Blokir Website Perlawanan, Upaya AS Membungkam Suara Kebenaran
(last modified Thu, 24 Jun 2021 00:54:54 GMT )
Jun 24, 2021 07:54 Asia/Jakarta

Pemerintah AS pada hari Selasa (22/06/2021) memblokir beberapa situs milik gerakan perlawanan, termasuk situs Press TV, al-Alam, milik Iran dan al-Masirah milik Gerakan Ansarullah. Pemerintah AS juga telah menutup beberapa situs milik gerakan perlawanan di Irak, termasuk al-Maalomah dan Kata'ib Hezbollah, serta situs web Palestine al-Youm (Paltoday), dan al-Kawthar.

Kementerian Kehakiman AS mengklaim dalam sebuah pernyataan bahwa mereka telah memblokir domain dari 36 situs media Iran, serta kelompok-kelompok yang berafiliasi. Hal itu dilakukan karena menerbitkan apa yang disebut "informasi menyesatkan" dan tindakan "kekerasan".

Dalam hal ini, mereka telah memblokir domain 33 situs Persatuan Radio dan Televisi Islam (IRTVU) serta tiga situs yang berafiliasi dengan Kata'ib Hezbollah karena melanggar sanksi AS.

Lembaga Penyiaran Republik Islam Iran (IRIB)

Situs-situs tersebut saat ini tidak tersedia dan hanya pesan dari Kementerian Kehakiman AS yang dapat dilihat. Menurut sebuah pesan di halaman beranda situs-situs tersebut, Kementerian Kehakiman AS mengatakan situs-situs tersebut dilarang atas permintaan Kantor Industri dan Keamanan Kementerian Perdagangan AS.

Bertentangan dengan klaimnya untuk mendukung arus informasi yang bebas, AS tampaknya ada ketakutan terungkapnya berbagai fakta. Washington takut terungkap kejahatan Amerika Serikat dan sekutu regionalnya, terutama koalisi Saudi dalam perang Yaman, serta kejahatan yang tak terhitung jumlahnya dari rezim Zionis terhadap rakyat Palestina di Wilayah Pendudukan.

Penutupan beberapa situs yang berafiliasi dengan gerakan perlawanan di Irak juga bertujuan untuk mencegah publikasi berita dan laporan, serta sikap kelompok perlawanan Irak terhadap penjajah Amerika Serikat. Terlebih lagi setelah parlemen Irak telah mengesahkan keberadaan pasukan AS di negara ini sebagai tindakan ilegal.

Pada saat yang sama, langkah AS memblokir 36 domain internet media perlawanan di Asia Barat menunjukkan bahwa pemerintahan Biden, seperti pemerintahan Trump, telah melanjutkan pendekatan permusuhannya terhadap Iran dan kelompok-kelompok perlawanan.

Tentu saja, ini bukan pertama kalinya Amerika Serikat berusaha menutup situs-situs milik Iran. Pada akhir Januari 2020, situs Fars News Agency diblokir oleh Amerika Serikat. Namun, langkah Washington tidak menghalangi media untuk terus beroperasi. Sehubungan dengan itu, jaringan televisi al-Alam dan Press TV akan melanjutkan aktivitasnya di dunia maya dengan tujuan meneruskan informasi dengan domain .IR.

Ini bukan pertama kalinya Amerika Serikat menggunakan berbagai tekanan untuk menargetkan saluran internasional milik Iran, terutama Press TV berbahasa Inggris, yang memiliki banyak pemirsa di seluruh dunia. Selain gangguan satelit, akun Press TV di berbagai platform sosial telah berulang kali diblokir. Dalam tindakan terbaru terhadap Press TV, Google memblokir akun YouTube televisi ini untuk selamanya.

"Press TV telah mengganggu permainan media Barat dan, dengan bahasa mereka sendiri dalam lingkup pengaruh Amerika, telah mampu mempublikasikan fakta tanpa perantara dari sumber utama dengan seluk-beluk media. Fenomena ini menyebabkan pihak arogan merasa terancam. Karena variabel permainan telah berubah dan sekarang penonton dapat memahami kenyataan dan tidak lagi terpengaruh oleh propaganda sepihak mereka," kata Rohollah Modabber, pakar urusan internasional.

Pada tahun 2013, berbagai televisi World Service dari Lembaga Penyiaran Republik Islam Iran (IRIB), yang disiarkan dalam bahasa asing, menghadapi pembatasan ketat pada satelit Hot Bird, Nilesat, dan Eutelsat, dan program mereka ditangguhkan selama berbulan-bulan.

Pemblokiran berbagai domain website

Pada saat yang sama, langkah AS memblokir 36 domain internet media perlawanan di Asia Barat menunjukkan bahwa pemerintahan Biden, seperti pemerintahan Trump, telah melanjutkan pendekatan permusuhannya terhadap Iran dan kelompok-kelompok perlawanan.

Terlepas dari klaim bahwa mereka bermaksud untuk mengubah pendekatannya di Asia Barat dan menindaklanjuti kebijakan hak asasi manusia, termasuk hak kebebasan berekspresi. Namun kenyataannya terus membungkam suara-suara protes terhadap kebijakan dan tindakan kriminal Amerika Serikat dan sekutu regional Washington.