Pencabutan Sanksi al-Sharaa: Investasi Geopolitik Amerika di Tubuh PBB
https://parstoday.ir/id/news/world-i179946-pencabutan_sanksi_al_sharaa_investasi_geopolitik_amerika_di_tubuh_pbb
Ketika resolusi menjadi saham, veto menjadi mata uang, dan perdamaian berubah menjadi komoditas.
(last modified 2025-11-09T09:45:59+00:00 )
Nov 09, 2025 16:00 Asia/Jakarta
  • Pencabutan Sanksi al-Sharaa: Investasi Geopolitik Amerika di Tubuh PBB

Ketika resolusi menjadi saham, veto menjadi mata uang, dan perdamaian berubah menjadi komoditas.

Oleh: Purkon Hidayat, Direktur Eksekutif Middle East Foresight

Ada yang aneh tapi kerap terjadi dalam politik global: mereka yang pernah menodai tanah dengan darah bisa diputihkan dengan satu resolusi. Keputusan Dewan Keamanan PBB mencabut sanksi terhadap Ahmed al-Sharaa—mantan komandan milisi yang kini beralih menjadi presiden Suriah—bukan sekadar berita diplomasi. Ia adalah peta baru investasi geopolitik Amerika Serikat di tubuh PBB, di mana resolusi menjadi saham, veto menjadi mata uang, dan moralitas menjadi instrumen pasar.Begitu cepat dunia berputar ketika kepentingan mulai berubah arah.

Bagi sebagian orang, pencabutan sanksi terhadap al-Sharaa adalah tanda “babak baru perdamaian Suriah.”Tapi di balik bahasa diplomatik itu, ada sesuatu yang jauh lebih menarik: bagaimana Amerika Serikat menggunakan tubuh PBB sebagai ruang investasi geopolitik. Bukan lagi sekadar forum hukum internasional, PBB kini mirip pasar saham politik, di mana resolusi bisa ditawar, veto bisa dinegosiasikan, dan legitimasi menjadi komoditas yang diperjualbelikan.Inilah wajah baru globalisme: lembut dalam retorika, tapi tajam dalam kalkulasi.

Dari sanksi ke simbol: diplomasi beraroma bisnis

Pencabutan sanksi terhadap al-Sharaa berlangsung hanya beberapa hari sebelum rencana kunjungannya ke Washington D.C. Dalam waktu yang singkat, Dewan Keamanan PBB menandatangani resolusi yang mencabut larangan perjalanan dan pembekuan aset yang telah berlaku sejak 2018. Proses hukum internasional yang biasanya berbulan-bulan—dengan laporan verifikasi, evaluasi keamanan, dan konsensus regional—tiba-tiba selesai dalam hitungan hari.

Keajaiban diplomasi itu tak lain karena dorongan kuat dari AS, yang kini tengah mencari figur baru untuk menata ulang pengaruhnya di Timur Tengah pasca jatuhnya rezim Bashar al-Assad. Al-Sharaa, yang dulu dikenal sebagai Abu Mohammad al-Julani, tiba-tiba menjadi wajah baru “rekonsiliasi nasional” yang bisa diterima pasar global. Inilah bentuk baru dari diplomasi korporatif: PBB sebagai platform investasi politik.

AS menggelontorkan dana dan pengaruh politiknya, melobi sekutu, dan menekan mitra veto untuk menciptakan hasil yang sesuai dengan kepentingannya. Sama seperti investor besar yang menempatkan saham di pasar internasional, Washington menanam “saham pengaruh” di lembaga multilateral—dan kali ini, dividen politiknya bernama Suriah.

Suriah: dari reruntuhan menjadi portofolio

Dalam dinamika geopolitik, perang bukan hanya tragedi, tapi juga peluang.Suriah, setelah satu dekade perang saudara, kini menjadi pasar rekonstruksi terbesar di kawasan: energi, infrastruktur, logistik, keamanan, dan jalur transportasi lintas-Asia.Namun untuk membuka pintu itu, AS butuh “pemerintah baru” yang bisa dijadikan mitra investasi.

Pencabutan sanksi terhadap al-Sharaa berfungsi seperti sertifikat kelayakan moral yang dikeluarkan oleh PBB.Ia menandakan bahwa Washington telah menemukan figur yang bisa dijadikan jembatan antara kepentingan Barat dan stabilitas regional.Bukan karena Suriah tiba-tiba demokratis, tapi karena al-Sharaa dianggap bisa diarahkan.

