Membandingkan Pemilu di Iran dan di Negara-Negara Asia Barat
18 Juni 2021, Republik Islam Iran menggelar pemilu presiden ke-13. Lantas bagaimana pemilu di negara-negara Asia Barat ?
Pemilu di Negara Anggota P-GCC
Dewan Kerja Sama Teluk Persia (P-GCC) beranggotakan enam negara, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Kuwait, Qatar, Oman dan Bahrain. Sistem pemerintahan di seluruh negara anggota tersebut adalah monarki, dan pada dasartnya partisipasi politik dan pemilu di negara ini tidak ada artinya. Di negara anggota P-GCC, pemimpin negara tidak dipilih oleh rakyat, tapi kekuasaan di negara ini dimonopoli oleh keluarga kerajaan dan tanpa pemilihan. Di negara-negara ini digelar pemilu parlemen dan dewan daerah, tapi nantinya sebagain lembaga tersebut tidak memiliki peran dan kekuatan.
Arab Saudi, salah satu kekuatan di kawasan Asia Barat dan anggota terpenting P-GCC, hampir tidak memiliki pemilu. Satu-satunya pemilu yang digelar di negara ini adalah pemilu dewan. Dewan kota di Arab Saudi tidak memiliki peran signifikan dan hanya menjadi pengawas serta tidak memiliki mekanisme eksekutif.
Dua pertiga anggota dewan kota dipilih warga dan sepertiganya ditentukan oleh petinggi Saudi. Pemilu dewan kota pertama di Arab Saudi digelar tahun 2005 dan Riyadh selama tahun 1965 hingga 2005, yakni empat puluh tahun tidak pernah menyelenggarakan pemilu.
Arab Saudi juga memiliki Majelis Syura dan 150 anggotanya ditunjuk oleh raja untuk masa jabatan empat tahun. Majelis ini tidak memiliki kekuatan eksekutif dan keputusannya sekedar rekomendasi kepada kabinet yang diketuai raja, dan para menteri yang memutuskan untuk melaksanakan keputusan tersebut.
Sementara di Uni Emirat Arab (UEA), digelar pemilu Dewan Federal Nasional yang memainkan peran sebagai parlemen dan memberi rekomendasi sebagai wakil rakyat. Dewan ini terdiri dari 40 orang, di mana separuhnya dipilih oleh penguasa dan separuh lainnya dipilih rakyat. Tugas penting mereka adalah merevisi undang-undang dan memberi rekomendasi kepada pemerintah federal. Pemilu terbaru dewan ini digelar Oktober 2019.
Laman Al-Arabi Al-Jadid saat penyelenggaraan pemilu ini menulis, para kandidat pemilu selama kampanyenya dilarang membahas isu politik dan ekonomi, dan hanya diperbolehkan membahas isu pendidikan, lingkungan hidup, antariksa dan lainnya. Selain itu, mereka juga dilarang mengkritik secara transparan kebijakan pemerintah baik di sektor politi, sosial atau ekonomi. Total 337.738 warga UEA yang memenuhi syarat di pemilu ini dan hanya 117.592 di antara mereka yang menyalurkan suaranya, yakni hanya 34,8 persen.
Di Qatar, hanya pemilihan dewan kota yang diadakan sejauh ini, dan jumlah kandidat serta proses penyelenggaraannya tidak sebanding dengan pemilihan dewan di Iran. Dalam pemilihan dewan Qatar terakhir, yang diadakan pada April 2019, rakyat memberikan suara mereka di empat daerah pemilihan dari total 85 perwakilan dan memilih 25 orang. Komisi Pemantau Pemilu juga mengumumkan jumlah pemilih 1,50 persen. Yang penting pemilihan parlemen belum diadakan di Qatar dan pemilihan parlemen Qatar pertama dijadwalkan akan diadakan pada Oktober 2021. Tentu saja, ada banyak ambiguitas tentang kualitas parlemen masa depan dan jumlah kekuasaan yang akan dimilikinya.
Di antara negara-negara anggota P-GCC, Kuwait dari sisi penyelenggaraan pemilu dan partisipasi politik rakyat, memiliki kondisi berbeda. Majelis Nasional Kuwait adalah badan legislatif dan pengawasan yang paling penting dan kuat di antara majelis negara-negara Teluk Persia. Selain undang-undang, Majelis Nasional Kuwait bertanggung jawab untuk mengawasi kinerja pemerintah. Menurut konstitusi, anggota parlemen Kuwait dapat memberikan mosi tidak percaya pada salah satu menteri pemerintah, yang juga dapat menyebabkan pencopotan menteri atau non-kerja sama mereka dengan pemerintah. Dalam hal ini, kasus tersebut akan dirujuk ke Emir Kuwait, dan ada kemungkinan kabinet akan dicopot sepenuhnya.
Namun, keputusan akhir tentang isu-isu penting berada di tangan Emir Kuwait, yang juga dapat membubarkan parlemen. Dalam pemilihan Majelis Nasional Kuwait terakhir, yang diadakan pada Desember tahun lalu, 324 orang, termasuk 29 perempuan dari lima daerah pemilihan, mencalonkan diri untuk 50 kursi. Lebih dari 500.000 orang berhak memilih, dengan jumlah pemilih sekitar 70 persen.
