Milad Nabi Mulia dan Pekan Persatuan Islam (1)
(last modified Sat, 16 Oct 2021 11:16:17 GMT )
Okt 16, 2021 18:16 Asia/Jakarta
  • Milad Nabi Muhammad Saw
    Milad Nabi Muhammad Saw

Momen kelahiran Nabi Mulia Islam diperingati sebagai Pekan Persatuan. Pekan Persatuan Islam yang digagas oleh Imam Khomeini untuk merajut persatuan dan solidaritas di antara umat Islam ini, berlangsung dari tanggal 12 hingga 17 Rabiul Awal.

Saat itu, Aminah terlihat menggerakkan ayunan secara teratur, dan Muhammad Saw, Pusat Penciptaan itu, begitu tenang memejamkan matanya di dalam ayunan. Sang Ibu yang merasakan perasaan luar biasa bahagia, dan menganggap momen ini sebagai momen terindah dalam hidupnya, sembari menggerakkan ayunan beberapa kali mengerdipkan mata, dan berkata kepada dirinya, jangan-jangan ini hanya mimpi.
 
Lalu ia mengangkat bayinya, memeluk dan menciumnya. Tidak, ini bukan mimpi. Momen indah yang menakjubkan ini bukan ilusi. Sekarang ia tengah memeluk seorang anak yang kelak akan menjadi kenyataan dari cita-cita dan harapannya.
 
Setiap orang untuk mencapai kesempurnaan, dan derajat tinggi akhlak, membutuhkan teladan sempurna dan terpercaya. Berdasarkan ayat Al Quran, teladan terbaik dan tertinggi adalah Rasulullah Saw. Tidak diragukan meneladani Rasulullah Saw dapat menyampaikan manusia ke kehidupan hakiki. Oleh karena itu untuk menggapai kedudukan yang aman, dan terpercaya di dunia serta akhirat, perlu untuk mengkaji dan menelaah teladan akhlak Rasulullah Saw, dan mengikutinya.
 
Nabi Muhammad Saw sebagai contoh dan teladan kebaikan, tidak pernah lalai sedetikpun dari ibadah dan munajat kepada Allah Swt. Semangat ibadah dan penghambaan kepada Allah Swt mendominasi seluruh perilakunya. Tentu saja untuk menerima wahyu dan menempuh jalan penuh liku dalam menunaikan tugas kenabian serta menghadapi musuh jahil dan keras kepala, membutuhkan tumpuan kuat dan tak terbatas, dan itu diperoleh dengan ibadah dan menjalin hubungan dengan Pencipta Alam Semesta.
 
Kualitas ibadah Nabi Muhammad Saw begitu indah sehingga dikatakan, “Sang Nabi saat mendirikan salat, roman mukanya berubah pucat karena takut kepada Allah Swt, dan dari dalam tubuh serta dadanya terdengar suara layaknya suara orang yang ketakutan.”
 

 

Di riwayat lain disebutkan, “Ketika kami berbicara dengan Rasulullah Saw, kemudian tiba waktu salat, kondisi beliau berubah seolah beliau tidak kenal kami, dan kami pun tak kenal beliau. Dalam berbagai kondisi, situasi dan peristiwa, beliau selalu berserah diri kepada Allah Swt, dan selalu memperhatikan-Nya."
 
Dengan pasti dapat dikatakan bahwa orang yang berserah diri kepada Allah Swt, dan selalu memperhatikan Dia, adalah orang yang darinya muncul bukti-bukti penyucian diri dalam bentuk terbaik dan terunggul. Oleh karena itu Allah Swt dalam ayat 162-163 Surat Al An’am kepada Nabi Muhammad Saw berfirman, “Katakanlah: sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)".
 
Allah Swt menyebut rahasia keberhasilan gerakan perubahan yang dilakukan Nabi Muhammad Saw adalah kelembutan sikap, perangai yang indah dan akhlak mulia, toleransi dan tidak bersikap keras serta tidak bermusuhan. Dalam ayat 159 Surat Ali Imran, Allah Swt berfirman, “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.
 
Imam Ali as berkata, “Hati orang-orang baik tertambat pada Rasulullah Saw. Perhatian mereka terpaku kepada beliau, dan Allah Swt dengan perantara beliau telah mengubur dendam serta kebencian masa lalu, serta memadamkan nyala api permusuhan. Beliau mendekatkan hati setiap orang, dan menjadikan mereka saudara satu dengan yang lainnya.”
 
Rasulullah Saw dalam berperilaku, sangat memperhatikan dan menghormati kepribadian dan harga diri setiap orang yang dihadapinya, beliau tidak pernah merendahkan orang, atau mencelanya. Diriwayatkan, ketika Rasulullah Saw kedatangan tamu, beliau akan membawanya ke tempat terbaik di rumahnya, jika tamu yang datang cukup banyak sampai tak ada tempat tersisa, dan sebagian dari tamu harus duduk tanpa alas, maka Nabi Muhammad Saw akan menjadikan pakaiannya sebagai alas untuk mereka duduk.
 

