Menyingkap Tabir Serangan Roket di Erbil
Serangan roket di lokasi dekat Bandara Internasional Erbil, Irak pada Senin (15/2/2021) malam, menewaskan satu orang dan melukai beberapa warga Amerika Serikat termasuk seorang tentara.
Juru bicara pasukan koalisi pimpinan AS di Irak, Kolonel Wayne Marto mengatakan 14 roket ditembakkan di lokasi dekat Bandara Internasional Erbil, tiga di antaranya mendarat di pangkalan Amerika, al-Harir. “Sembilan orang terluka dalam serangan itu dan satu kontraktor sipil dengan kewarganegaraan non-Amerika tewas serta empat orang menderita gegar otak,” tambahnya.
Ada beberapa catatan yang perlu diperhatikan dalam insiden tersebut. Pertama, semua roket ditembakkan dari Provinsi Erbil sendiri di wilayah Kurdistan Irak. Namun, anehnya para pejabat Erbil mengklaim bahwa roket-roket tersebut diluncurkan dari luar wilayah Kurdistasn, tepatnya dari distrik al-Dibs di Provinsi Kirkuk.
Dalam menanggapi hal itu, pejabat Gerakan Hashd al-Shaabi di wilayah al-Dibs mengatakan kota al-Dibs menikmati stabilitas dan otoritas yang mengatur masalah keamanan memiliki komitmen dan tidak akan melakukan tindakan seperti itu.
Gubernur Provinsi Nainawa, Najm al-Jabouri menyatakan roket yang ditembakkan ke Erbil sama sekali tidak berasal dari wilayah administratif provinsi ini. Bantahan ini dikeluarkan dengan tujuan menolak segala tuduhan yang tidak bertanggung jawab, mengingat salah satu markas pasukan Hashd al-Shaabi berada di daerah gurun Nainawa.
Kedua, kelompok Saraya Auliya al-Dam yang baru didirikan mengaku bertanggung jawab atas serangan roket di Erbil. Hal ini dengan sendirinya membantah segala bentuk keterlibatan Hashd al-Shaabi dalam serangan ke pos-pos diplomatik dan markas pasukan asing di Irak.

Banyak kelompok telah terbentuk di Irak untuk melawan kehadiran pasukan AS di negara itu, tetapi mereka tidak berafiliasi dengan Gerakan Hashd al-Shaabi.
Ketiga, serangan roket di Erbil membuktikan bahwa keamanan pasukan AS terancam di seluruh Irak. Pada dasarnya, salah satu pesan penting dari serangan tersebut adalah bahwa sebagian kelompok Irak menentang perluasan konsulat AS dan pangkalan militer al-Harir di Erbil. Pangkalan AS di daerah manapun di Irak bahkan di wilayah otonomi Kurdistan yang dianggap aman, tetap tidak lepas dari ancaman.
Serangan di bandara Erbil mengirim pesan kepada Washington bahwa berlindung di provinsi-provinsi utara Irak tidak akan membuat pasukan AS lebih aman. Pesan ini datang hanya sebulan setelah Presiden Joe Biden bertugas dan pemerintahannya berusaha memperkuat kehadiran militer di Irak.
Keempat, Presiden Irak Barham Saleh menyebut serangan roket ke Bandara Internasional Erbil dan pangkalan Amerika, al-Harir sebagai aksi terorisme, dan menyatakan bahwa pemerintah tidak punya pilihan lain kecuali memperkuat upayanya untuk melawan teroris.
Namun, dalam kasus serangan teror militer AS terhadap Komandan Pasukan Quds Iran Jenderal Qasem Soleimani dan rekan-rekannya di Baghdad, Presiden Barham Saleh hanya sebatas mengeluarkan kecaman dan penyesalan serta meminta kedua belah pihak untuk menahan diri. (RM)