Penghinaan Quran, Swedia Memilih Alasan Kebebasan Berekspresi
Tobias Billstrom, Menteri Luar Negeri Swedia bereaksi terhadap kritik dari banyak negara tentang penghinaan Al-Quran di Stockholm dalam sebuah pesan di Twitter pada hari Sabtu (21/01/2023).
Billstrom menulis, Hasutan anti-Islam sangat menakutkan. Swedia menikmati kebebasan penuh untuk berekspresi, tetapi ini tidak berarti bahwa pemerintah Swedia atau saya menyetujui pendapat ini.
Dengan demikian, pemerintah Swedia telah mengambil sikap bersayap mengenai penghinaan terhadap Al-Quran di Stockholm, ibu kota negara ini.
Pada hari Sabtu (21/1), seorang ekstremis kanan bernama Rasmus Paludan membakar salinan Al-Quran di depan kedutaan Turki di Swedia.
Rasmus Paludan adalah seorang politisi dan pengacara Denmark-Swedia dan pemimpin kelompok sayap kanan Hard Line, yang didirikan pada 2017. Paludan menerima kewarganegaraan Swedia pada tahun 2020.
Ia dikenal dengan pandangan anti-Islam dan anti-imigran. Orang ini telah diadili berkali-kali di Denmark karena melanggar hukum.
Ia telah mulai membakar Quran di berbagai kota di Swedia. Di setiap kota, ia pergi ke lingkungan imigran Muslim dan membakar Al-Quran.
Protes dan reaksi keras para imigran Muslim berujung bentrok dengan polisi. Paludan sebelumnya mencalonkan diri untuk pemilihan umum parlemen Denmark 2019 dengan slogan "Mengosongkan Denmark dari Muslim" dan "Melarang Islam di Denmark", tetapi ia gagal.
Setelah mendapatkan kewarganegaraan Swedia, ia berharap bisa melakukan banyak aktivitasnya di Swedia.
Pada tahun 2020, aktivis sayap kanan ini juga membakar salinan Al-Quran di Malmo, Swedia, yang berujung pada bentrokan dan protes kekerasan yang meluas.
Menyusul pembakaran Al-Quran di Swedia oleh seorang ekstremis kanan di depan kedutaan Turki, negara-negara Islam secara kolektif memprotes tindakan yang menghina dan anti-Islam ini.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran Nasser Kanaani mengutuk keras penodaan Al-Quran yang terus berlanjut di negara-negara Eropa, dan kali ini terjadi di Swedia.
Menurut Jubir Kemenlu Iran, "Sayangnya, beberapa negara Eropa, seperti di masa lalu, membiarkan anasir ekstremis dengan dalih palsu mendukung kebebasan berbicara di jalan penyebaran kebencian terhadap hal-hal suci dan nilai-nilai Islam, dan terlepas dari slogan indah hak asasi manusia, mereka melembagakan Islamofobia dalam masyarakat mereka."
Tobias Billstrom, Menteri Luar Negeri Swedia bereaksi terhadap kritik dari banyak negara tentang penghinaan Al-Quran di Stockholm dalam sebuah pesan di Twitter pada hari Sabtu (21/01/2023).
Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu mengkritik Swedia karena memberikan izin untuk membakar Al-Quran dan mengatakan bahwa rasisme dan kebencian tidak dapat dianggap sebagai kebebasan berpendapat.
Menteri Luar Negeri Turki mengatakan, "Hari ini, mereka tidak mengizinkan pembakaran buku lain, tetapi ketika menyangkut Al-Quran, kitab suci Islam, dan permusuhan terhadap Islam, mereka segera menyebut masalah ini kebebasan berekspresi dan kebebasan berpendapat."
Patut dicatat bahwa tidak hanya negara-negara Islam tetapi juga Rusia sebagai negara mayoritas Kristen telah bereaksi terhadap tindakan ofensif ini.
Mikhail Ulyanov, perwakilan Rusia dalam organisasi internasional di Wina, mengecam keras aksi pembakaran Al-Quran baru-baru ini di depan kedutaan Turki di Stockholm.
Dalam pesan Twitter, ia menulis, "Tindakan ini adalah bentuk barbarisme dan tindakan ini memicu pertikaian antaragama."
Kecenderungan anti-Islamisme dan kekerasan terhadap umat Islam telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir di negara-negara Eropa.
Kemunculan dan peningkatan peran gerakan sayap kanan ekstrem, partai, dan individu telah memainkan peran penting di bidang ini.
Alasan pemerintah Denmark dan Swedia mengizinkan Rasmus Paludan, pemimpin kelompok sayap kanan ekstrem "Garis Keras" untuk menghina hal-hal suci Islam dan menghina umat Islam dengan membakar Al-Quran, adalah kebebasan berbicara dan klaim pemerintah Eropa untuk melindunginya.
Sementara melihat standar ganda Barat, termasuk negara-negara Eropa, tentang kebebasan berekspresi menunjukkan bahwa isu ini hanya relevan ketika mempersoalkan dan menghina isu-isu yang dianggap Barat, termasuk Islamofobia dan anti-Islam, serta menghina hal-hal yang disucikan umat Islam.
Sementara dalam kasus-kasus lain seperti isu Holocaust, yaitu pembunuhan orang Yahudi dalam Perang Dunia II, atau mengambil sikap mendukung Rusia selama perang saat ini di Ukraina, pemerintah Eropa sangat ketat terhadap orang yang mengambil sikap tidak konvensional atau mereka tidak memperbolehkannya dan pelakunya akan dituntut hukum.(sl)