Iran, 40 Tahun Pasca Revolusi Islam (20)
(last modified Thu, 11 Oct 2018 06:26:50 GMT )
Okt 11, 2018 13:26 Asia/Jakarta
  • Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran atau Rahbar, Ayatullah Sayid Ali Khamenei.
    Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran atau Rahbar, Ayatullah Sayid Ali Khamenei.

Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran atau Rahbar, Ayatullah Sayid Ali Khamenei dalam pidatonya menyambut tahun baru Iran 1397 Hijriah Syamsiah (Maret 2018) di Komplek Makam Imam Ali Ridha as di kota Mashad, menyebut demokrasi sebagai salah satu prinsip mendasar sistem Republik Islam.

"Selama 40 tahun terakhir, hampir di setiap tahun atau dua tahun sekali berlangsung pemilu dan masyarakat berpartisipasi dengan bebas dan antusias. Hasil dari pemilu ini adalah tampilnya berbagai pemerintah dengan orientasi politik yang berbeda selama empat dekade terakhir," ujarnya.

Edisi kali ini akan mengkaji tentang demokrasi dan keistimewaannya di dalam sistem Republik Islam. Revolusi Islam dibangun atas dasar tujuan dan cita-cita yang dapat diterima dan logis, yang bersumber dari ajaran agama dan nasional masyarakat Iran.

Imam Khomeini ra meyakini bahwa Islam pada dasarnya sebuah agama demokrasi, Islam juga tidak menolak demokrasi. Di dalam ajaran Islam, perhatian besar terhadap suara rakyat dan urgensitas demokrasi bukan sekedar seremonial, tapi sebuah realita yang memiliki akar di agama Islam.

Menurut pemikiran Imam, demokrasi di Islam dan sistem demokrasi religius bukan sebuah isu parsial yang dijiplak dari Barat dan kita mamaksa untuk berkompromi dengannya. Namun, demokrasi dan agama sebuah satu kesatuan dan tidak dapat dipisahkan.

Semangat untuk mengejar pembangunan dan kesempurnaan merupakan salah satu pencapaian yang menjadikan masa depan Revolusi Islam semakin bersinar. Dalam hal ini, salah satu aspek utama pembangunan adalah pembangunan politik dan fungsinya yang menitikberatkan pada demokrasi religius pasca Revolusi Islam. Pembangunan politik dan keefektivannya sangat penting dalam proses pembentukan sistem demokrasi religius.

Parameter yang berlaku dalam sistem demokrasi religius di Iran menunjukkan bahwa pembangunan politik, merupakan salah satu tujuan utama Revolusi Islam dalam membentuk dan mempertahankan sistem demokrasi religius. Model demokrasi ini menetapkan sejumlah parameter seperti, kepuasan publik, orientasi pada nilai-nilai dan kebenaran, serta supremasi hukum. Juga memiliki beberapa ciri khas lain yang tidak akan terealisasi kecuali melalui pembangunan politik.

Pada dasarnya, pembangunan politik merupakan salah satu dari kebutuhan sistem demokrasi religius. Pembangunan politik yang berpijak pada nilai-nilai ilahi di Iran pasca revolusi adalah salah satu dari pencapaian besar sistem Islami.

Menurut dokumen sejarah, upaya manusia di bidang pembangunan sosial telah berujung pada terbentuknya masyarakat primitif dan perbaikan kondisi tempat tinggal dan kualitas makanan, dan kemudian mengarah ke pembentukan pemerintah dan kota-kota. Dengan cara ini, lembaga-lembaga tertentu dibentuk di Yunani, dan kemudian menyebar ke seluruh dunia dengan sedikit perbedaan dan banyak persamaan.

Masalah pembangunan politik juga menjadi penting di tengah berbagai suku bangsa di samping pembangunan sosial, ekonomi, dan budaya. Mereka kemudian membentuk lembaga-lembaga untuk menjalankan kekuasaan dan menyusun undang-undang untuk mengatur urusan masyarakat.

Mungkin butuh waktu bertahun-tahun atau bahkan berabad-abad sehingga rakyat menerima konsep bernegara dan pemerintah sebagai institusi utama yang bertanggung jawab untuk urusan rakyat.

