Sistem Pilpres di Amerika, Seperti Apa?
Tak lama lagi, Amerika Serikat akan menggelar pemilu presiden 2020. Pemilu ini akan diselenggarakan pada hari Selasa, 3 November 2020. Pilpres tahun ini akan menjadi pilpres empat tahunan ke-59.
Berdasarkan sistem yang berlaku, kandidat yang memperoleh suara terbanyak dari masyarakat belum tentu memenangkan pemilu. Sebab, presiden AS tidak dipilih secara langung oleh masyarakat, melainkan oleh lembaga yang dikenal dengan istilah electoral college atau lembaga pemilih.
Peserta pemilu yag datang ke tempat pemungutan suara (TPS) sebenarnya memilih orang-orang yang akan duduk menjadi anggota-anggota electoral college, di mana mereka nantinya memiliki tugas utama untuk memilih presiden dan wakil presiden.
Anggota-anggota electoral college bekerja setiap empat tahun sekali, yaitu beberapa pekan setelah pemungutan suara oleh masyarakat di negara bagian. Mereka dicalonkan oleh partai politik di tingkat negara bagian. Mereka biasanya petinggi partai atau sosok yang berafiliasi dengan kandidat presiden dari partainya.
Di TPS, pemilih tidak hanya memberikan suara untuk calon presiden, namun juga calon anggota electoral college. Dalam surat suara, nama mereka biasanya berada di bawah nama kandidat presiden. Namun ada juga negara bagian yang tidak mencetak nama calon anggota electoral college.
Jumlah perwakilan setiap negara bagian dalam kelompok ini disesuaikan dengan total populasi di daerah tersebut. Jumlah total anggota electoral college 538 orang. Seorang kandidat presiden harus memperoleh suara terbanyak, 270 atau lebih, untuk memenangkan pemilu.
Setiap anggota electoral college biasanya akan memilih kepada calon presiden yang mendapatkan suara terbanyak dalam pemilu di negara bagian. Sebagai contoh, jika seorang kandidat dari Partai Republik memenangkan 50,1% suara di Texas, dia akan mendapat seluruh suara dari anggota electoral college dari negara bagian itu, yang berjumlah 38 orang.
California adalah negara bagian dengan perwakilan terbanyak, 55 orang. Sementara negara bagian yang jumlah penduduknya sedikit, seperti Wyoming, Alaska, dan North Dakota, termasuk Washington DC, diwakilkan oleh minimal tiga orang. Setiap orang dalam lembanga ini memiliki satu hak suara.
Hanya negara bagian Maine dan Nebraska yang membagi suara electoral college berdasarkan proporsi suara yang diterima masing-masing calon presiden. Inilah alasan calon presiden AS fokus memenangkan negara bagian yang tidak menyerahkan seluruh suara untuk kandidat yang paling banyak dipilih. Negara bagian seperti ini dikenal dengan istilah swing state.
Memenangkan sebanyak mungkin suara dari setiap negara bagian bukan strategi yang biasa dilakukan. Sangat mungkin seorang kandidat menjadi yang paling populer secara nasional di kalangan pemilih, namun gagal mendapatkan 270 suara dari anggota electoral college.
Dua dari lima pilpres AS terakhir dimenangkan oleh kandidat yang tidak mendapat suara terbanyak dari masyarakat. Pada pilpres 2016, Donald Trump berselisih tiga juta suara di bawah pesaingnya, Hillary Clinton. Namun Trump mendapatkan suara terbanyak di electoral college.
Sementara pada tahun 2000, George W Bush mendapatkan 271 suara electoral college. Padahal calon presiden dari Partai Demokrat, Al Gore, mendapat setengah juta suara lebih besar dari masyarakat ketimbang Bush.
Selain Trump dan Bush, terdapat tiga presiden AS lainnya yang memenangkan pilpres walau tidak mendapatkan suara terbanyak dalam pemilihan umum. Tiga presiden itu menjabat pada abad ke-19, yaitu John Quincy Adams, Rutherford B Hayes dan Benjamin Harrison.
Karena jumlah anggota electoral college ditentukan jumlah penduduk, negara bagian di wilayah selatan memiliki pengaruh yang lebih besar dalam memilih presiden. Di beberapa negara bagian, mereka dapat memilih calon presiden yang mereka sukai, terlepas siapa yang mendapatkan dukungan terbanyak dari masyarakat.
Tapi pada praktiknya, anggota electoral college hampir selalu memilih calon presiden yang memenangkan suara terbanyak di negara bagian mereka. Jika seorang anggota electoral college menjatuhkan pilihan yang bertentangan dengan hasil pemilihan di negara bagian mereka, mereka akan dianggap 'tidak setia'.
Pada pilpres 2016, tujuh anggota electoral college mendapat julukan itu. Akan tetapi mereka tetap tidak mengubah pilihan. Ketika konstitusi AS dibuat pada 1787, pemilihan presiden yang didasarkan pada jumlah suara pemilih tidak dilakukan. Pertimbangan mereka waktu itu adalah luas wilayah dan sistem komunikasi.
Namun saat itu juga muncul penolakan terhadap gagasan bahwa presiden akan dipilih anggota parlemen yang berkedudukan di ibu kota, Washington DC. Oleh karena itu, para perumus konstitusi membentuk lembaga pemilihan yang memungkinkan masing-masing negara bagian memberikan suara untuk kandidat tertentu.
Negara-negara bagian yang kecil secara geografis dan demografis menyukai sistem itu karena artinya, bukan suara secara nasional yang menentukan presiden terpilih.
Sistem ini juga disenangi negara bagian di wilayah selatan, kawasan dengan populasi budak yang besar. Walau budak tidak memiliki hak suara, mereka dicatat dalam sensus nasional. Saat itu, mereka tidak dihitung sebagai satu individu, melainkan tiga perlima. (RA)