iran membuktikan bahwa kolonialisme tidak lenyap, melainkan berganti rupa menjadi kolonialitas teknologi. Dunia masih terbelah: yang di pusat dianggap sah menguasai sains strategis, sementara yang di pinggiran harus menerima label “berbahaya” jika berusaha sejajar.

Dekolonialisasi menawarkan kacamata berbeda: masa depan bukan hak istimewa segelintir negara, melainkan hak semua bangsa. Fatwa anti-bom bisa sama kuatnya dengan traktat internasional, dan pengayaan uranium untuk medis atau energi bisa dibaca sebagai jalan menuju kemandirian, bukan ancaman.

Sebagaimana diteriakan Frantz Fanon,*The colonized is elevated above his jungle status in proportion to his adoption of the mother country’s cultural standards.(Seorang terjajah hanya diangkat derajatnya dari ‘status rimba’ sejauh ia mengadopsi standar budaya sang negara penjajah)”* Kalimat ini, meski ditulis dalam konteks kolonial klasik, masih terasa sangat relevan hari ini. Iran menolak diukur dengan standar “ibu kota dunia” yang ditentukan Barat. Dan justru dari pinggiran itulah, suara resistensi lahir untuk menegaskan: setiap bangsa berhak merdeka menentukan masa depannya sendiri.