Meskipun Netanyahu Berkuasa, Israel Tak akan Bisa Selesaikan Masalah Ini!
(last modified Wed, 02 Nov 2022 15:20:20 GMT )
Nov 02, 2022 22:20 Asia/Jakarta
  • Knesset.
    Knesset.

Penyelenggaraan pemilu parlemen di Palestina pendudukan (Knesset), bahkan jika itu mengarah pada pembentukan pemerintahan baru yang dipimpin oleh Benjamin Netanyahu, tidak akan dapat menyelamatkan rezim Zionis Israel dari tantangan dan masalah internal dan eksternal.

Mengapa demikian? Sebab sebagian tantangan dan persoalan yang dihadapi berasal dari struktural dan tidak akan teratasi dengan pergantian kabinet dan pemerintahan. Di antara tantanan itu adalah kesenjangan agama, kelas dan etnis.

Tetapi beberapa tantangan lainnya kurang lebih sesuai dengan sifat pemerintahan koalisi. Menurut pengalaman masa lalu, jika Netanyahu berhasil membentuk pemerintahan baru, seperti yang dikatakan, dia akan menghadapi serangkaian tantangan dan persoalan di dalam dan luar.

Dalam kasus korupsi keuangan dan politik, dia kini berada di sela-sela dan akan dibawa kembali ke konteks perkembangan politik oleh partai-partai rival, serta akan melibatkan kabinet baru. Selain itu, karena kemenangan dan penguatan partai-partai sayap kanan, maka perpecahan agama kemungkinan besar akan meningkat.

Yang paling penting adalah bentrokan dan konflik antara Zionis dan warga Palestina akan meningkat dan akan tercipta landasan yang lebih banyak bagi aktivitas dan ruang lingkup kelompok-kelompok baru perlawanan seperti Arin al-Aswad atau Bisheh Shiran.

Di luar Palestina pendudukan, meski ada kemungkinan kemenangan partai sayap kanan dalam pemilu Knesset akan meninggalkan dampak psikologis pada penguatan posisi Partai Republik dalam pemilu paruh waktu Kongres Amerika Serikat (AS), tapi setidaknya, selama Joe Biden dan Demokrat berkuasa, ketegangan dan tantangan akan kembali dalam hubungan antara Tel Aviv dan Washington, dan masa bulan madu Biden dan Yair Lapid pun akan berakhir.

Selain itu, jika Netanyahu ingin memenuhi janji pemilu untuk membatalkan perjanjian perbatasan laut dengan Lebanon, maka selain akan menciptakan ketegangan dan konflik, langkah itu juga akan memicu reaksi keras dari Eropa, sebab Eropa yang akan melewati musim dingin yang sulit, telah memperhitungkan secara khusus tentang minyak dan gas Laut Mediterania dan implementasi kesepakatan tentang delineasi perbatasan laut Lebanon dan Israel.

Jika Netanyahu benar-benar melakukan janjinya, maka tindakan Netanyahu dalam hal ini akan serupa dengan tindakan Putra Mahkota Arab Saudi Mohammad bin Salman dalam pertemuan OPEC+, yang tidak setuju untuk meningkatkan batas produksi minyak, padahal pemerintah Biden telah melakukan lobi dan konsultasi. Biden kemudian menuding Arab Saudi bermain di "lapangan" Presiden Rusia Vladimir Putin. Pernyataan masing-masing pejabat AS dan Arab Saudi dalam masalah tersebut  juga sempat menyulut ketegangan antara Washington dan Riyadh.

Pengalaman telah menunjukkan bahwa ketika partai-partai sayap kanan berkuasa di Palestina pendudukan (Israel), negara-negara dan organisasi internasional, terutama Barat, menemukan lebih banyak kebebasan bertindak untuk menghadapi kebijakan ekspansionis dan anti-perdamaian yang dilakukan rezim Zionis, dan setidaknya mereka tidak menghalangi upaya negara-negara lain. Dari sudut pandang ini, ada lebih banyak ruang untuk memperkuat atmosfer gerakan anti-Zionis di dunia.

Secara umum, meskipun ada kemungkinan bahwa kemenangan partai-partai sayap kanan akan membuka jalan bagi pembentukan kabinet koalisi yang relatif tahan lama di bawah kepemimpinan Netanyahu, tapi itu tidak akan pernah mengurangi persoalan dan perpecahan rezim ini, bahkan mungkin akan memperbesar dan memperdalam perselisihan ini, apalagi Netanyahu tidak menutup kemungkinan melakukan kesalahan strategis baru sehubungan dengan kesepakatan demarkasi perbatasan laut dengan Lebanon. Menurut banyak pejabat Zionis dan Barat, Netanyahu juga menjadi pihak yang dulu pernah memaksa Donald Trump untuk menarik diri dari perjanjian nuklir JCPOA. (RA)