Oman juga mengadakan pemilihan parlemen. Parlemen Oman memiliki 83 anggota, yang pemilihan langsungnya diadakan setiap empat tahun. Menurut hukum; Tugas Dewan Syura termasuk meninjau rancangan undang-undang, mengubah undang-undang, rencana pembangunan lima tahun, menentukan kebutuhan provinsi, melindungi lingkungan dan polusi, mengembangkan dan meningkatkan layanan dan fasilitas publik, dan mengajukan proposal terkait dengan ekonomi negara (tanap intervensi di urusan militer, kebijakan luar negeri dan isu-isu sensitif). Pemilihan parlemen terakhir di Oman diadakan pada Oktober 2019. Dalam pemilihan ini, 637 kandidat, termasuk 40 perempuan, memperebutkan 86 kursi di parlemen. Tingkat partisipasi di pemilu tersebut sebesar 49 persen.
Sementara di Bahrain, juga digelar pemilu parlemen. Parlemen Bahrain memiliki 80 kursi, di mana 40 anggotanya ditunjuk langsung raja dan 40 lainnya dipilih rakyat. Kubu oposisi tidak mengikuti pemilu di Bahrain, karena rezim Al Khalifa menumpas para kritikus dan oposan, serta pada dasarnya tidak menganggap parlemen memiliki peran.
Pemilu di Irak, Suriah dan Israel
Irak adalah salah satu negara Arab yang telah menyaksikan evolusi pemilu dan perkembangan demokrasi dalam dua dekade terakhir. Irak telah menyaksikan empat pemilihan parlemen sejak jatuhnya rezim Ba'ath, dan yang kelima dijadwalkan pada Oktober mendatang. Partai-partai di Irak memiliki partisipasi nyata dalam pemilu, dan parlemen memainkan peran penting dalam struktur kekuasaan negara ini. Namun, pemilu di Irak juga dipengaruhi oleh intervensi aktor asing. Presiden dan perdana menteri Irak dipilih melalui parlemen Irak. Namun, Irak dapat dianggap sebagai salah satu negara Arab di mana pemilihan sangat penting.
Suriah adalah satu-satunya negara Arab yang menggelar pemilihan parlemen dan presiden. Pemilihan presiden Suriah terakhir berlangsung pada 26 Mei, ketika Bashar al-Assad memenangkan lebih dari 95 persen suara untuk mendapatkan kembali kursi kepresidenan. Jumlah partisipasi rakyat Suriah dalam pemilihan ini adalah sekitar 78%, yang merupakan jumlah pemilih yang luas. Namun, pemilihan presiden Suriah kurang kompetitif dibandingkan pemilihan presiden di Iran.
Israel termasuk pemain di kawasan Asia Barat yang melakukan banyak manuver menggelar pemilu dan bahkan sebagian meyakini bahwa pemilu dan demokrasi di Israel tidak dapat dibandingkan dengan negara kawasan lainnya. Meski demikian, dalam dua tahun terakhir, kelemahan sistem pemilu di Israel terkuak. Israel selama dua tahun menggelar empat pemilu parlemen, di mana tidak ada kubu yang meraih mayoritas mutlak di kursi parlemen, dan Benjamin Netanyahu juga menolak mendahulukan kepentingan nasional dari kepentingan pribadinya.
Pada akhirnya rival Netanyahu sepakat membentuk kabinet sekedar untuk menggulingkan Netanyahu dari kekuasaan. Transformasi dua tahun terakhir di bumi Palestina pendudukan menunjukkan klaim terkait demokrasi di pemilu sekedar omong kosong, karena partai politik rezim ini dengan penuh kesulitan mencapai kesepakatan untuk menggulingkan Netanyahu dan Netanyahu sampai saat ini masih saja melakukan sabotase di pembentukan kabinet baru.
Secara umum, dapat dikatakan bahwa bahkan tidak mungkin membandingkan negara-negara anggota P-GCC dengan Republik Islam Iran dalam hal pemilihan, karena pemilihan di negara-negara ini, kecuali Kuwait, pada dasarnya bersifat seremonial. Irak memiliki sistem pemilihan yang berkembang. Suriah adalah satu-satunya negara Arab di kawasan yang memiliki pemilihan presiden, tetapi wajah kompetitifnya tidak sebanding dengan Republik Islam Iran. Rezim Zionis juga tidak memiliki pemilihan presiden dan hanya pemilihan parlemen, yang, terutama dalam beberapa tahun terakhir, telah dicampur dengan kepentingan pribadi Benjamin Netanyahu dan tidak efektif untuk rezim ini.
Dapat dikatakan bahwa Republik Islam Iran di penyelenggaraan pemilu dari sisi keragaman (presiden, parlemen, dewan kota dan Dewan Ahli Kepemimpinan Republik Islam Iran/Majles-e Khobregan-e Rahbari) dan dari sisi kualitas penyelenggaraan serta tingkat pengaruh pemilu serta dari sisi tingkat partisipasi rakyat, merupakan sebuah teladan di kawasan Asia Barat serta salah satu contoh kekuatan lunak. Dengan demikian, para penentang Republik Islam Iran senantiasa dengan strategi menolak validasi pemilu, berusaha memprovokasi rakyat untuk tidak berpartisipasi di pemilu.