Islamophobia di Barat (56)
Artikel ini akan menyoroti peningkatan serangan terhadap warga Muslim di Inggris hingga dua kali lipat, kecaman terhadap Prancis oleh Komite HAM PBB karena perlakuan buruk terhadap dua wanita bercadar, dan larangan memakai cadar di Quebec, Kanada.
Islamophobia dan propaganda anti-Islam masih saja terjadi di berbagai negara Eropa. Menurut data terbaru, jumlah kasus serangan langsung terhadap orang Muslim di Inggris meningkat lebih dari dua kali lipat dalam lima tahun terakhir.
Menurut jajak pendapat yang dilakukan The Equality and Human Rights Commission (EHRC), kejahatan kebencian berlatar agama meningkat sebesar 40 persen dalam dua tahun terakhir saja, di mana 52 persen dari kejahatan ini menargetkan orang Muslim secara langsung. 70 persen orang Muslim yang disurvei pernah mengalami prasangka berbasis agama.
Anggota parlemen Inggris dari Partai Buruh, David Lammy mengatakan bahwa meningkatnya kejahatan kebencian dalam beberapa tahun terakhir adalah memalukan. Ini semua disebabkan oleh orang-orang yang berada di posisi tinggi. Retorika anti-asing yang dikeluarkan oleh para pemimpin politik telah menyebabkan kekerasan dan pelecehan lainnya di jalan-jalan kita.
“Tidak mengherankan, serangan Islamophobia terhadap wanita Muslim yang memakai hijab meningkat setelah Boris Johnson menggambarkan mereka sebagai "kotak pos," ujarnya.
Tell Mama menyatakan sentimen anti-Muslim meningkat tajam setelah Johnson menyamakan wanita Muslim yang mengenakan burqa dan niqab seperti “perampok bank” atau “kotak surat.”
Menteri Dalam Negeri Inggris, Sajid Javid menuturkan kejahatan kebencian secara langsung bertindak menggerogoti nilai-nilai persatuan, toleransi, dan saling menghormati di negara ini.
Terbitnya data baru tentang meningkatnya kejahatan kebencian dan Islamophobia di Inggris mendorong Dewan Islam Inggris untuk mengeluarkan seruan berulang kali agar pemerintah mengambil tindakan yang efektif dan efisien.
Sekjen Dewan Islam Inggris, Harun Khan menuturkan bahwa selama bertahun-tahun, warga Muslim Inggris menyerukan pemerintah mengambil tindakan nyata melawan meningkatnya Islamophobia, tetapi sejauh ini mereka belum menerima respon yang tepat, pemerintah tidak bisa lagi berdiam diri dan menyaksikan penyebaran Islamophobia.
Pemerintah Eropa bukan hanya tidak mengambil tindakan praktis untuk mencegah meningkatnya Islamophobia, tetapi mereka sendiri turut berkontribusi dalam hal itu. Dalam beberapa kasus, pemerintah Eropa hanya menerima kecaman setelah adanya pengaduan kaum Muslim ke lembaga-lembaga internasional dan Eropa tentang diskriminasi agama terhadap mereka.
Komisi HAM PBB mengecam Prancis atas kejahatan perlakuan buruk dan pelanggaran hak-hak dua wanita Muslim yang memakai cadar. Komisi HAM PBB dalam sebuah statemen mengatakan keputusan Prancis melarang pemakaian cadar untuk wanita Muslim terlalu ekstrim. Kecaman itu muncul setelah dua wanita Muslim Prancis mengadukan pemerintah Paris ke Komisi HAM PBB pada 2016.
Pemerintah Prancis percaya bahwa kedua wanita itu telah melanggar undang-undang 2010 yang melarang penggunaan cadar di depan publik. Komisi HAM PBB menekankan pelarangan nasional terhadap penggunaan cadar adalah tindakan kriminal, mengabaikan hak kedua wanita Muslim ini untuk secara bebas mengekspresikan agama dan kepercayaan mereka.
Badan PBB ini percaya bahwa pemerintah Prancis belum memberikan alasan yang memuaskan dan penjelasan yang cukup tentang urgensitas melarang penggunaan cadar di tempat-tempat umum.
Undang-undang tentang larangan memakai cadar di tempat umum disahkan oleh parlemen negara itu pada 2010. Berdasarkan aturan ini, jika seorang pria diketahui telah memaksa seorang wanita untuk mengenakan cadar dan penutup wajah penuh, maka ia juga akan didenda dan dapat dihukum satu tahun penjara.
Prancis memiliki populasi minoritas Muslim terbesar di Eropa dengan hampir enam juta orang Islam. Komunitas Muslim Prancis bersama dengan para aktivis HAM percaya bahwa pengesahan undang-undang tentang larangan penggunaan cadar, merupakan pelanggaran nyata terhadap kebebasan individu dan agama yang dijamin oleh Konstitusi Prancis.
Meskipun Prancis memiliki minoritas Muslim terbesar di Eropa serta tempat lahirnya demokrasi dan kebebasan, namun negara itu berada paling depan dalam meloloskan aturan untuk membatasi warga Muslim dari kebebasan menjalani hidup dan mengamalkan ajaran agamanya. Padahal, penghormatan terhadap keyakinan dan hak asasi setiap individu diakui oleh Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan Konstitusi Prancis.
Wanita Muslim yang memakai cadar jumlahnya sangat sedikit dan sejauh ini belum ada laporan bahwa wanita pemakai cadar telah menyalahgunakan pakaian model ini untuk berbuat kejahatan. Misalnya, dari enam juta populasi Muslim di Prancis, hanya 2.000 wanita Muslim yang mengenakan cadar. Atau di Denmark, hanya 150 wanita Muslim yang mengenakan cadar.
Semua argumen politik, hukum, dan keamanan untuk melarang pemakaian cadar di negara-negara Eropa, tidak memiliki dasar selain Islamophobia dan sentimen anti-Islam.
Larangan memakai cadar juga mulai diberlakukan di negara bagian Quebec, Kanada.
Sehari setelah kemenangan tak terduga Koalisi Avenir Quebec dalam pemilu Kanada di wilayah itu, Perdana Menteri baru Quebec, Francois Legault mengatakan dalam konferensi pers bahwa ia bermaksud meloloskan RUU untuk memerangi simbol-simbol agama bagi para pegawai pemerintah di seluruh wilayah Quebec.
Dalam satu dekade terakhir, para politisi Quebec berusaha meloloskan berbagai larangan terhadap simbol-simbol agama, terutama niqab. Tindakan itu memicu protes dari kelompok-kelompok seperti, Dewan Nasional Muslim Kanada, Dewan Wanita Muslim Kanada, dan Uni Kebebasan Sipil Kanada. Canadian Charter of Rights and Freedoms memainkan peran penting dalam mencegah penerapan aturan-aturan itu.
Francois Legault mengatakan bahwa aturan yang melarang penggunaan pakaian agamis bagi para guru, hakim, dan petugas polisi, sangat penting karena itu mencegah pelanggaran terhadap hak-hak sipil dan kebebasan individu. Dia menuturkan mayoritas masyarakat Quebec setuju dengan kebijakan barunya.
Namun, ada pengecualian terhadap aturan pembatasan simbol-simbol agama, seperti simbol-simbol agama Katolik yang dianggap "budaya" dan "historis" daripada sebagai simbol agama.
Pada dasarnya, tujuan utama dari pembatasan dan larangan ini untuk mengekang masyarakat Muslim. (RM)