Antrean Haji di Malaysia Mencapai 140 Tahun
Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas menyebut, antrean masa tunggu jamaah haji Indonesia lebih pendek jika dibandingkan Malaysia. Di Indonesia antrean masa tunggunya antara 11-47 tahun dengan rata-rata nasional hingga 26 tahun.
Sedangkan di Malaysia, antrean masa tunggunya bahkan bisa mencapai 140 tahun. Hal ini disampaikannya pada Rapat Kerja Tahun 2023 dan Milad ke-6 Badan Pengelola Keuangan Haji, di Istana Negara, Jakarta, Selasa (12/12/2023).
"Masa tunggu 11-47 tahun, dengan rata-rata nasional 26 tahun. Namun ini masih lebih pendek daripada saudara-saudara kita di Malaysia yang antreannya sampai 140 tahun," kata Yaqut.
Ia mengatakan, dana haji di Indonesia sebesar Rp 165,06 triliun yang harus dikelola Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) dengan baik. Yaqut pun mengingatkan BPKH agar mengelola dana haji dengan mengutamakan prinsip kehati-hatian dan keamanan. Selain itu, transparansi dan akuntabilitas juga harus tetap dijaga.
"Kami tidak ingin dana haji ini hilang atau salah dalam pengelolaan," kata dia.
Menag juga mengingatkan agar keberlanjutan dana haji dan penggunaan dana haji yang selalu berkeadilan harus dijaga. Menurut dia, keberlanjutan dan keberadilan ini penting dilakukan.
Dalam beberapa tahun terakhir ini, lanjutnya, rasio nilai manfaat terhadap total biaya haji semakin tinggi. Pada 2010, nilai manfaat hanya menyumbang 12,91 persen dari total BPIH atau setara dengan Rp 4,5 juta.
"Namun angka ini terus naik hingga mencapai puncaknya pada 2022 sebesar Rp 59,21 persen atau setara dengan Rp 57,9 juta," ujarnya.
Dengan demikian, jamaah hanya terbebani pembayaran sebesar 40,79 persen atau Rp 39,9 juta dari total biaya yang harus dibayarkan untuk berangkat haji, yakni Rp 97,8 juta. Sisa pembiayaan dibayarkan dari perolehan nilai manfaat BPIH.
"Menurut kami hal ini merupakan perilaku yang kurang sehat. Seharusnya, jamaah yang berangkat membayar dengan prosentase yang lebih besar karena ada syarat-syarat istiqo’ah dalam pemberangkatan ibadah haji by principal antara keuangan maupun istitha’ah secara kesehatan," lanjut Menag.
Menurut dia, jika hal ini diteruskan dalam beberapa tahun mendatang, jamaah akan mengalami kenaikan pembayaran biaya haji yang akan meningkat tajam karena nilai manfaat tidak dapat lagi menopang BPIH.
"Menyadari hal ini, saat pengajuan BPIH tahun 2023 lalu, kami mengambil langkah yang tidak populer dengan menyebutkan 70:30. 70 persen dibayarkan oleh jamaah dan sisanya dari nilai manfaat," jelas dia.
Langkah ini, kata dia, diambil untuk mendukung keberlanjutan dana haji. Kendati demikian, rasio nilai manfaat terhadap BPIH sudah dirasionalisasi untuk penyelenggaraan haji pada tahun depan, dari semula 44,68 persen pada 2023 menjadi 40 persen di 2024.
"Hal ini tentu tidak lepas dari dukungan dan kesadaran semua pihak, termasuk pimpinan dan anggota Komisi VIII DPR RI," lanjutnya. (Republika.co.id)