Akankah Penangguhan Reformasi Pensiun Membawa Prancis Keluar dari Krisis Politik?
https://parstoday.ir/id/news/world-i178396-akankah_penangguhan_reformasi_pensiun_membawa_prancis_keluar_dari_krisis_politik
Perdana Menteri Prancis Sébastien Lecornu akhirnya menyerah di bawah tekanan parlemen dan mengumumkan bahwa pelaksanaan reformasi pensiun 2023 akan ditangguhkan hingga setelah pemilihan presiden 2027.
(last modified 2025-10-16T04:43:36+00:00 )
Okt 16, 2025 11:39 Asia/Jakarta
  • Akankah Penangguhan Reformasi Pensiun Membawa Prancis Keluar dari Krisis Politik?

Perdana Menteri Prancis Sébastien Lecornu akhirnya menyerah di bawah tekanan parlemen dan mengumumkan bahwa pelaksanaan reformasi pensiun 2023 akan ditangguhkan hingga setelah pemilihan presiden 2027.

Tehran, Parstoday- Langkah ini menandai kekalahan simbolik Presiden Emmanuel Macron, karena proyek reformasi pensiun merupakan pilar utama program ekonomi dan disiplin fiskalnya, yang dimaksudkan untuk menyeimbangkan anggaran negara dan menjamin keberlanjutan sistem jaminan sosial Prancis. Kini, kebijakan tersebut justru menjadi “tumit Achilles” pemerintahan Macron.

Lecornu menyatakan singkat,“Tidak akan ada kenaikan usia pensiun hingga Januari 2028.” Kalimat itu bermakna penundaan penuh atas salah satu keputusan paling kontroversial pemerintah. Reformasi tersebut sebelumnya telah memicu gelombang protes besar-besaran, pemogokan nasional, dan krisis politik berkepanjangan.

Krisis di Parlemen dan Pemerintahan yang Tak Stabil

Sejak terpilih untuk masa jabatan kedua pada 2022, Macron berjanji akan membawa “disiplin fiskal” dan “modernisasi ekonomi.” Namun kini, bahkan sekutu terdekatnya pun mulai menjauh.Prancis telah mengalami enam pergantian perdana menteri dalam waktu kurang dari dua tahun — situasi yang belum pernah terjadi sepanjang sejarah Republik Kelima.

Parlemen kini menjadi medan pertarungan antara tiga blok besar: kiri radikal, kanan ekstrem, dan koalisi moderat pro-Macron. Tak satu pun memiliki mayoritas. Macron dihadapkan pada dilema: membubarkan parlemen dan mengadakan pemilu dini, atau menghadapi mosi tidak percaya.Sementara itu, defisit anggaran Prancis telah mencapai 5,8% PDB, dan utang publik menembus 110%, memaksa pemerintah berutang untuk membayar gaji pegawai, pensiun, dan subsidi energi.

Reformasi yang Ditunda, Krisis yang Bertahan

Penangguhan reformasi mungkin memberi ketenangan sosial sementara, tetapi dari sisi ekonomi, menandakan kemunduran dari disiplin fiskal.Serikat buruh menyebut kebijakan ini sebagai “penyerahan sementara”, sedangkan oposisi menilainya sebagai “strategi bertahan hidup politik.”Bahkan di dalam partai Renaissance sendiri, muncul gelombang ketidakpuasan.

Gabriel Attal, mantan perdana menteri dan sekutu lama Macron, menyindir: “Saya tak lagi memahami keputusan presiden.”

Republik Kelima dalam Krisis Struktural

Menurut Olivier Costa, profesor ilmu politik di Universitas Paris, masalah Prancis bersifat struktural. “Krisis ini tidak akan selesai hanya dengan membubarkan parlemen atau mengganti perdana menteri. Republik Kelima tidak dirancang untuk menghadapi fragmentasi politik seperti sekarang.”

Macron kini mencoba memerintah dalam kerangka konstitusi yang lahir tahun 1960-an, ketika presiden secara otomatis menguasai mayoritas parlemen. Namun, peta politik Prancis telah berubah drastis: partai-partai tradisional melemah, populisme menguat di kedua sisi spektrum, dan pemilih semakin terpecah.

Pemilu Dini dan Kejatuhan Dukungan

Pemilu dini yang digelar Macron musim panas lalu justru memperburuk keadaan.Koalisi moderatnya turun menjadi hanya 161 dari 577 kursi, sementara kubu kanan ekstrem Marine Le Pen meraih perolehan terbesar, meski belum mencapai mayoritas.Hasilnya: parlemen yang lebih terpecah, lebih antagonistik, dan lebih sulit dikendalikan.

Para perdana menteri menjadi korban alami dari kekacauan politik ini — dari Élisabeth Borne hingga Gabriel Attal, dan kini Sébastien Lecornu — semuanya gagal mendamaikan parlemen dengan presiden.

Simbol “Kesepian Politik” MacronMantan perdana menteri Édouard Philippe bahkan menyerukan agar Macron menyerahkan kekuasaan kepada kepala pemerintahan baru dan menggelar pemilu ulang.Sementara itu, foto Macron berjalan sendirian di tepi Sungai Seine — diikuti penjaga dari kejauhan — menjadi simbol keterasingan politiknya.

Bagi banyak rakyat Prancis, pemandangan itu mencerminkan kesepian dan kehilangan arah seorang presiden yang dulu dielu-elukan sebagai simbol “kemajuan dan rasionalitas.”

Akhir Sebuah EraPrancis kini berada di persimpangan sejarah:- Ekonomi rapuh,- Utang meningkat,- Polarisasi sosial dan politik mendalam,- Kepercayaan publik menurun.

Penangguhan reformasi pensiun mungkin tampak sebagai langkah damai, tetapi sebenarnya menandakan akhir era Macronisme — impian untuk membuat Prancis “modern dan disiplin.”Kini, bahkan Republik Kelima itu sendiri tampak rapuh, menghadapi kebutuhan mendesak untuk revisi konstitusi dan restrukturisasi sistem kekuasaan.(PH)