Sep 18, 2020 20:25 Asia/Jakarta

Uni Emirat Arab (UEA) dan Bahrain resmi menandatangani kesepakatan normalisasi hubungan dengan rezim Zionis Israel di Gedung Putih pada Selasa (15/9/2020).

Kesepakatan damai itu menjadi sangat bersejarah karena selama ini negara-negara Asia Barat yang tergabung dalam Liga Arab menolak hubungan diplomatik dengan Israel demi membela Palestina.

Perjanjian tersebut menyulut banjir kecaman dari berbagai kalangan, terutama di dunia Islam, Republik Islam Iran dan Palestina

UEA mengumumkan secara resmi hubungan diplomatik dengan Israel pada 13 Agustus 2020. Abu Dhabi dan Tel Aviv berencana untuk bertukar kedutaan dan duta besar.

UEA dan Israel telah sejak lama menjalin hubungan secara rahasia. Gagasan untuk meresmikannya muncul beberapa kali dalam setahun belakangan, hingga akhirnya terwujud dalam beberapa bulan terakhir.

Dengan kesepakatan ini, UEA menjadi negara Arab ketiga yang membuka hubungan diplomatik dengan Israel, setelah Mesir dan Yordania, masing-masing pada 1979 dan 1994.

Pada 31 Agustus 2020, delegasi Israel-Amerika lepas landas pada penerbangan komersial pertama dari Tel Aviv ke Abu Dhabi. Arab Saudi mengizinkan penerbangan melintasi wilayah udaranya.

Arab Saudi pada 2 September 2020 mengizinkan penerbangan UEA ke semua negara untuk terbang melewati zona udaranya. Keesokan harinya, Bahrain mengumumkan keputusan serupa, pihaknya setuju mengizinkan penerbangan UEA ke dan dari Israel untuk terbang melintasi wilayah udaranya.

Presiden Amerika Serikat Donald Trump pada Jumat (11/09/2020) malam juga mengumumkan normalisasi hubungan antara Bahrain dan rezim Zionis Israel.  .

"Terobosan BERSEJARAH lagi hari ini! Dua teman BAIK kami, Israel dan Bahrain, menyetujui Kesepakatan Damai, negara Arab kedua yang mencapai kesepakatan damai dengan Israel dalam 30 hari!" kata Trump melalui Twitter, Jumat.

Tak lama setelah itu, AS, Israel, dan Bahrain merilis pernyataan bersama yang menegaskan bahwa mereka akan menjalin "hubungan diplomatik penuh." Dengan demikian, Bahrain menjadi negara Arab keempat yang memiliki hungan diplomatik dengan rezim Zionis.

Sementara itu, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Qatar, Lolwah Al-Khater mengatakan negaranya tidak akan menjalin hubungan diplomatik dengan rezim Zionis sampai masalah Palestina diselesaikan.

"Sikap Qatar mengenai masalah normalisasi hubungan dengan rezim Zionis berpijak pada perjanjian perdamaian yang adil dan komprehensif dengan Palestina, dan berdirinya negara Palestina merdeka di ibu kota Quds," kata Jubir kemenlu Qatar hari Selasa (15/9/2020).

Menurut Al-Khater, normalisasi hubungan dengan Israel tidak bisa menjadi solusi masalah Palestina, sebab langkah ini justru menyebabkan kondisi bangsa Palestina sebagai bangsa yang tidak memiliki kewarganegaraan dan diduduki semakin terjepit.

Di sisi lain, Ketua Parlemen Kuwait Marzouq Al-Ghanim menekankan sikap pasti negaranya terkait isu Palestian dan penolakan normalisasi hubungan dengan rezim Zionis Israel.

Marzouq Al-Ghanim pada Kamis (17/9/2020) saat bertemu dengan Dubes Palestina untuk Kuwait, Rami Tahboub mengatakan, Kuwait mendukung solusi pembentukan dua pemerintah dengan bersandar pada resolusi internasional dan pembentukan negara independen Palestina dengan ibukota al-Quds.

"Kuwait tidak menghadiri acara penandantanganan kesepakatan normalisasi hubungan Uni Emirat Arab (UEA) dan Bahrain dengan Israel di Gedung Putih," pungkasnya.

Kementerian Luar Negeri Republik Islam Iran mengecam normalisasi hubungan diplomatik antara Bahrain dan rezim Zionis, dan menyebut tindakan Manama tersebut sebagai memalukan dan tercela.

Dalam sebuah pernyataan hari Sabtu (12/09/2020), Kemlu Iran menyatakan bahwa alih-alih mendapatkan legitimasi dari rakyatnya, pemerintah Bahrain justru berada dalam kesalahan mendasar karena memunggungi mereka dan dengan tindakan memalukan justru mencari perlindungan pada rezim penjajah al-Quds serta mengorbankan cita-cita mulia Palestina demi pemilu Amerika Serikat.

"Penguasa Bahrain selanjutnya akan terlibat dalam kejahatan rezim Zionis sebagai sumber ancaman terus-menerus terhadap keamanan di kawasan dan dunia Islam serta akar dari berbagai kekerasan, pembunuhan, perang, teror, dan pertumpahan darah selama puluhan tahun di Palestina dan kawasan," imbuh pernyataan itu.

Kemlu Iran menegaskan, tidak diragukan lagi, warga tertindas dan pencari kebenaran Palestina dan Muslim merdeka di dunia tidak akan pernah menerima normalisasi hubungan dengan rezim perampas dan penjahat Zionis Israel, dan tindakan memalukan ini akan terpatri selamanya dalam ingatan sejarah bangsa Palestina yang tertindas dan bangsa-bangsa bebas di dunia.

Kemlu Iran juga memperingatkan segala bentuk ketidakstabilan yang diciptakan rezim Zionis di kawasan Teluk Persia dan menekankan bahwa pemerintah Bahrain dan pemerintah lain yang mengikutinya bertanggung jawab atas semua konsekuensi dari tindakan apa pun dalam hal ini.

Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran Ayatullah al-Udzma Sayid Ali Khamenei dalam pidatonya menyebut normalisasi hubungan UEA dengan rezim Zionis sebagai pengkhianatan terhadap dunia Islam, dunia Arab, dan kawasan.

"Tentu saja situasi ini tidak akan bertahan lama, tetapi stigmanya akan tetap ada di dahi mereka yang melupakan perampasan negara dan penggusuran rakyat Palestina serta membuka kaki kaum Zionis di kawasan," tegasnya.

Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Javad Zarif dalam cuitannya pada 14 September 2020 menulis, Presiden AS Donald Trump sangat membutuhkan foto kampanye, dan menantu laki-lakinya memeras klien regional mereka agara memberinya satu.

"Satu-satunya masalah: 'Perjanjian damai' yang ditandatangani BUKANLAH antara musuh tetapi sekutu lama. Benar-benar kudeta diplomatik! Nantikan lebih lanjut ..." tulis Zarif.  

Yang pasti, normalisasi hubungan negara-negara Arab dengan rezim Zionis akan membuat rezim ilegal ini semakin berani untuk menindas bangsa Palestina dan mengusir mereka dari tanah airnya. (RA)