Keraguan Serius tentang Kelanjutan Perjanjian Perdagangan AS dengan Indonesia
https://parstoday.ir/id/news/world-i182172-keraguan_serius_tentang_kelanjutan_perjanjian_perdagangan_as_dengan_indonesia
Pars Today – Ada keraguan serius mengenai berlanjutnya kesepakatan dagang Amerika Serikat dengan Indonesia.
(last modified 2025-12-13T13:54:19+00:00 )
Des 13, 2025 20:52 Asia/Jakarta
  • Presiden RI Prabowo Subianto dan Presiden AS Donald Trump
    Presiden RI Prabowo Subianto dan Presiden AS Donald Trump

Pars Today – Ada keraguan serius mengenai berlanjutnya kesepakatan dagang Amerika Serikat dengan Indonesia.

Menurut laporan Pars Today, dengan munculnya keraguan serius mengenai keberlanjutan perjanjian dagang Amerika Serikat dengan Indonesia, seorang pejabat Amerika memperingatkan tentang risiko runtuhnya perjanjian tersebut dan menyebut mundurnya Jakarta dari komitmennya sebagai alasan utama. Pejabat yang enggan disebutkan namanya itu, tanpa memberikan rincian mengenai komitmen spesifik pemerintah Indonesia, mengatakan: 'Kedua pihak sedang melakukan perundingan ulang atas apa yang dicapai pada bulan Juli.' Ia menambahkan bahwa pemerintah Indonesia telah menyampaikan kepada Jamison Greer, perwakilan dagang Amerika Serikat, bahwa tidak dapat menyetujui beberapa komitmen mengikat sebelumnya dan ingin mengubahnya.

 

Pejabat tersebut, dengan mengonfirmasi rincian yang pertama kali dipublikasikan oleh harian Financial Times, mengatakan bahwa pihak Amerika meyakini hal ini akan menghasilkan kesepakatan yang lebih buruk bagi Amerika Serikat dibandingkan dengan perjanjian yang baru saja ditandatangani dengan Malaysia dan Kamboja di Asia Tenggara.

 

Financial Times melaporkan bahwa pejabat Amerika Serikat meyakini Indonesia telah mundur dari komitmen untuk menghapus hambatan non-tarif terhadap ekspor industri dan pertanian dari Amerika Serikat, serta dari kewajiban terkait isu perdagangan digital. Namun, perwakilan dagang Amerika Serikat hingga kini belum memberikan tanggapan atas publikasi berita tersebut. Scott Bessent, Menteri Keuangan Amerika Serikat, baru-baru ini mengatakan bahwa Indonesia dalam hal perjanjian dagang dengan Amerika Serikat telah menjadi 'sedikit lebih keras kepala', tetapi tidak memberikan penjelasan lebih lanjut.

 

Sementara itu, Presiden Indonesia Prabowo Subianto, di tengah spekulasi mengenai kemungkinan runtuhnya perjanjian dagang negaranya dengan Amerika Serikat, melakukan kunjungan ke Moskow dan pada hari Rabu, 10 Desember, bertemu dengan Presiden Rusia Vladimir Putin di Kremlin. Para pengamat menilai langkah Indonesia ini sebagai upaya untuk menjalin hubungan yang lebih erat dengan Rusia, khususnya di bidang ekonomi, perdagangan, serta militer, sebagai salah satu pesaing internasional Amerika Serikat.

 

Amerika Serikat dan Indonesia pada Juli 2025 mengumumkan bahwa Jakarta telah menyetujui penghapusan tarif atas lebih dari 99 persen barang Amerika serta penghapusan seluruh hambatan non-tarif bagi perusahaan-perusahaan Amerika. Sebagai imbalannya, Washington menurunkan tarif yang sebelumnya mengancam Indonesia dari 32 persen menjadi 19 persen. Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, pertama kali mengumumkan perjanjian ini pada 15 Juli dan menyebutnya sebagai kemenangan besar bagi industri otomotif, perusahaan teknologi, pekerja, petani, peternak, dan produsen Amerika.

