Apr 17, 2024 12:13 Asia/Jakarta
  • Mengapa Barat Politisasi Olahraga ?

Beberapa waktu lalu, selama Super Bowl 2024, iklan berdurasi 30 detik pesanan Israel ditayangkan di sela-sela acara ini untuk membenarkan genosida di Gaza. Pada saat yang sama ketika iklan ini ditayangkan, pasukan pendudukan Israel sedang membantai orang-orang di Rafah, yang mengakibatkan puluhan warga Palestina gugur.

Dengan 123 juta penonton, final Super Bowl tahun ini menjadi pertandingan yang paling banyak ditonton sepanjang sejarah pertandingan. Meski reaksi masyarakat terhadap iklan Israel ini kurang, namun muncul pertanyaan, apa yang terjadi dengan pemisahan antara olahraga dan politik yang sering dibicarakan oleh para politisi Amerika?

Olahraga untuk Siapa ? 

Meskipun ada seruan untuk membedakan antara politik dan olahraga, namun pada kenyataannya, olahraga selalu berfungsi sebagai alat untuk melaksanakan agenda politik AS. Ini berarti bahwa ketika sekutu AS seperti Israel memiliki pemikiran yang sama, politisasi olahraga diperlukan, bahkan jika Israel-lah yang melakukan genosida di Palestina dengan uang pembayar pajak Amerika.

Selama tujuh bulan pemboman di Jalur Gaza oleh Israel dan dengan dukungan Amerika Serikat, lebih dari 33.000 warga Palestina telah terbunuh, lebih dari 80.000 orang terluka dan lebih dari 2 juta orang terpaksa mengungsi. Diamnya komunitas olahraga terhadap kejahatan ini menunjukkan kemunafikan dan standar ganda mereka.

 

 

Latihan untuk Protes dan Hukuman

Olahraga selalu menjadi wadah untuk memprotes ketidakadilan. Mungkin salah satu gambaran paling kuat dalam sejarah olahraga adalah protes Tommy Smith dan John Carlos, atlet atletik yang mewakili Amerika Serikat pada Olimpiade 1968 di Mexico City. Mereka berdiri di atas tempat medali dan berlutut serta mengangkat tinju sebagai protes terhadap rasisme. Kedua atlet tersebut dicemooh dan dikeluarkan dari pertandingan.

Amerika Serikat juga berulang kali menggunakan olahraga untuk menghukum musuh-musuhnya. Pada tahun 1980, setelah Uni Soviet menginvasi Afghanistan pada tahun 1979, Amerika Serikat memaksa 65 negara untuk memboikot Olimpiade Musim Panas Moskow. Sebaliknya, Uni Soviet dan anggota Pakta Warsawa lainnya memboikot Olimpiade Musim Panas 1984 di Los Angeles.

Pemisahan dalam Pikiran dan Slogan

Perhatian terhadap peristiwa-peristiwa bersejarah ini menunjukkan betapa seringnya pemisahan antara olahraga dan politik sering kali gagal. Menurut Zareh Najjar, pemain tim bola basket nasional Yordania, "Dalam dunia yang ideal, olahraga dan politik akan tetap terpisah dan para atlet akan diizinkan berkompetisi demi kecintaan terhadap olahraga tersebut. Namun, sejarah telah menunjukkan kepada kita bahwa olahraga sering kali menjadi platform yang kuat untuk ekspresi dan perubahan politik.”

Standar Ganda

Tampaknya standar ganda ini menjadi lebih terlihat ketika kita membandingkan reaksi terhadap serangan Rusia atas Ukraina dengan serangan Israel terhadap Palestina. Pada kasus pertama, olahraga dan politik saling terkait, dan agresi Rusia dianggap layak mendapat hukuman. Organisasi olahraga profesional mengikuti kegaduhan Barat dan dengan keras mendukung Ukraina. Namun segala bentuk solidaritas terhadap Palestina telah dilarang di dunia olahraga dan larangan ini terus berlanjut.

 

Israel Menentang Olahraga

Pada tanggal 7 Oktober, Israel telah membunuh lebih dari 250 warga Palestina pada tahun 2023, yang merupakan tahun paling mematikan sejak PBB mulai mencatat kematian tersebut, namun organisasi olahraga tetap bungkam!

Antara 7 Oktober dan 6 Desember, serangan Israel menewaskan sekitar 85 atlet Palestina di Jalur Gaza dan Tepi Barat. Menurut Asosiasi Sepak Bola Palestina, jumlah tersebut termasuk 55 pesepakbola dan 30 pemain dari cabang olahraga lain. Laporan tersebut menambahkan bahwa Israel telah menargetkan atlet Palestina, khususnya pemain sepak bola, presiden klub, manajer dan wasit.

Roket Israel juga menghancurkan sembilan pusat olahraga, empat di Tepi Barat dan lima di Jalur Gaza. Menargetkan atlet Palestina telah menjadi bagian dari kekerasan Israel terhadap warga Palestina selama bertahun-tahun.

Meskipun komunitas olahraga bungkam terhadap kejahatan yang dilakukan warga Palestina, dukungan terhadap rezim Zionis tetap kuat! Pada tanggal 8 Oktober, Asosiasi Bola Basket Nasional Amerika (NBA) dalam pernyataannya bersimpati kepada Israel dan mengutuk tindakan perlawanan Palestina yang mengambil kembali tanah mereka dengan label terorisme.

Pihak yang Berani Masih Hidup

Terlepas dari tekanan dan risiko yang dihadapi para atlet dalam mendukung Palestina, masyarakat Palestina juga mempunyai pendukung dan sekutu di dunia olahraga. Tokoh-tokoh seperti Natasha Cloud, bintang bola basket putri, yang berdiri tegak dalam solidaritas terhadap Palestina.

Natasha Cloud, bintang bola basket wanita

 

Hingga kini, politisasi olahraga oleh Barat terus berlanjut. Kita masih ingat perbandingan dalam kasus Rusia dan Israel. Tim olahraga Rusia dilarang mengikuti kompetisi internasional, namun di tengah berlanjutnya genosida di Gaza, tim olahraga Israel tetap melaju tanpa konsekuensi karena dukungan negara-negara Barat. khususnya Amerika Serikat.

Tampaknya, orang-orang pemberani dan pemerintah independen di dunia perlu memulai perlawanan terhadap politisasi olahraga dengan memulai boikot kolektif terhadap olahraga dan atlet Israel.(PH)

Tags