Dengan demikian, pembangunan politik yang dimulai sejak awal pembentukan masyarakat primitif bergerak semakin cepat, dan ia telah membuka jalan bagi pengembangan di bidang-bidang lain di banyak suku bangsa. Untuk pembangunan politik, jurusan-jurusan akademis mulai diluncurkan dan prinsip-prinsip memerintah mulai mendapat perhatian seperti disiplin ilmu lainnya.

Jika kita menerima bahwa pembangunan sebagai sebuah proses dari berbagai variabel, maka laju pembangunan politik di masyarakat dengan latar belakang sosial, politik, ekonomi, dan bahkan sejarah yang berbeda, telah menyaksikan perbedaan dari segi kecepatan laju pembangunan itu sendiri dan durasinya.

Sebagian penguasa dan pemangku kekuasaan dengan partisipasi masyarakat, dapat dengan mudah memacu laju pembangunan politik di wilayahnya dan menyalip bangsa-bangsa lain. Sementara masyarakat di belahan dunia lain sampai sekarang belum menikmati prinsip-prinsip dasar dari pembangunan politik.

Di Iran, gerakan pembangunan politik yang nyata dapat ditemukan di era setelah Revolusi Islam dan upaya empat dekade untuk melembagakan sistem demokrasi di masyarakat. Kemenangan Revolusi Islam pada hakikatnya adalah sebuah awal dimulainya upaya yang bersandar pada suara rakyat dalam membentuk pemerintahan Republik Islam Iran.

Perkembangan demokrasi dan pelembagaan prinsip-prinsip demokrasi di setiap masyarakat harus dimulai lewat pikiran dan keyakinan masyarakat setempat. Di Iran sendiri, lompatan besar dalam pembangunan demokrasi terjadi selama 40 tahun terakhir.

Despotisme pikiran dan pembodohan publik Iran selama berabad-abad telah membuat mereka membenci politik dan para pemangku kekuasaan. Tentu saja, sikap spektis ini tidak akan berkontribusi pada pembangunan politik, dan faktanya kondisi ini telah menjadi salah satu faktor penting keterbelakangan Iran. Sikap skeptis ini menggerogoti kepercayaan antara pemerintah dan rakyat dan melemahkan bangsa Iran.

Sebenarnya, banyak orang Iran telah menerima bahwa upaya pembangunan politik tidak akan membawa manfaat buat mereka, mereka bahkan merasa akan dirugikan dengan munculnya penguasa, sekalipun ia mematuhi kerangka hukum. Dalam konteks sosial, perpecahan sosial dan budaya juga ditemukan di tengah masyarakat Iran, dan masalah ini juga menjadi salah satu faktor utama tidak berjalannya proses pembangunan politik di Iran pada masa lampau.

Banyak sejarawan dan pakar Iran menilai penyebaran geografis dan keragaman etnis dan agama (mazhab) telah menjadi salah satu penyebab utama munculnya kondisi tersebut. Namun, teori ini terbantahkan oleh pandangan dan pemikiran politik yang bersumber dari nilai-nilai islam politik.

Keragaman dan penyebaran geografis serta budaya yang berbeda tidak membuat masyarakat Iran tercerai-berai. Keragaman ini justru diterima sebagai sebuah kebutuhan untuk pembangunan politik.

Pada dasarnya, perang dan intervensi asing yang terjadi di sepanjang sejarah tidak memungkinkan masyarakat Iran untuk berpikir dan mengambil langkah-langkah untuk memperbaiki situasi politik. Banyak penguasa di berbagai periode sibuk dengan perang dan kekacauan di dalam negeri dan intervensi asing. Kala itu, keamanan di Iran sudah menjadi sebuah barang mahal, di mana berbicara tentang isu pembangunan politik adalah sesuatu yang tidak nyata dan bahkan dianggap bertentangan dengan kepentingan nasional.

Rakyat Iran telah menempuh jalan berliku untuk mencapai puncak demokrasi dan membentuk pemerintahan demokratis dalam koridor pemikiran politik Islam. Lebih jauh mengenai masalah ini akan diulas pada seri berikutnya. (RM)