 

Namun, kini perjanjian dagang tersebut menghadapi risiko runtuh akibat mundurnya Jakarta dari komitmen terkait pengurangan tarif dan penghapusan hambatan non-tarif—komitmen yang pada awalnya diterima karena tekanan dan ancaman keras dari Washington. Situasi ini berpotensi menimbulkan dampak serius terhadap rantai pasok regional dan hubungan ekonomi kedua negara.

 

Alasan utama risiko runtuhnya perjanjian dagang Amerika–Indonesia dapat dijelaskan dalam beberapa poin. Pertama, tekanan domestik di Indonesia memainkan peran penting. Banyak industri lokal khawatir bahwa penghapusan tarif secara luas akan menyebabkan banjir barang Amerika dan melemahkan daya saing mereka. Kekhawatiran ini terutama dirasakan di sektor pertanian serta industri kecil dan menengah, karena sektor-sektor tersebut bergantung pada dukungan pemerintah dan liberalisasi pasar yang tiba-tiba dapat membuat mereka rentan.

 

Kedua, terdapat perbedaan pandangan dalam bidang perdagangan digital dan regulasi transfer data antara kedua negara. Amerika Serikat menuntut kebebasan arus data dan pengurangan pembatasan yang diberlakukan Indonesia, sementara Jakarta, dengan alasan keamanan dan kedaulatan, lebih memilih untuk mempertahankan kontrol yang lebih besar atas data domestik.

 

Ketiga, faktor politik dan geopolitik juga berperan. Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia telah menjalin hubungan ekonomi yang luas dengan Tiongkok dan tidak ingin perjanjian dengan Amerika Serikat ditafsirkan sebagai langkah yang dapat mengganggu keseimbangan hubungannya dengan Beijing.

 

Keempat, masalah eksekusi dan birokrasi di Indonesia menyebabkan pelaksanaan komitmen perjanjian berjalan lambat dan mengurangi kepercayaan pihak Amerika. Gabungan faktor-faktor ini membuat perjanjian yang pada awalnya dipandang sebagai pencapaian besar kini berada di ambang keruntuhan.

 

Dampak potensial dari runtuhnya perjanjian dagang Amerika–Indonesia juga akan meluas. Pertama, perusahaan-perusahaan Amerika yang menargetkan pasar Indonesia akan menghadapi hambatan baru dan peluang ekspor mereka berkurang. Kedua, rantai pasok regional di Asia Tenggara akan terganggu, karena banyak perusahaan bergantung pada Indonesia sebagai mata rantai penting dalam penyediaan barang industri dan pertanian. Ketiga, hubungan politik dan ekonomi Washington dengan Jakarta akan terdampak, dan Amerika Serikat mungkin beralih untuk memperkuat kerja sama dengan negara-negara lain di kawasan seperti Malaysia dan Kamboja yang menunjukkan kerja sama lebih besar dalam pengurangan tarif.

 

Dari sudut pandang geopolitik, runtuhnya perjanjian dapat melemahkan posisi Amerika Serikat dalam persaingan ekonomi dengan Tiongkok di Asia Tenggara. Tiongkok dalam beberapa tahun terakhir telah melakukan investasi besar di Indonesia, dan setiap langkah mundur Washington dari perjanjian dagang akan memberi ruang lebih luas bagi pengaruh Beijing. Selain itu, pesaing lain Amerika, khususnya Rusia, juga berupaya memanfaatkan peluang ini dengan melakukan usaha besar untuk memperluas hubungan ekonomi dan perdagangan dengan Indonesia, yang merupakan anggota G20 dan juga berkeinginan bergabung dengan kelompok BRICS

.

Pada akhirnya, krisis ini menunjukkan bahwa perjanjian dagang hanya akan berkelanjutan apabila kepentingan yang seimbang bagi kedua belah pihak diperhitungkan. Sementara itu, kebijakan dagang Trump pada dasarnya berlandaskan pada perolehan keuntungan besar bagi Amerika Serikat dan pemberian konsesi minimal kepada pihak mitra. Di sisi lain, pemerintahan Trump dalam menandatangani perjanjian dagang dengan negara lain praktis mengabaikan faktor tekanan domestik serta dampak perjanjian semacam itu terhadap kondisi ekonomi dan masyarakat. (MF)