Trump di PBB: Retorika Keras, Kredibilitas yang Luruh
Oleh: Purkon Hidayat
Donald Trump selalu tahu cara mencuri perhatian. Saat kembali berdiri di podium Sidang Umum PBB, ia membuka pidato bukan dengan gagasan, melainkan dengan keluhan: teleprompter rusak, eskalator macet, dan—tentu saja—PBB yang ia sebut “tak berguna.”
Ledakan tawa kecil mungkin terdengar di ruangan, tapi pesan besarnya jelas: Trump ingin menggambarkan PBB sebagai institusi rapuh, tak mampu menyelesaikan persoalan dunia. Masalahnya, tudingan itu datang dari orang yang justru ikut meretakkan fondasi PBB. AS sendiri justru menjadi penjegal utama berbagai solusi masalah global dari penjegalan isu gencatan senjata di Gaza, hingga keluar dari perjanjian nuklir JCPOA yang didukung PBB sendiri. Bahkan AS ikut menyerang Iran demi mendukung Israel dalam perang 12 hari Juni lalu, yang jelas melanggar kedaulatan nasional negara lain.
Tangan menjegal resolusi gencatan senjata di Gaza
Trump menuding PBB gagal menghentikan perang. Tapi faktanya, Dewan Keamanan PBB berulangkali mencoba mengesahkan resolusi gencatan senjata di Gaza, dan berulang kali pula Amerika mengangkat tangan untuk memvetonya.
Mayoritas negara sudah sepakat untuk menghentikan kekerasan, lindungi warga sipil, dan membuka jalur kemanusiaan. Namun semua suara itu dikalahkan hanya oleh satu tangan. Veto Amerika bukan sekadar prosedur diplomatik. Ia berarti bom terus jatuh, anak-anak tetap jadi korban, dan bantuan kemanusiaan tertahan di perbatasan. Jadi, ketika Trump berkata PBB tak berdaya, dunia hanya bisa melihat ke kursi Washington di Dewan Keamanan—dan tahu persis siapa yang membuatnya demikian.
Iran: Trump Robek Diplomasi, Hancurkan Kepercayaan
Kasus Iran bahkan lebih jelas lagi. Tahun 2015, dunia menyambut perjanjian nuklir JCPOA. Iran setuju membatasi program nuklirnya, inspektur internasional masuk, dan PBB memberi restu. Diplomasi kolektif berhasil.
Tiga tahun kemudian, Trump merobek kesepakatan itu. Alasannya? “Kesepakatan buruk.” Padahal laporan Badan Energi Atom Internasional menunjukkan Iran patuh. Dengan satu tanda tangan, ia menghancurkan salah satu pencapaian diplomasi paling penting dalam dua dekade terakhir.
Apa dampaknya? Iran kembali melaju, sanksi mencekik, kawasan semakin panas. Dunia kehilangan instrumen multilateral yang seharusnya jadi tameng. Kini, berdiri di podium yang sama, Trump berkata PBB tidak efektif. Ironi? Tentu saja. Seperti orang yang memotong kayu jembatan, lalu mengeluh karena tidak bisa menyeberang.
Amerika, Bukan Penengah, Tapi Pemicu
Kontradiksi kebijakan Amerika tidak berhenti di Gaza dan JCPOA. Juni lalu, dunia menyaksikan serangan besar Israel ke Iran. Meski Trump tak mengumumkannya secara terang, berbagai laporan menunjukkan serangan itu melibatkan koordinasi langsung dengan militer Amerika. Dukungan intelijen, persenjataan, hingga sistem pertahanan udara tak mungkin lepas dari tangan Washington. Lebih jelas, AS sendiri mengakui menyerang situs nuklir Iran, padahal Iran adalah anggota IAEA dan pennadatangan traktat NPT.
Tentu saja, pidato Trump di PBB kali ini terdengar lebih sinis: menyalahkan PBB karena gagal menghentikan perang, padahal Washington sendiri ikut menyalakan api perang baru.
