Barat Gunakan Perempuan sebagai Instrumental Sistem Kapitalisme
Sistem kapitalis selalu menggunakan perempuan sebagai alat untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar.
Tehran, Pars Today, sistem kapitalis, sebagai salah satu struktur ekonomi dan sosial terpenting di dunia kontemporer, selalu berupaya meningkatkan keuntungan dan mengakumulasi modal.
Dalam upaya ini, perempuan telah banyak digunakan sebagai alat; sedemikian rupa sehingga peran mereka didefinisikan bukan berdasarkan hak asasi manusia dan status sosial yang setara, melainkan berdasarkan fungsi yang dapat menghasilkan lebih banyak keuntungan bagi kapitalis.
Pemeriksaan masalah ini menunjukkan bahwa kapitalisme telah berupaya mengkonsolidasikan dominasinya dan meningkatkan profitabilitas dengan memanfaatkan perempuan di berbagai bidang, mulai dari tenaga kerja murah hingga konsumerisme dan periklanan.
Salah satu bidang pertama penggunaan instrumental perempuan dalam sistem kapitalis adalah pasar tenaga kerja. Di banyak masyarakat kapitalis, perempuan digunakan sebagai tenaga kerja yang lebih murah daripada laki-laki. Hal ini tidak hanya mengurangi biaya produksi bagi pengusaha, tetapi juga memungkinkan eksploitasi tenaga kerja yang lebih besar.
Di banyak industri, terutama pakaian, jasa, dan pekerjaan rumah tangga, perempuan bekerja dengan upah lebih rendah dan dalam kondisi kerja yang lebih keras. Dengan menciptakan kesenjangan upah antara perempuan dan laki-laki, kapitalisme secara efektif menggunakan ketidaksetaraan gender sebagai alat untuk meningkatkan keuntungan.
Selain pasar tenaga kerja, kapitalisme juga menggunakan perempuan sebagai alat periklanan dan pemasaran. Citra perempuan dalam iklan komersial sering kali disajikan secara stereotip dan seksual untuk meningkatkan daya tarik barang dan jasa.
Penggunaan instrumental semacam ini tidak hanya menyebabkan penghinaan terhadap status perempuan, tetapi juga mengubah mereka menjadi alat untuk merangsang konsumerisme. Dengan menggunakan tubuh dan citra perempuan, kapitalisme mencoba memperkuat keinginan untuk membeli dan mengonsumsi dalam masyarakat dan dengan demikian memperoleh lebih banyak keuntungan. Bahkan, perempuan dalam struktur ini dipandang bukan sebagai manusia yang mandiri, tetapi sebagai alat untuk menjual barang dan jasa.
Di sisi lain, kapitalisme, dengan mempromosikan budaya konsumerisme, telah menjadikan perempuan sebagai salah satu kelompok sasaran terpenting di pasar. Banyak produk dan layanan, terutama di bidang mode, kecantikan, dan gaya hidup, dirancang dan diiklankan khusus untuk perempuan.
Hal ini menempatkan perempuan di bawah tekanan sosial dan budaya untuk terus membeli dan mengonsumsi barang-barang baru. Kapitalisme mengeksploitasi tekanan ini untuk memperkuat siklus konsumsi dan meningkatkan keuntungannya. Dalam proses tersebut, perempuan tidak hanya digunakan sebagai konsumen tetapi juga sebagai subjek yang kebutuhannya harus terus-menerus diciptakan.
Dari perspektif budaya dan sosial, kapitalisme, dengan mereproduksi stereotip gender, mendefinisikan posisi perempuan dengan cara yang menghasilkan keuntungan terbesar bagi sistem ini.
Media dan industri budaya yang didominasi oleh kapitalisme menampilkan citra perempuan yang dikenal sebagai pekerja yang patuh dan murah atau sebagai alat untuk merangsang konsumerisme. Reproduksi budaya ini menyebabkan konsolidasi ketidaksetaraan gender dan penggunaan perempuan secara instrumental yang berkelanjutan.
Semua kasus ini menunjukkan bahwa kapitalisme tidak hanya mengabaikan kesetaraan gender, tetapi juga menggunakan ketidaksetaraan sebagai alat untuk meningkatkan keuntungan. Situasi ini mengungkapkan perlunya kritik dan perlawanan serius terhadap struktur kapitalis; karena hanya dengan mengubah sistem ini secara fundamental, posisi perempuan yang sebenarnya dan manusiawi dapat dicapai.
Akhirnya, harus dikatakan bahwa dalam sistem kapitalis, perempuan digunakan sebagai alat untuk keuntungan yang lebih besar daripada diakui sebagai manusia yang mandiri dengan hak yang sama. Pendekatan seperti itu tidak hanya menyebabkan berlanjutnya ketidaksetaraan gender, tetapi juga merusak martabat manusia perempuan. Oleh karena itu, mengkritik dan menentang penggunaan instrumental ini merupakan bagian integral dari perjuangan untuk keadilan sosial dan melestarikan martabat serta kepribadian sejati perempuan.(PH)