Iran, 40 Tahun Pasca Revolusi Islam (17)
-
Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran Ayatullah Sayid Ali Khamenei ketika menyampaikan pidato di kota Mashad.
Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran atau Rahbar, Ayatullah Sayid Ali Khamenei dalam pidatonya menyambut tahun baru Iran 1397 Hijriah Syamsiah (Maret 2018) di Komplek Makam Imam Ali Ridha as di kota Mashad, menyebut kehadiran regional Republik Islam dilakukan atas motivasi rasional dan dengan perhitungan yang sangat matang, dan bukan atas dasar sentimen.
Ucapan ini merupakan penekanan pada eksisnya nilai-nilai dan cita-cita Revolusi Islam dalam membela bangsa-bangsa tertindas meskipun usia revolusi sudah berjalan 40 tahun.
Edisi kali ini akan mengkaji tentang kebijakan Iran dalam membela bangsa tertindas Yaman.
Tekanan dan kesulitan yang dihadapi revolusi dan sistem Republik Islam selama 40 tahun terakhir, membuktikan sebuah realitas bahwa bangsa Iran telah bangkit melawan semua tekanan demi mencapai tujuan dan cita-citanya. Rakyat Iran terus melangkah maju dengan kekuatan dan menginspirasi bangsa-bangsa lain di berbagai belahan dunia.
Risalah utama Revolusi Islam – seperti yang digariskan oleh Imam Khomeini ra – adalah membela hak bangsa-bangsa dan berbeda dengan kebanyakan revolusi di dunia, ia belum melenceng dari jalurnya dan tidak melupakan cita-citanya dalam kondisi sesulit apapun. Demi mewujudkan risalah itu, kata anti-arogansi (perlawanan terhadap arogansi) diadopsi dalam literatur politik Revolusi Islam Iran.
Revolusi Islam tidak hanya menghadirkan sebuah perubahan besar di Iran, tetapi juga telah menjadi sebuah model global; sebuah model yang tidak hanya mengubah nasib bangsa Iran, namun juga menetapkan jalur gerakan revolusioner dan gerakan besar Kebangkitan Islam.
Pemikiran anti-penindasan Imam Khomeini ra telah memperkuat spirit memerangi kezaliman dan kekuatan-kekuatan arogan. Pemikiran ini membuka ruang untuk kebangkitan dan kehadiran gerakan-gerakan pembebasan dan anti-imperialisme.
Arab Saudi dengan dukungan Uni Emirat Arab (UEA), Amerika Serikat, dan beberapa negara lain melancarkan agresi militer ke Yaman sejak Maret 2015 dan memberlakukan blokade darat, laut, dan udara di negara itu dengan alasan memulihkan kekuasaan Abd-Rabbu Mansour Hadi, Presiden Yaman yang telah mundur dari jabatannya. Agresi ini telah menewaskan lebih dari 12.000 warga Yaman dan melukai puluhan ribu lainnya. Jutaan warga Yaman juga mengungsi dan sarana infrastruktur negara itu porak-poranda.
Arab Saudi sudah hampir empat tahun terlibat perang di Yaman. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperingatkan bahwa serangan lebih lanjut Saudi dan UEA menyebabkan tiga perempat dari 22,2 juta populasi Yaman membutuhkan bantuan dan 8,4 juta orang berada dalam krisis pangan yang parah dan kelaparan.
Sebelum serangan Maret 2015, Dewan Kerjasama Teluk Persia (P-GCC) sudah menyusun skenario pembagian Yaman ke dalam enam wilayah federal di bawah pemerintahan Mansour Hadi. Atas pendapat Riyadh, usulan tersebut dibawa ke konferensi dialog intra-Yaman pada awal tahun 2014.
Dari sudut pandang teoritis, setiap faktor dinamis yang menganggu ketertiban dan keamanan yang rentan di wilayah strategis Timur Tengah merupakan ancaman terhadap keamanan regional dan internasional.
Posisi Yaman terletak di bagian selatan Jazirah Arab dan memiliki perbatasan laut yang panjang di Laut Merah dan Teluk Aden. Negara ini menikmati posisi istimewa karena letak strategisnya yang mampu mengontrol perairan Tanduk Afrika dan juga perairan timur Afrika dari wilayah perbatasan laut selatan dan barat Yaman serta Pulau Socotra. Selain itu, posisi Yaman semakin penting karena berbatasan dengan Selat Bab el-Mandeb sebagai jalur pasokan energi dan transit barang.
Oleh karena itu, keamanan Selat Bab el-Mandeb sangat penting bagi semua negara di perairan Laut Merah sebagai jalur transit barang dan pasokan senjata.
