Komponen Keamanan Berkelanjutan di Kawasan Menurut Rahbar (10)
Pendekatan unilateralisme, dukungan terhadap terorisme dan lari dari hukum termasuk kebijakan Amerika yang selama beberapa dekade terakhir memberi pukulan telak terhadap perdamaian dan keamanan internasional.
Selain itu, langkah Amerika Serikat tersebut juga membuat kawasan Asia Barat menjadi pusat krisis dan instabilitas.
Amerika Serikat dengan dalih memerangi terorisme, menjustifikasi penempatan pasukannya di kawasan, namun dalam prakteknya yang terlihat adalah maraknya instabilitas dan kerusuhan di Asia Barat.
Amerika menyerang dan menduduki Afghanistan dan Irak berdasarkan doktrin "Sistem Baru Dunia". Dengan menempatkan pasukannya di dua wilayah startegis ini, Amerika ingin mengubah sistem negara-negara Asia Barat, dan dengan istilah "Demokrasi Terpimpin" menetapkan nilai-nilai Barat dan non-agama di kawasan ini.
Sekaitan dengan ini, sebagian anggaran militer Amerika dialokasikan untuk membangun dan mengembangkan pangkalan militer. Sejak saat itu, sejumlah anasir dan arus optimis membayangkan bahwa Amerika benar-benar ingin menerapkan dan menegakkan demokrasi, kebebasan dan bangkah kesejahteraan di negara-negara kawasan, dan Afghanistan serta Irak akan bergerak ke arah ini, tapi tak lama kemudian, hayalan ini musnah. Ketika Amerika merasa proses politik berbalik tidak menguntungkan dirinya, tanda-tanda gangguan di negara-negara ini mulai tampak dan pada akhirnya memicu munculnya akar kelompok teroris di kawasan.
Rahbar atau Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran, Ayatullah al-Udzma Sayid Ali Khamenei di pidatonya di peringatan kelahiran Rasulullah Saw dan milad Imam Ja'far as, menyebut menebar pengaruh dan pengobaran friksi sebagai senjata utama Amerika. "Senjata utama Amerika di kawasan ini adalah menebar pengaruh – menebar pengaruh di pusat-pusat sensitif dan pengambil keputusan- menciptakan perpecahan, menciptakan gangguan di tekad nasional berbagai bangsa, mengobarkan ketidakpercayaan di antara bangsa, antara rakyat dan pemerintah, merusak perhitungan para pengambil keputusan serta mencitrakan bahwa solusi untuk menyelesaikan krisis ini adalah berdiri di bawah panji dan bendera Amerika serta tunduk kepada Washington," ungkap Rahbar.
Rahbar menilai peluncuran pusat produksi ideologi anti-perkiraan, membentuk kelompok Takfiri seperti Daesh (ISIS), dan memicu pertumpahan darah di antara orang-orang lalai termasuk program operasional musuh untuk mencapai tujuannya di kawasan.
Amerika di kebijakan anti-Irannya juga memanfaatkan metode ini. Skenario AS adalah melemahkan pemerintahan Republik Islam Iran dan merusak persatuan bangsa Iran supaya negara ini menghadapi friksi politik dan kehancuran sosial, tapi perlawanan rakyat Iran mengadapi arus ini menunjukkan bahwa rakyat sebagai kekuatan utama dan basis penting stabilitas Revolusi dan pemerintah Republik Islam Iran tidak pernah mengijinkan musuh menebar pengaruhnya. Sejumlah pakar menyebut arus ini sebagai Perang Hibrida. AS di perang hibrida memanfaatkan alat propaganda dan media serta jaringan luas pengaruh ekonomi, politik dan keamanan terhadap negara-negara target.
Andrew Korybko, jurnalis dan pakar politik terkait hal ini mengatakan, "Amerika Serikat setelah pengalaman mahal di perang Irak dan pendudukan negara ini sejak tahun 2003 dan selanjutnya, telah meningkatkan ketergantungannya terhadap Perang Hibrida, karena Washington belajar dari perang Irak pelajaran yang tak terlupakan tentang pentingnya perang "outsourcing" kepada sekutu yang berpikiran sama di kawasan. Dengan kata lain, Amerika memutuskan untuk manghindari perang konvensional dan condong ke perang proksi. Perang ini pada dasarnya perang non-konvensional dan "internal/sipil", serta biasanya dinas militer dan keamanan target tidak siap untuk menghadapinya."
Amerika dengan memanfaatkan metode merusak kepercayaan di antara Iran dan negara-negara Arab kawasan, selain ingin mengurangi biaya intervensi langsung militer, juga ingin mengejar kepentingan dari pengobaran krisis ini dengan menjual miliaran dolar senjata ke kawasan. Tentu saja, peristiwa 11 September 2001, memberikan kesempatan bagi Amerika Serikat untuk berteori politik berbasis kekuasaan di ruang baru.
Dengan demikian, penggunaan paksaan dan kekuatan militer sebagai dukungan diplomasi Amerika, bahkan tanpa dukungan komunitas internasional, mendapat perhatian serius negara ini. Menyusul operasi militer Amerika di Afghanistan pada tahun 2001 dan penempatan pasukan koalisi di negara ini, pendekatan Washington di Teluk Persia semakin radikal dan hasil dari kebijakan resmi Clinton terkait kawasan ini sebagai pengekangan ganda berubah menjadi pusat kejahatan, di mana Iran dan Irak menjadi target.
Kebijakan ini memasuki babak baru dan lebih parah di masa pemerintahan Donald Trump, dan fokusnya adalah pada strategi militer dan meluncurkan gelombang permusuhan terhadap Iran di kawasan. Sebuah kebijakan yang meningkatkan ketegangan dan Asia Barat dari Afghanistan dan Irak hingga kawasan Teluk Persia menghadapi kompleksitas, masalah dan kesulitan baru.
Di proses ini, sejumlah negara menganggap keamanannya akan terjamin melalui kehadiran intervensif kekuatan asing, dan melalui pendekatan ini mereka telah memaksakan kerusakan dan ancaman keamanan kepada bangsa kawasan. Sementara keamanan berkesinambungan di kawasan membutuhkan kapasitas internal kawasan dan pertukaran pengalaman di bidang ini.
Namun sangat disayangkan teladan ini menghadapi rintangan akibat kontradiksi kepentingan strategis Barat di kawasan ini. Untuk menghadapi ancaman bersama ini, Iran siap bekerja sama dengan negara tetangga, dan kerja sama ini telah dibuktikan Tehran dengan perang sejati melawan terorisme. Kemenangan yang diraih di front melawan terorisme Takfiri di Suriah dan Irak menunjukkan bahwa melalui kerja sama sejati, keamanan dan stabilitas dapat dipulihkan di kawasan. (MF)