Iran, 40 Tahun Pasca Revolusi Islam (19)
-
Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran atau Rahbar, Ayatullah Sayid Ali Khamenei.
Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran atau Rahbar, Ayatullah Sayid Ali Khamenei dalam pidatonya menyambut tahun baru Iran 1397 Hijriah Syamsiah (Maret 2018) di Komplek Makam Imam Ali Ridha as di kota Mashad, mengatakan salah satu alasan eksisnya nilai-nilai Revolusi Islam di usia 40 tahun sistem Republik Islam adalah karena tekad mempertahankan cita-cita revolusi.
Sebagian dari cita-cita ini muncul dalam bentuk dukungan kepada bangsa-bangsa tertindas dan perlawanan Republik Islam Iran terhadap penindasan serta mengutuk perilaku arogan. Usianya yang sudah mendekati 40 tahun juga termasuk salah satu kebanggaan Revolusi Islam.
Edisi kali ini akan mengkaji tentang kebijakan Iran dalam mendukung bangsa tertindas Bahrain.
Hak bangsa-bangsa tertindas sudah dirampas selama bertahun-tahun dan penindasan ini tidak terbatas pada rakyat Palestina. Republik Islam menentang perilaku tersebut dan senantiasa mengutuk perilaku seperti itu dalam membela hak bangsa-bangsa tertindas.
Dukungan Iran untuk bangsa-bangsa tertindas dibangun atas prinsip tersebut sejak awal kemenangan revolusi dan selama 40 tahun terakhir. Hal ini juga dapat disaksikan dari dukungan Iran untuk bangsa tertindas Bahrain.
Bahrain telah menyaksikan protes anti-rezim Al Khalifa sejak 14 Februari 2011. Bara api protes ini belum padam. Tanggal 14 Februari 2011 adalah hari pelampiasan kemarahan oposisi rezim Bahrain, hari ketika sejumlah demonstran terluka dan terbunuh dalam sebuah penumpasan.
Satu hari kemudian pada 15 Maret, bersamaan dengan kunjungan Menteri Pertahanan Amerika Serikat, Robert Gates ke Manama, pasukan militer Arab Saudi tiba di Bahrain dan beberapa hari kemudian, disusul oleh pasukan Uni Emirat Arab (UEA). Tindakan represif dan penumpasan semakin intensif dilakukan sehingga membuat puluhan demonstran tewas dan ratusan lainnya terluka.
Rezim Bahrain menghancurkan Bundaran Lulu’, tempat Revolusi Mutiara dimulai, dan pasukan pemerintah meratakan simbol gerakan revolusioner rakyat Bahrain dengan harapan suara-suara protes meredam.

Protes rakyat Bahrain sudah berlangsung hampir delapan tahun. Selama masa itu, rezim represif dan despotik Manama terus melakukan penumpasan, penangkapan, eksekusi mati, pengasingan, dan pencabutan kewarganegaraan dengan alasan keamanan dan tuduhan yang tak berdasar.
Dengan provokasi Arab Saudi dan perhitungan yang keliru, para penguasa Manama mengira bahwa mereka dapat mempertahankan pilar-pilar kekuasaan rezim diktator, represif, dan diskriminatif. Namun, tujuh tahun penindasan dan tindakan represif, suara-suara protes rakyat tetap tidak bisa dibungkam.
Bahrain sedang mencoba untuk keluar dari kebuntuan yang mereka ciptakan sendiri dan menyalahkan Iran atas kekacauan yang terjadi di dalam negeri. Tetapi, faktanya adalah bahwa Manama sudah terperangkap dalam kebijakan intervensif Riyadh.
Para pejabat Bahrain menuduh Iran melakukan campur tangan dan berusaha agar kehobongan ini dipercaya oleh pihak lain, tetapi proyeksi ini dan juga kebijakan tangan besi, tidak mampu menghentikan rakyat Bahrain dari menuntut hak-hak sah mereka.
Sekjen Komunitas Islam Nasional al-Wefaq Bahrain, Sheikh Ali Salman mengatakan, "Solusi politik dan memenuhi tuntutan rakyat Bahrain tidak dapat dihindari, dan setiap penundaan di jalan ini akan banyak merugikan Bahrain."
