Nov 28, 2019 13:26 Asia/Jakarta
  • Para pengunjuk memprotes pembatasan terhadap Muslim di Prancis.
    Para pengunjuk memprotes pembatasan terhadap Muslim di Prancis.

Seorang pakar hak asasi manusia PBB dalam safarinya ke Prancis, menyatakan keprihatinan atas dampak undang-undang baru anti-terorisme Prancis terhadap hak-hak dasar masyarakat Muslim.

Pelapor Khusus PBB untuk Perlindungan HAM, Fionnuala Ni Aolain mengatakan ia prihatin bahwa undang-undang keamanan baru yang lebih ketat yang diberlakukan November 2018 akan memicu kekhawatiran dan melemahkan warga Muslim.

Ni Aolain menuturkan dia sangat prihatin bahwa undang-undang ini dapat secara tidak proporsional mempengaruhi, menstigmatisasi, dan semakin memarginalkan warga negara yang beragama Islam.

Ni Aolain, yang mengunjungi Prancis dari 14-23 Mei 2018 atas undangan pemerintah, mengakui tantangan keamanan serius dan berkelanjutan yang sedang dihadapi Prancis. Dia menekankan pentingnya memberikan rasa aman bagi semua warga negara, namun ia menggarisbawahi bahwa ini harus dilakukan sejalan dengan komitmen Prancis untuk menegakkan hak-hak dasar dan kebebasan.

"Jelas bahwa masyarakat Muslim Prancis telah menjadi komunitas yang tunduk pada tindakan luar biasa baik selama penerapan keadaan darurat dan hukum baru di samping langkah-langkah anti-terorisme lainnya," kata Ni Aolain seraya menyoroti kasus penutupan masjid-masjid, yang merampas kebebasan beragama warga Muslim.

"Sangat memprihatinkan bahwa masyarakat minoritas Muslim sedang diasosiasikan sebagai 'komunitas tersangka' melalui penerapan berkelanjutan dan luas dari undang-undang anti-terorisme," ungkapnya.

"Tidak ada keraguan bahwa negara dapat secara sah terlibat dalam menerapkan pembatasan untuk menjaga ketertiban umum, tetapi titik kritis akan muncul ketika tindakan anti-terorisme membawa dampak yang mendalam, berkelanjutan, dan berpotensi tidak proporsional terhadap hak asasi manusia dan kebebasan sipil," jelas pejabat PBB ini.

Pernyataan Ni Aolain bukanlah hal baru, ini adalah sebuah realitas yang berlaku di masyarakat Prancis dan pola pandang sebagian besar para pemimpin Eropa terhadap Muslim. Bagi pemerintah dan layanan keamanan negara-negara Eropa, orang Muslim dicurigai sebagai teroris kecuali jika terbukti sebaliknya.

Fionnuala Ni Aolain.

Prancis memiliki minoritas Muslim terbesar di Eropa. Itulah sebabnya ada lebih banyak pembatasan terhadap Muslim. Prancis menjadi pelopor dalam memberlakukan banyak pembatasan pada masyarakat Muslim Eropa.

Pasca serangan teroris 11 Septemper di AS serta serangan teroris tahun 2004 dan 2005 di London dan Madrid, negara-negara Eropa telah memberlakukan undang-undang anti-terorisme baru.

Undang-undang ini memberikan kewenangan yang luas kepada polisi dan dinas-dinas keamanan di Eropa untuk menangkap dan menahan orang-orang yang dicurigai sebagai teroris. Aturan ini sangat mempengaruhi kehidupan kaum Muslim di Eropa dibanding komunitas lainnya. Sebagian besar dari orang yang menjalani penahanan jangka panjang tanpa proses peradilan adalah individu Muslim.

Pada dasarnya, undang-undang anti-terorisme ini telah memperkuat sentimen anti-Muslim dan gerakan Islamophobia di Eropa. UU ini juga menjadi senjata bagi kelompok ekstrem kanan, anti-imigran, dan rasis untuk menyerang warga Muslim.

Perancis menyaksikan banyak serangan teroris dalam beberapa tahun terakhir. Pemerintah Paris menyatakan keadaan darurat selama dua tahun. Polisi dan dinas-dinas keamanan diberikan kewenangan khusus untuk menangkap dan menahan tersangka dalam situasi darurat.

Setelah keadaan darurat berakhir pada November 2018, hak istimewa ini kemudian ditetapkan sebagai kewenangan parmanen polisi dan dinas keamanan Prancis di bawah undang-undang anti-terorisme baru. Mereka sekarang berhak untuk menindak orang-orang yang dicurigai sebagai teroris.

Kewenangan khusus ini telah menciptakan ketakutan bagi sebagian besar warga Muslim Prancis. Sebab, mereka sekarang secara permanen dicurigai sebagai teroris dan dalam setiap insiden, mereka harus bisa membuktikan kalau dirinya tidak bersalah.

Setelah kemenangan partai sayap kanan dan anti-imigran di banyak negara Eropa, kondisi bagi warga Muslim dan imigran menjadi semakin sulit. Komunitas Muslim sekarang menghadapi serangan masif dari kelompok sayap kanan dan anti-imigran.

Partai-partai kanan dan kiri-tengah Eropa, juga bersekutu dengan kubu sayap kanan ekstrem atau memilih diam dalam menyikapi gelombang Islamophobia, karena mereka tidak ingin kehilangan basis massanya.

Negara-negara Eropa menghadapi masalah ekonomi, sosial, budaya, dan keamanan yang kompleks. Kubu kanan ekstrem menyalahkan warga Muslim dan imigran atas situasi ini. Menurut mereka, solusi atas masalah ini adalah melarang warga Muslim mengamalkan ajaran agamanya atau mengusir mereka dari Eropa.

Pencitraan media-media Barat tentang Islam seringkali negatif dan dikesankan mendukung gerakan teroris atau membawa petaka bagi orang lain. Salah satu tujuan mereka adalah mengesankan Islam sebagai agama pendukung kekerasan dan ekstremisme.

Propaganda media Barat menyebabkan meningkatnya serangan terhadap warga Muslim di sebagian besar negara Eropa selama beberapa tahun terakhir. Dalam banyak kasus, warga Muslim mengirim anak-anak mereka ke sekolah dengan rasa takut dan khawatir, karena mereka akan menjadi sasaran bully, penghinaan, dan serangan rasis.

Media dan pemerintah Barat memandang Muslim dengan rasa curiga dan negatif. Padahal, komunitas Muslim Eropa merupakan bagian integral dari masyarakat Eropa. Benua Eropa berdekatan dengan benua Afrika dan Asia, tempat sebagian besar Muslim dunia tinggal. Eropa tidak dapat memagari perbatasannya secara permanen untuk mencegah warga Muslim memasuki Eropa. Selain itu, populasi Muslim Eropa juga terus tumbuh.

Berdasarkan sebuah riset, warga Muslim akan membentuk 8 persen dari populasi Eropa pada tahun 2030. Populasi Muslim di Eropa akan mencapai 44 juta jiwa dan di Amerika Serikat 5 juta jiwa.

Jika pemerintah – dengan kebijakan diskriminatifnya – ingin merusak kehidupan rukun antara Muslim dan warga Eropa lainnya, maka mereka telah merusak pondasi masyarakat Eropa berdasarkan norma-norma kemanusiaan dan pengakuan hak-hak alami dan sipil untuk semua manusia, terlepas dari latar belakang ras, bahasa, dan agama mereka. (RM)