 

Ibn Mas'ud salah satu sejarawan abad pertama Islam menulis, “Suatu hari seorang pria berbicara dengan Rasulullah Saw, dan tubuhnya bergetar. Wibawa Rasulullah Saw sangat mempengaruhinya. Mengetahui kondisi ini, Rasulullah Saw bersabda, tenanglah saudaraku, aku bukan raja.”
 
Kehidupan Rasulullah Saw dijalani di tengah kelas sosial yang lebih rendah dari rata-rata, sejumlah riwayat menyebutkan bahwa Rasulullah Saw menolak memakan gandum untuk menunjukkan solidaritas pada kalangan masyarakat berpendapatan rendah, dan miskin dari umat Islam.
 
Imam Jafar Shadiq as pernah ditanya, “Apakah ada riwayat dari Ayah mulia Anda yang menyebutkan bahwa Rasulullah Saw tidak pernah memakan roti dari gandum ? Imam Jafar Shadiq menjawab, “Ya benar, Rasulullah Saw tidak pernah memakan roti gandum, dan ia tidak pernah banyak memakan roti dari barli (lebih rendah dari gandum kualitasnya).”
 
Makanan yang sering dimakan Rasulullah Saw adalah roti dari barli dan kurma. Beliau menambal sepatu dan pakaiannya sendiri. Di tengah kesederhanaannya, ia tidak mendukung kemiskinan, dan menganggap harta serta kekayaan menguntungkan masyarakat untuk digunakan di jalan yang legal dan tepat.
 
Rasulullah Saw bersabda, نِعمَ المالُ الصّالح لِلرَّجُل الصالِح yaitu sebaik-baik kekayaan adalah yang diperoleh dengan cara halal, kekayaan semacam itu untuk orang yang saleh, dan bagi mereka yang tahu cara menggunakannya.
 
Contoh lain dari kesederhanaan hidup Rasulullah Saw adalah, beliau selalu melarang di majelisnya ada yang duduk di atas dan ada yang duduk di bawah, beliau selalu menekankan semua sahabat duduk melingkar sehingga tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah di majelis.
 

 

Diriwayatkan dari Abu Dzar Al Ghifari, “Rasulullah Saw sebagai bentuk kerendahan hati, tanpa keutamaan sedikit pun, duduk di atas tanah bersama sahabat-sahabatnya, sehingga ketika ada orang asing masuk, ia tidak akan mengetahui mana dari mereka yang duduk itu Nabi, oleh karena itu kami meminta izin untuk membuatkan tempat duduk bagi beliau sehingga jika ada orang asing masuk bisa mengetahui yang mana Nabi. Setelah beliau mengizinkan kami membuat tempat duduk dari tanah liat, dan batu untuk duduk Nabi, dan kami duduk di sekelilingnya.”
 
Kerendahan hati merupakan salah satu sifat mulia manusia yang paling penting dan paling baik. Kerendahan hati atau tawadhu berarti manusia tidak menganggap diri lebih baik atau lebih unggul dari orang lain.
 
Sifat tersebut hakikatnya adalah perintah Allah Swt. Di ayat 88 Surat Al Hijr, Allah Swt berfirman, وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِلْمُؤْمِنِينَ selimutkanlah sayap kasih sayangmu kepada orang-orang beriman. Perumpamaan menyelimutkan sayap merupakan perumpamaan yang sangat indah untuk menggambarkan sifat rendah hati, kasih sayang dan kelembutan sebagaimana burung-burung yang menyelimutkan sayap untuk melindungi anak-anaknya, dan menunjukkan kasih sayang kepada mereka. Rasulullah Saw melindungi hamba-hamba Allah Swt yang beriman, dan menjaga mereka dari berbagai peristiwa, dan musuh.
 
Bermusyawarah merupakan salah satu perintah agama Islam yang penting. Di dalam Al Quran hal ini juga mendapat penekanan. Urgensi musyawarah sedemikian tinggi sehingga Allah Swt dalam ayat 159 Surat Ali Imran berfirman, “Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu.
 
Akan tetapi kita juga harus memperhatikan kenyataan bahwa Rasulullah Saw adalah Akal Pertama sehingga tidak memerlukan musyawarah dengan orang lain untuk menyelesaikan masalah, tapi musyawarah yang dilakukan beliau memilliki dua motif, pertama, penghormatan terhadap sahabat, dan kedua, Nabi Muhammad Saw ingin mengajarkan kepada semua manusia, bahkan pemilik pemikiran terbaik sekali pun melakukan musyawarah, jika manusia menganggap tidak butuh bermusyawarah dengan orang lain, maka hal itu menunjukkan karakter diskriminatif dan arogan.
 
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ ۚ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا ‎
 
Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (QS Al Ahzab ayat 56). (HS)