Pada 6 Juli 2016, Ayatullah Khamenei dalam pertemuan dengan para pejabat dan duta besar dari negara-negara Muslim di Tehran mengatakan, "Kami tidak mengintervensi masalah Bahrain dan kami tidak akan melakukannya di masa depan, tetapi kami menasihati mereka. Di negara itu juga terjadi pertikaian politik. Mereka berbuat sesuatu untuk mengubah pertikaian politik ini menjadi perang saudara. Jika mereka punya kesadaran dan kebijaksanaan politik, mereka seharusnya tidak melakukan hal-hal seperti itu. Oposisi dan pertikaian politik mungkin ada di setiap negara, mengapa mereka harus melakukan sesuatu sehingga masyarakat saling berhadap-hadapan? Mengapa mereka harus mengadu satu sama lain? Ini adalah kesalahan yang sayangnya kita saksikan juga di beberapa negara Muslim lainnya."
Rezim Al Khalifa menampilkan wajah paling berbahaya dari petualangannya melawan orang-orang Bahrain pada 20 Juni 2016, dengan mengandalkan dukungan "para pembela HAM" dan kehadiran pasukan Saudi. Manama mencabut status kewarganegaraan dari salah satu ulama besar Bahrain.
Keputusan rezim Al Khalifa membatalkan kewarganegaraan Sheikh Isa Qassem melanggar hukum dan peraturan internasional. Tindakan ini justru membuat rakyat Bahrain semakin termotivasi dan memberi mereka kekuatan baru. Namun, negara-negara Barat yang mengaku sebagai pembela HAM termasuk AS, hanya menyampaikan keprihatinan atas tindakan negara bonekanya.
Pada dasarnya, pendudukan dan penjajahan sudah menjadi instrumen Barat untuk menguasai bangsa-bangsa Muslim. Sayangnya, beberapa rezim despotik justru bekerjasama dengan kekuatan-kekuatan besar untuk menjajah bangsanya sendiri.

Republik Islam Iran mendukung rakyat Bahrain yang mayoritas Syiah, dan juga telah mendukung rakyat Palestina yang Sunni selama empat dekade terakhir. Tehran telah membayar harga besar dalam perjuangannya membela bangsa-bangsa tertindas ini.
Iran juga menekankan pemenuhan tuntutan sah yang disuarakan oleh masyarakat di Mesir dan Tunisia serta di tempat lain. Republik Islam menyampaikan kekhawatiran atas pelanggaran hak-hak dan penindasan orang-orang di Bahrain dan Arab Saudi serta tempat lain di dunia.
Pada 17 Desember 2016, Ayatullah Khamenei dalam pidatonya di hadapan para pejabat pemerintah, tamu Konferensi Internasional Persatuan Islam ke-30, duta besar negara-negara Muslim, dan berbagai lapisan masyarakat Iran, mengatakan, "Hari ini ada dua keinginan yang saling bertentangan satu sama lain; keinginan untuk persatuan dan untuk perpecahan. Dalam situasi yang sensitif ini, bersandar kepada al-Quran dan ajaran Nabi Muhammad Saw sebagai sumber pemersatu adalah solusi atas penderitaan Dunia Islam."
Menurut Rahbar, Dunia Islam hari ini menghadapi cobaan dan musibah besar, di mana solusinya adalah persatuan, bersinergi, bekerjasama, dan meletakkan perselisihan mazhab dan pemikiran di bawah titik-titik persamaan Islam.
Ayatullah Khamenei juga menyebut pembunuhan umat Islam di Myanmar di Asia Tenggara hingga Nigeria di Afrika Barat serta konfrontasi kaum Muslim di kawasan yang sangat penting Asia Barat sebagai hasil dari konspirasi adu-domba oleh kekuatan-kekuatan arogan dunia.
Dengan meneladani Revolusi Islam Iran, bangsa-bangsa tertindas sudah sampai pada keyakinan bahwa melawan kediktatoran dan hegemoni adalah sesuatu yang mungkin. Oleh karena itu, budaya perlawanan muncul dalam bentuk gerakan-gerakan Islam di Dunia Muslim dan budaya anti-penindasan telah terbentuk di negara-negara yang berada di bawah penindasan, dan gerakan ini terus menguat.
Revolusi Islam sebentar lagi akan menginjak usia ke-40 tahun dan masih tetap menjadi inspirasi bagi bangsa-bangsa revolusioner dan tertindas dunia. Pertumbuhan budaya perlawanan dapat disaksikan dengan jelas di tengah masyarakat yang terzalimi. Dengan mendunianya nilai-nilai Revolusi Islam, maka slogan dan gerakan anti-hegemoni AS dan rezim boneka telah berubah menjadi sebuah gerakan global.
Menurut pengakuan banyak pakar politik, bangsa-bangsa tertindas sekarang mulai bangkit untuk membebaskan diri dari kekuatan hegemonik. Penentangan terhadap sistem hegemonik dan diskriminatif telah menjadi bagian dari realitas yang tak terbantahkan. (RM)