Penurunan Dukungan untuk Sistem Presidensial di Turki
Jajak pendapat yang dilakukan oleh asosiasi dan institusi terkemuka tentang pemilu di Turki semuanya menunjukkan penurunan popularitas Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dan pemimpin Partai Keadilan dan Pembangunan yang berkuasa.
Pada saat yang sama, jajak pendapat baru-baru ini menunjukkan peningkatan penolakan rakyat Turki terhadap sistem presidensial.
Para ahli percaya bahwa berkurangnya dukungan rakyat terhadap sistem presidensial berarti penurunan dukungan rakyat Turki terhadap pribadi Presiden Recep Tayyip Erdogan. Dalam hal ini, surat kabar Birgun yang berbasis di Ankara, saat meninjau jajak pendapat lembaga pemungutan suara di Turki, menyatakan:
"52.7 persen warga mendukung sistem parlementer. Menurut jajak pendapat baru-baru ini, rakyat Turki percaya bahwa dengan berkuasanya sistem presidensial, kondisi sosial, ekonomi dan keamanan negara tidak lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya ketika sistem parlementer diberlakukan, dan ini memprihatinkan berbagai kalangan masyarakat."
Para oposisi pemerintah Ankara serta pakar politik dan ekonomi Turki baru-baru ini menyatakan "sebagian dari alasan penentangan mereka telah disampaikan terhadap partai Turki yang berkuasa".
Para pakar Turki percaya, "Kurangnya ketaatan terhadap prinsip pemisahan kekuasaan dan hilangnya independensi peradilan dan kepatuhan hakim dan jaksa terhadap perintah pribadi presiden dan partai yang berkuasa, serta mengabaikan hak etnis dan minoritas serta menciptakan kondisi yang sulit bagi warga Kurdi, Alawi, Sirkasia, dan Armenia, salah satu alasan utama penentangan terhadap partai yang berkuasa di Turki."
Sementara itu, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan sendiri telah bertahun-tahun berusaha membangun sistem presidensial lain di Turki, yang berbeda dengan yang didirikan oleh sistem militer dan sekuler Turki.
Erdogan percaya, "Di Turki, sistem 'perwalian' yang berasal dari konstitusi 1982 diberlakukan pada rakyat Turki oleh komandan militer, dan sistem pemerintahan ini harus diubah dan kedaulatan rakyat ditetapkan di Turki."
Erdogan selalu percaya ada sistem dua kepala di negaranya, seperti yang dia tekankan dalam draf 18 pasal amandemen konstitusi Turki. Dengan kata lain, presiden dan perdana menteri sering berbenturan dalam urusan negara, dan ini menyebabkan krisis politik dan ekonomi. Politisi berpengalaman Turki ini dengan pendekatan ini akhirnya menggelar pemilu dini pada 2018, yang berujung pada kemenangan dirinya.
Kini pemilihan umum parlemen dan presiden memasuki era baru di Turki. Karena menurut referendum 2017, sistem politik yang berkuasa di Turki berubah dari parlementer menjadi presidensial. Jelas, perubahan dalam sistem pemerintahan Turki ini berarti memperkuat kekuatan pribadi Recep Tayyip Erdogan sebagai presiden dan meningkatkan kekuasaannya. Dengan sistem presidensial baru di Turki, Erdogan sendiri dapat memegang kekuasaan hingga 2029.
Namun, mengingat kemenangan Erdogan yang tidak terlalu menentukan dalam pemilihan dewan lokal dan wali kota di Turki baru-baru ini, ia tampaknya mengalami kesulitan untuk terus menerapkan kebijakannya di Turki dan di tingkat regional. Tidak diragukan lagi, peningkatan penentangan rakyat terhadap sistem presidensial menunjukkan penurunan tajam suara rakyat Turki.
Terlepas dari beberapa propaganda media yang pro-Ankara, bagian dari penolakan rakyat Turki terhadap kursi kepresidenan ini tidak ada hubungannya dengan penyebaran virus Corona. Setahun lalu, kritik terhadap perilaku pemerintah Ankara dan Partai Keadilan dan Pembangunan yang berkuasa di Turki berfokus pada pelanggaran kebebasan berekspresi dan hak sipil. Tapi sekarang, sebagian besar penentangan menantang kebijakan ekonomi pemerintah Erdogan.
Singkatnya, dalam satu kesimpulan umum harus dikatakan bahwa tampaknya dengan munculnya kritik ekonomi dan konsensus para penentang Partai Keadilan dan Pembangunan dapat membuat segalanya semakin sulit bagi Erdogan dan Dolat Bahceli dalam pemilu mendatang.