Rekonstruksi Suriah bukanlah proyek kemanusiaan, melainkan proyek pasar.Kebijakan PBB memberi ruang legal bagi perusahaan-perusahaan Barat untuk masuk tanpa hambatan hukum.Dengan mencabut sanksi, legitimasi politik diperdagangkan seperti lisensi ekonomi.

Standar ganda dan dividen geopolitik

Ironi paling mencolok adalah perbandingannya dengan Iran. Negara itu tetap berada di bawah sanksi multilapis: energi, militer, dan finansial.Bukan karena pelanggaran yang lebih berat, tetapi karena Iran tidak memberi dividen geopolitik bagi Washington. Iran menolak tunduk pada sistem ekonomi global dan tetap menjadi rival strategisnya di kawasan Asia Barat.

Sebaliknya, al-Sharaa memperoleh amnesti politik meski punya catatan panjang dalam konflik bersenjata. Sanksi pun kini tampak seperti alat seleksi ekonomi: siapa yang bisa menjadi mitra pasar global, dilepaskan; siapa yang menolak sistem itu, dikurung dengan embargo.

Logika ini menciptakan tatanan dunia yang paradoksal:mantan milisi bisa diundang ke Gedung Putih, tapi negara yang menolak dolar tetap dikutuk di forum internasional.PBB, dalam konteks ini, berfungsi seperti lembaga pemeringkat moral dunia—yang nilainya bisa berubah sesuai arah investasi geopolitik.

PBB: dari penengah menjadi perantara

Tampaknya, kita sering lupa bahwa PBB tidak netral secara struktural. Lembaga ini dikendalikan oleh lima negara permanen dengan hak veto, dan di antara mereka, AS memiliki posisi dominan.Bukan hanya secara diplomatik, tapi juga finansial: Washington adalah penyumbang terbesar anggaran operasional dan keamanan global PBB.

Dengan kekuatan itu, AS mampu memengaruhi arah resolusi, menentukan prioritas kemanusiaan, bahkan menunda laporan investigasi yang tidak sesuai dengan narasinya.Ketika kepentingan nasionalnya menuntut “rekonsiliasi cepat” di Suriah, mesin PBB pun bekerja layaknya anak perusahaan geopolitik.

Perdamaian yang diperdagangkan

Jika dunia internasional benar-benar berjalan di atas keadilan, maka pencabutan sanksi seharusnya didasarkan pada tanggung jawab, bukan pada arah politik. Namun kini, hukum global bekerja seperti pasar: yang kuat menentukan harga, yang lemah menanggung risiko. Ketika al-Sharaa dibebaskan dari sanksi, bukan karena ia menebus masa lalunya, tetapi karena ia menempati posisi yang menguntungkan bagi kekuatan besar global. Ketika PBB memberi restu, lembaga itu secara tidak langsung menegaskan bahwa moralitas internasional bisa dinegosiasikan.

Inilah wajah baru imperialisme abad ke-21 yang lebih halus, lebih santun, tapi tetap mematikan. Ia datang bukan dengan tank dan rudal, tapi dengan resolusi dan konferensi pers.Ia tidak menjajah dengan senjata, tapi dengan “dukungan pembangunan” dan “kerjasama rekonstruksi.”Dan PBB, alih-alih menjadi penjaga, kini berubah menjadi perantara legal dari mekanisme kekuasaan global.

Pada akhirnya, keputusan untuk mencabut sanksi terhadap al-Sharaa mengajarkan satu hal penting:bahwa perdamaian pun kini punya harga, dan yang mampu membayarnya adalah mereka yang memiliki saham dalam kekuasaan.AS telah menanamkan investasinya di PBB bukan untuk memperkuat hukum internasional, tapi untuk mengubah hukum itu menjadi alat investasi geopolitik.Selama dunia masih menilai legitimasi berdasarkan nilai tukar, bukan nilai moral, maka perdamaian hanya akan menjadi komoditas dalam katalog politik global.

Ketika keadilan telah dijadikan barang dagangan, kita semua sebenarnya sedang hidup di pasar, bukan di dunia yang adil.