Pemilu Legislatif Bahrain, Kesenjangan Besar antara Rakyat dan Al Khalifa
Pemilihan umum legislatif Bahrain diselenggarakan hari Sabtu (12/11/2022) dan berita-berita menunjukkan rendahnya partisipasi rakyat dalam pemilihan.
Pemilihan umum parlemen di Bahrain diadakan setiap 4 tahun, dan pemilu terakhir diadakan pada tahun 2018.
Rezim Al Khalifa menggelar pemilu baru di negeri ini hari Sabtu untuk menentukan tugas 40 anggota parlemen negeri ini.
Menurut berita yang dipublikasikan dari Bahrain, 330 kandidat, termasuk 73 wanita, bersaing untuk periode pemilihan kali ini untuk memasuki parlemen.
Namun, menurut berita yang diterbitkan, tingkat partisipasi dalam pemilu kurang dari 30%.
Beberapa hal dapat dikemukakan mengenai penyebab rendahnya partisipasi masyarakat dalam pemilu legislatif.
Faktor pertama adalah bahwa pada dasarnya pemilu parlemen di Bahrain bukanlah pemilihan yang bebas dan kompetitif. Para kandidat yang bersaing satu sama lain dalam pemilihan pada dasarnya semua berafiliasi dengan rezim Al Khalifa, dan tidak ada kandidat yang menentang atau kritis di antara mereka.
Oleh karena itu, dari sudut pandang masyarakat, partisipasi dalam pemilu semacam itu tidak masuk akal.
Faktor kedua rendahnya partisipasi masyarakat dalam pemilu terkait dengan fungsi parlemen. Rakyat Bahrain menyadari sepenuhnya bahwa pada dasarnya parlemen di negara ini adalah lembaga yang tunduk pada raja dan tidak memiliki kekuasaan untuk mengambil keputusan secara independen dari raja.
Oleh karena itu, partisipasi dalam pemilu di mana parlemen formalitas seharusnya dibentuk dengan tujuan tunggal untuk menyetujui kebijakan pemerintah pada dasarnya tidak ada artinya.
Pemilihan umum legislatif Bahrain diselenggarakan hari Sabtu (12/11/2022) dan berita-berita menunjukkan rendahnya partisipasi rakyat dalam pemilihan.
Untuk alasan ini, orang-orang dan beberapa kelompok politik Bahrain lebih suka memboikot pemilu dan tidak berpartisipasi di dalamnya, sebagaimana Sheikh Isa Qasim, pemimpin spiritual Syiah Bahrain, menyatakan bahwa pemilihan semacam itu bukan hanya tidak mengarah pada demokrasi, tetapi justru mengarah pada konsolidasi kediktatoran di Bahrain.
Sebenarnya, dapat dikatakan bahwa faktor ketiga rendahnya partisipasi rakyat dalam pemilu adalah kesadaran dari kelompok politik dan pemimpin agama dan sipil Bahrain, yang semuanya dengan suara bulat menyatakan bahwa pemilu ini tidak memiliki aspek kompetitif.
Bukan saja hasil pemilu ini tidak mengarah pada pembentukan parlemen yang kuat, tapi justru akan membentuk sebuah parlemen yang tunduk pada kebijakan Al Khalifa.
Oleh karena itu, rakyat Bahrain, yang memiliki sejarah sipil yang panjang dan progresif, dan menjadi pelopor dibandingkan dengan negara-negara Arab lainnya di bidang demokrasiو menolak untuk berpartisipasi dalam pemilihan semacam itu.
Faktor terakhir adalah bahwa pemilu legislatif hari Sabtu menunjukkan bahwa legitimasi rezim Al Khalifa telah mencapai level terendah di tengah rakyat.
Sementara hasil pemilu, seperti yang dikatakan beberapa penentang dan kritikus rezim Al Khalifa, hanya akan memperkuat kediktatoran di negeri ini dan tidak akan mengarah pada perbaikan kondisi, pada saat yang sama, tidak akan mengarah pada pengurangan kesenjangan antara rakyat dan rezim Al Khalifa.
Dalam hal ini, Ali Abdul Imam, seorang aktivis hak asasi manusia yang berbasis di Inggris, mengatakan, Pemilu ini tidak akan membawa perubahan apapun. Tanpa oposisi, kita tidak akan memiliki negara yang sehat.(sl)