Namun, di samping masalah keamanan dan stabilitas regional, Iran juga mengkhawatirkan krisis kemanusiaan Yaman yang semakin parah selama beberapa tahun terakhir. Hal ini menjadi salah satu alasan Iran melibatkan diri dalam upaya-upaya untuk menghentikan perang yang kejam terhadap Yaman.
Beberapa media menulis bahwa krisis Yaman dan pemboman warga sipil telah membuka kembali memori pemboman kota Basque Guernica oleh tentara Nazi dan Italia Fasis di Spanyol. Hari ini Yaman ditakdirkan bernasib sama; sebuah pelajaran yang terlupakan dalam sejarah kejahatan manusia.
Pada 26 April 1937, Pemimpin Nasionalis Spanyol, Jenderal Francisco Franco memerintahkan pemboman kota Basque Guernica. Dia meminta sekutunya, Nazi Jerman dan Italia Fasis untuk meratakan kota tersebut dengan pesawat Luftwaffe dan Aviacion Legionaria. Ratusan warga sipil dibunuh secara mengenaskan dalam Operasi Rugen itu.
Mengenai tragedi kemanusiaan di Yaman, surat kabar The Japan Times dalam sebuah analisanya menulis, "80 tahun setelah pemboman Guernica, tindakan kriminal yang lebih dahsyat sedang dilakukan terhadap warga sipil Yaman terutama oleh Arab Saudi dengan dukungan AS."
Penerima Hadiah Nober Perdamaian asal Yaman, Tawakkol Karman via akun Facebooknya menulis, "Koalisi Saudi-UEA telah menduduki Yaman dengan alasan kudeta terhadap legitimasi di Sana'a." Nyonya Karman menuturkan bahwa ia berniat meminta seluruh aktivis hak asasi manusia agar bin Salman dan bin Zayed bisa diadili di pengadilan-pengadilan internal Eropa dan mahkamah internasional.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirkan bahwa 3.000 orang Yaman menderita kanker setiap tahun.
Ayatullah Sayid Ali Khamenei mengutuk kejahatan kemanusiaan di Yaman dan kembali mengingatkan dua kejahatan Arab Saudi di Yaman yaitu pemboman sebuah rumah sakit dan serangan terhadap bus yang membawa anak-anak sekolah.
Rahbar dalam pertemuan dengan ribuan warga dari berbagai provinsi Iran di kota Tehran pada 22 Agustus 2018 mengatakan, "Arab Saudi telah melakukan dua kejahatan di Yaman dalam satu pekan terakhir yaitu; pemboman sebuah rumah sakit dan serangan terhadap bus yang membawa anak-anak Yaman.
"Betapa besarnya tragedi ini, dunia terguncang, nurani manusia tercabik, negara-negara dunia menyampaikan penyesalan, tapi bagaimana reaksi AS? Alih-alih mengecam kejahatan ini, mereka justru berkata, 'Kami memiliki hubungan strategis dengan Arab Saudi,'" ungkap Rahbar.
Republik Islam Iran sejak awal pecahnya perang Yaman sudah menyerukan penghentiannya segera, dan menyampaikan solusi empat poin melalui Menteri Luar Negeri Mohammad Javad Zarif, tapi selalu ditolak oleh Arab Saudi.
Pemerintah Iran menekankan bahwa satu-satunya cara untuk memulihkan perdamaian dan stabilitas adalah menciptakan gencatan senjata segera, menyalurkan bantuan kemanusiaan, memulai dialog politik antara semua faksi Yaman, dan membentuk pemerintah persatuan nasional yang inklusif, tanpa campur tangan asing.
Iran juga melakukan beberapa putaran pertemuan dengan negara-negara Eropa demi menghentikan kekerasan dan mengakhiri krisis kemanusiaan di Yaman. Tahun lalu, para pejabat Uni Eropa menyerukan agar Iran dan Eropa dapat bekerjasama lebih dekat untuk menciptakan gencatan senjata di Yaman dan menyelesaikan masalah kemanusiaan. Pembicaraan kedua pihak sudah dimulai di sela-sela Konferensi Keamanan Munich pada Februari 2017 dan terus ditindaklanjuti di sepanjang tahun ini.
Tujuan dari kebijakan regional Republik Islam Iran adalah berusaha untuk mengakhiri krisis di Yaman, sementara Arab Saudi, Amerika, dan rezim Zionis Israel ingin mempertahankan krisis di kawasan.
Ayatullah Khamenei menilai perilaku Amerika dan beberapa negara Arab di wilayah Asia Barat bersumber dari semangat imperialisme dan kediktatoran internasional.
"Para diktator tentu saja tidak akan berhasil di manapun di dunia. AS juga pasti akan gagal dalam mencapai tujuannya di kawasan," tegasnya. (RM)