Alasan Sanksi PBB Semakin Tumpul
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tetap menggunakan sanksi sebagai sebuah kebijakan untuk menghukum negara lain. Namun, Wakil Sekjen PBB untuk Urusan Politik dan Perdamaian mengakui bahwa penggunaan sanksi tidak seefektif sebelumnya.
Rosemary DiCarlo mengatakan bahwa agar ia efektif, sanksi harus menjadi bagian dari strategi politik yang komprehensif yang dibarengi dengan dialog politik, mediasi, serta pemeliharaan perdamaian, dan misi khusus politik.
Kritik itu muncul ketika PBB – terutama dalam dua tahun terakhir – menjatuhkan sanksi berat terhadap negara-negara seperti Libya, Sudan, Mali, dan Yaman, dengan alasan untuk menekan mereka agar menyelesaikan perselisihan dan konflik internal.
Meski tujuan penerapan sanksi PBB adalah untuk mengubah perilaku negara-negara target dan dianggap sah di bawah Piagam PBB. Akan tetapi, dalam penggunaan instrumen ini terhadap anggota yang melanggar, PBB seringkali mengabaikan prinsip-prinsip hukum internasional, hukum humaniter, dan aturan kemanusiaan internasional.
Dalam banyak kasus, sanksi PBB telah menjadi alat politik di tangan negara-negara besar, terutama Amerika Serikat.
Para ahli independen Dewan HAM PBB baru-baru ini menyatakan dalam sebuah statemen bahwa sanksi sepihak telah merampas hak pembangunan sejumlah besar orang di seluruh dunia. Mereka meminta negara-negara yang memberlakukan sanksi sepihak kepada negara lain agar meninggalkan kebijakan ini atau setidaknya meminimalkan penggunaannya.
AS dan sekutunya di Barat, sebagai pendukung sanksi, telah menggunakannya sebagai instrumen hukuman terhadap berbagai negara, terutama dalam beberapa dekade terakhir. AS sekarang tercatat sebagai negara pemberi sanksi terbesar di dunia, dan sejalan dengan kepentingan kebijakan luar negerinya, AS memiliki sejarah terlama dalam menerapkan segala jenis sanksi sepihak terhadap negara lain.
Dalam hal ini, The Hill melaporkan bahwa sanksi terhadap individu dan negara lain sebagai alat kebijakan luar negeri AS telah meningkat sepuluh kali lipat selama dua dekade terakhir.

Menurut statistik yang diterbitkan, sanksi yang dijatuhkan oleh Departemen Keuangan AS dalam 37 program terpisah terhadap individu dan negara telah meningkat dari 912 sanksi pada 2000 menjadi 9.421 sanksi pada 2021.
Sekutu Amerika di Eropa, terutama Inggris, juga mengikuti langkah Washington dalam menjatuhkan sanksi. Sanksi itu diterapkan dengan berbagai dalih politik, perdagangan, keamanan, dan bahkan hak asasi manusia, terutama terhadap negara-negara yang menolak dikte Amerika atau dianggap rival Washington.
Richard Neveu, salah satu perancang sanksi AS, mengatakan tujuan penerapan sanksi adalah untuk menciptakan kesulitan atau lebih tepatnya menciptakan rasa sakit dan kegagalan sedemikian rupa sehingga negara yang menjadi sasaran sanksi mengubah perilakunya.
Meski PBB dan AS terus menggunakan sanksi untuk mencapai tujuan mereka, tetapi sanksi-sanksi PBB tampaknya telah kehilangan keefektifannya, seperti yang diakui oleh Rosemary DiCarlo.
Berkurangnya efektivitas sanksi PBB terutama disebabkan oleh penyalahgunaan instrumen sanksi oleh negara-negara besar. Di samping itu, negara-negara korban sanksi telah menemukan cara-cara baru untuk menghindari sanksi.
Dengan kata lain, sanksi yang berlebihan dan kecanduan beberapa negara, seperti Amerika, telah membuat PBB kehilangan salah satu alat terpentingnya untuk memajukan tujuan yang ditetapkan dalam Piagam PBB. (RM)