Mengapa AS Gunakan Perang Melawan Narkoba Demi Hidupkan Doktrin Monroe?
https://parstoday.ir/id/news/world-i180312-mengapa_as_gunakan_perang_melawan_narkoba_demi_hidupkan_doktrin_monroe
Seiring meningkatnya operasi militer terhadap perdagangan narkoba di belahan barat, Amerika Serikat tampaknya sedang meninjau kembali Doktrin Monroe dan memanfaatkan tema “pemberantasan narkoba” sebagai alat untuk memperluas pengaruhnya di kawasan tersebut.
(last modified 2025-11-15T04:17:22+00:00 )
Nov 15, 2025 11:11 Asia/Jakarta
  • Mengapa AS Gunakan Perang Melawan Narkoba Demi Hidupkan Doktrin Monroe?

Seiring meningkatnya operasi militer terhadap perdagangan narkoba di belahan barat, Amerika Serikat tampaknya sedang meninjau kembali Doktrin Monroe dan memanfaatkan tema “pemberantasan narkoba” sebagai alat untuk memperluas pengaruhnya di kawasan tersebut.

Pete Hegseth, Menteri Perang Amerika Serikat, dalam sebuah unggahan di platform X, menyebut peningkatan operasi militer yang bertujuan memerangi perdagangan narkoba di belahan barat. Ia secara terbuka merujuk pada doktrin tradisional AS di kawasan tersebut dan menulis: “Belahan Barat adalah halaman belakang Amerika, dan kami akan melindunginya.”

Pernyataan tersebut tidak hanya mencerminkan kebijakan “melindungi halaman belakang” berdasarkan Doktrin Monroe, tetapi juga merupakan pesan yang jelas bagi para pesaing global seperti Cina dan Rusia.

Hegseth, seorang veteran militer dan mantan pembawa acara Fox News, mengunggah pernyataan ini di tengah meningkatnya operasi militer antinarkoba di Amerika Latin, dan mengaitkannya dengan perkembangan terbaru di Departemen Perang.

Berita ini kemudian dengan cepat diberitakan oleh media seperti Council on Foreign Relations (CFR) dan mencerminkan perubahan agresif dalam kebijakan luar negeri Washington—yakni penggunaan pemberantasan narkoba sebagai alat untuk merebut kembali pengaruh regional. Alasan resmi yang dikemukakan adalah krisis narkoba domestik di Amerika Serikat.

Menurut laporan Departemen Luar Negeri AS, perdagangan kokain dan fentanil dari Amerika Latin menyebabkan lebih dari 100.000 kematian per tahun di Amerika. Pemerintahan Trump, yang kembali berkuasa pada Januari 2025, meningkatkan isu ini menjadi “narko-terorisme” dan menyebutnya sebagai ancaman langsung terhadap keamanan nasional.

Pada September 2025, Trump mengeluarkan perintah yang menargetkan negara-negara transit utama seperti Kolombia, Meksiko, dan Venezuela serta menyediakan anggaran besar untuk operasi militer. Operasi “Southern Spear”, yang diumumkan oleh Hegseth pada November 2025, merupakan salah satu contoh pendekatan ini, melibatkan pengerahan drone pencegat, robot laut, dan pasukan khusus di Amerika Selatan untuk memberantas kelompok narko-teroris.

Menurut prediksi Stratfor, cakupan serangan ini akan meluas ke Karibia dan Amerika Selatan pada 2026. Para pengamat, termasuk International Crisis Group, memperingatkan bahwa langkah tersebut dapat digunakan sebagai dalih untuk intervensi politik, termasuk upaya perubahan rezim di Venezuela, yang dituduh Washington mendukung kartel narkoba.

Namun, inti lebih dalam dari kebijakan ini bersifat geopolitik: menghadapi meningkatnya pengaruh Cina dan Rusia di Amerika Latin. Kawasan ini, dengan sumber daya alam yang besar dan posisi strategis, telah menjadi arena persaingan kekuatan besar. Amerika Serikat, yang merasa pengaruh tradisionalnya terkikis, menggunakan pemberantasan narkoba sebagai alat untuk membendung para pesaingnya.

Pada Oktober 2025, Pentagon membentuk satuan tugas anti-narkotika di Karibia yang secara simultan memantau pola kartel dan pengaruh Rusia serta Cina. Hegseth dalam konferensi pers menegaskan bahwa AS bertekad menetralkan pengaruh Rusia, Cina, dan Iran di Amerika Latin sebagai bagian dari strategi “melindungi halaman belakang”.

Cina, sebagai pesaing utama, memiliki hubungan ekonomi luas dengan kawasan tersebut. Data bea cukai Cina menunjukkan bahwa perdagangan dua arah dengan Amerika Latin dan Karibia mencapai 515 miliar dolar pada 2024—naik 14 persen dibanding tahun sebelumnya—dan meningkat menjadi 518 miliar dolar pada 2025, menjadikan Cina mitra dagang terbesar kedua kawasan tersebut setelah AS.

Investasi langsung Cina di Amerika Latin juga mencapai 14,71 miliar dolar pada 2024, terutama di bidang infrastruktur, energi, dan teknologi.

Amerika Serikat melihat hubungan ini sebagai ancaman keamanan dan menggunakan sanksi antinarkoba untuk menekan negara-negara yang bekerja sama dengan Beijing.

Rusia, meskipun jejak ekonominya lebih kecil dibanding Cina, mengandalkan kerja sama militer di kawasan tersebut. Perdagangan Rusia dengan Venezuela pada 2024 mencapai 1,2 miliar dolar, terutama di sektor persenjataan. Menurut SIPRI, meski penjualan senjata Rusia ke kawasan ini menurun, kerja sama militer dengan Kuba, Nikaragua, dan Venezuela tetap berlanjut.

Venezuela, antara 2020–2022, mengimpor lebih dari 85 persen peralatan militernya dari Rusia, termasuk jet tempur, tank, dan sistem pertahanan udara. Laporan CSIS menunjukkan bahwa Rusia meningkatkan diplomasi militernya dengan Amerika Latin pada 2025.

Sebagai respons, Amerika Serikat meningkatkan serangan terhadap kartel narkoba dan menggunakannya untuk membenarkan kehadiran militer yang lebih besar—langkah yang dipandang banyak analis sebagai upaya menghidupkan kembali Doktrin Monroe, meski kondisi politik dan sosial abad ke-21 sangat berbeda dari abad ke-19 ketika AS memandang belahan barat sebagai “halaman belakang”.(PH)