Hal serupa terjadi di Doha. Israel melancarkan serangan ke Qatar, sebuah negara kecil yang menjadi tuan rumah salah satu pangkalan militer terbesar Amerika di kawasan. Anehnya, Washington diam. Membiarkan sekutunya menyerang wilayah yang seharusnya berada di bawah pengaruh langsung Amerika. Diam ini berbicara banyak: bukan ketidakmampuan, melainkan pilihan politik, bahkan persetujuan. Dengan demikian, klaim Trump bahwa Amerika adalah kekuatan perdamaian semakin hampa. Bukan hanya di PBB Washington menjegal diplomasi, tetapi di lapangan justru memberi ruang bagi perang.
Retorika Keras, Kontradiksi yang Nyata
Trump ingin terlihat sebagai “pembicara keras” yang berani menantang sistem global. Retorika ini laku di panggung domestik: *America First*, melawan “elit globalis,” menolak aturan bersama. Basis politiknya bersorak. Namun di forum internasional, gaya itu hanya memperlihatkan kontradiksi.
Faktanya, Amerika menutup pintu perdamaian di Gaza. Amerika merobek kesepakatan sah JCPOA yang didukung PBB. Di Tehran dan Doha, Amerika ikut membiarkan serangan Israel, bahkan terlibat di dalamnya.Tapi ironisnya, Trump di podium PBB menyalahkan lembaga itu gagal menjaga perdamaian.
Kontradiksi ini begitu jelas sehingga kritik datang dari dalam negeri sendiri. Senator Chris Murphy menyebut keluarnya Trump dari JCPOA sebagai “kesalahan strategis.”
Editorial media arus utama menilai PBB tampak lumpuh bukan karena prinsipnya salah, tapi karena negara-negara besar—terutama Amerika—memilih menjadikannya demikian.
Kredibilitas Amerika yang Terjun Bebas
Trump mungkin puas dengan tepuk tangan sebagian delegasi atau sorak pendukung di rumah. Tapi yang tergerus adalah kredibilitas Amerika.
Sekutu Eropa resah. Mereka tak bisa lagi memastikan Amerika mitra yang bisa dipercaya, terutama dalam isu besar seperti iklim, Gaza, dan Iran. Negara-negara berkembang makin skeptis: kalau aturan main bisa dibuang sepihak oleh Washington, untuk apa lagi bicara multilateralisme?
Sementara itu, rival seperti Rusia dan Cina tersenyum. Mereka tahu: setiap kali Amerika melemahkan PBB, ruang kosong kepemimpinan global bisa mereka isi. Trump ingin tampil sebagai presiden yang kuat. Tapi yang tampak justru Amerika yang kehilangan wibawa.
Bukan PBB yang Gagal, Tapi Amerika
Kritik terhadap PBB tentu sah. Organisasi ini memang penuh kelemahan: birokrasi lamban, resolusi sering tak punya gigi. Tetapi mari jujur: apa yang membuat PBB benar-benar lumpuh? Jawabannya sederhana: hak veto lima negara besar—dan Amerika salah satunya.
Ketika Trump menyalahkan PBB, ia sejatinya sedang menutupi fakta bahwa Washington sendirilah yang sering menginjak rem. Gaza, JCPOA, serangan ke Iran, hingga diam di Doha adalah bukti yang tak terbantahkan.
Bukan PBB yang gagal. Justru Amerika yang melemahkannya, lalu dengan enteng menjadikan lembaga itu kambing hitam.
Penutup: Retorika yang Menggerus Kredibilitas
Pidato Trump di PBB 2025 akan tercatat bukan karena solusinya, melainkan karena kontradiksi yang ia tunjukkan. Retorikanya keras, tapi jejak kebijakannya melemahkan diplomasi. Ia mencibir PBB, padahal Amerika yang membuatnya tak berdaya.
Dunia butuh pemimpin yang memperkuat aturan bersama, bukan yang merobohkannya lalu berteriak paling keras.Trump mungkin bisa memuaskan pendukungnya di dalam negeri. Tapi di mata dunia, pidatonya hanya menegaskan satu hal: retorika keras tak bisa menutupi kredibilitas yang semakin luruh.