Sep 29, 2020 15:57 Asia/Jakarta
  • Para wanita Muslim Italia menggelar aksi mengutuk terorisme di kota Roma pada 21 November 2015.
    Para wanita Muslim Italia menggelar aksi mengutuk terorisme di kota Roma pada 21 November 2015.

Di tengah meningkatnya gelombang Islamophobia di Eropa, kaum Muslim di berbagai negara Eropa mencoba untuk memperkenalkan ajaran Islam yang membebaskan umat manusia dan menegakkan keadilan lewat berbagai cara dan terobosan.

Seorang warga Kristen yang baru menjadi muallaf di Italia, Giampiero Paladini memutuskan mendirikan universitas Islam (Università Islamica d'Italia) pertama di kota Lecce, Italia. Paladini berusia 58 tahun dan dibesarkan dalam keluarga Katolik, tapi setelah bertahun-tahun melakukan penelitian, ia memilih masuk Islam pada tahun 2012.

Setelah usaha dan pengurusan yang panjang, Paladini akhirnya berhasil mendirikan Università Islamica d'Italia. Ketika ditanya bagaimana dia mengenal Islam, Paladini berkata, "Jika seseorang mengenal secara utuh tentang masyarakat Barat yang memiliki masalah ideologis, ia akan mencari jalan yang berbeda."

“Saya menyadari bahwa dalam Islam – tidak seperti Kristen – seseorang dapat berbicara langsung dengan Tuhan. Saya menjadi Muslim dan memilih nama Islam Khaled (Giampiero Khaled Paladini) untuk diri saya. Setelah saya masuk Islam, saya baru menyadari bahwa ini adalah jalan yang tepat untuk lebih dekat dengan Tuhan. Saya tidak masuk Islam karena paksaan seseorang, tetapi menjadi Muslim adalah sebuah peristiwa dan anugerah besar dari Tuhan Yang Maha Esa kepada hamba-Nya,” terangnya.

Lalu bagaimana Paladini mendapatkan ide untuk mendirikan universitas Islam, mengingat dalam beberapa tahun terakhir, dengan munculnya sayap kanan di Italia, gelombang Islamophobia meningkat tajam dan propaganda anti-Islam dari para politisi Italia semakin gencar dilakukan.

Università Islamica d'Italia.

Paladini berkata, “Ide awal untuk pekerjaan ini muncul pada tahun 2010, namun tidak terealisasi dengan bermacam alasan hingga pada 2014, saya memutuskan untuk mendirikan universitas ini di kota Lecce. Lecce di Italia Selatan dikenal sebagai “Florence of the South” dengan populasi sekitar 100.000 jiwa. Università Islamica d'Italia mulai beroperasi di kota ini pada Oktober 2015.”

“Selain kendala dalam memperoleh izin universitas, kami juga mendapat penolakan dari masyarakat sekitar. Pada masa itu terjadi serangan teroris di Paris dan Sydney,” kata Paladini tentang kesulitan yang dihadapi dalam mendirikan universitas tersebut.

Di sisi lain, lanjutnya, gelombang imigran Muslim dari Afrika dan Timur Tengah ke Italia sempat menimbulkan kekhawatiran di tengah masyarakat. Secara umum, situasi tidak begitu kondusif untuk pembukaan universitas Islam di Italia.

Giampiero Khaled Paladini menuturkan, “Kami juga harus mempertimbangkan kekhawatiran masyarakat dan memberikan jawaban kepada mereka. Selain itu, bantuan beberapa negara Muslim seperti Qatar dan Kuwait dalam mendanai pembangunan universitas ini telah menimbulkan kekhawatiran tentang penyebaran pandangan ekstrem. Tetapi saya berpendapat bahwa dalam situasi seperti itu, peresmian universitas Islam bisa menjadi cara terbaik untuk memperbaiki pemahaman masyarakat tentang Islam serta melawan fanatisme dan prasangka terhadap agama.”

Menurut saya ini langkah yang tepat untuk menciptakan ruang dialog dan saling pengertian. Dalam pandangan saya, universitas ini sedang melawan sentimen anti-agama dan menjadi sebuah jembatan filosofis antara dua dunia, Islam dan Kristen.

Mengenai mata kuliah dan pelajaran yang diajarkan di Università Islamica d'Italia, Paladini menuturkan, “Universitas memiliki kapasitas untuk menerima 5.000 mahasiswa. Selain mengajar mata kuliah Islam seperti tafsir al-Quran, bahasa Arab, teologi dan fikih, universitas juga menerima mahasiswa pasca sarjana untuk jurusan pertanian, kedokteran, dan kedirgantaraan.”

Giampiero Khaled Paladini.

“Kami juga memiliki jurusan seni, sains, pertanian, dan gelar master untuk ekonomi Islam dan hubungan internasional. Universitas kami bukan hanya untuk mendidik cendekiawan Muslim, tetapi pintunya terbuka untuk semua orang. Kami mengikuti undang-undang Italia, dan misalnya, mahasiswi bebas memilih dalam mengenakan jilbab. Universitas tidak memiliki batasan apapun dalam penerimaan dan siapa pun dari agama, aliran politik, ras, atau jenis kelamin apa pun bisa mendaftar,” jelasnya.

Sayangnya, di tengah upaya masyarakat Muslim di Eropa untuk membangun keharmonisan antara Islam dan Kristen serta memperkenalkan ajaran Islam yang hakiki, media-media serta lembaga politik dan keamanan Eropa terus berusaha mencitrakan Islam sebagai agama yang menyebarkan ekstremisme dan terorisme.

Di Berlin, seorang pengemudi mobil menabrak para pejalan kaki pada Malam Tahun Baru 2019 hingga empat orang mengalami luka serius. Polisi Berlin mengatakan bahwa menurut penyelidikan awal, serangan itu bersifat rasis dan ditujukan untuk menyerang imigran.

Serangan itu dilakukan oleh seorang pria berusia 50 tahun yang awalnya mencoba untuk melindas seorang pejalan kaki, tetapi ia berhasil lolos. Pria tersebut kemudian memutuskan untuk menabrak kerumunan orang yang sedang bermain kembang api dan merayakan awal tahun baru. Menurut keterangan polisi Jerman, empat orang terluka parah dalam serangan itu, termasuk imigran dari Suriah dan Afghanistan.

Jika pelaku serangan ini adalah seorang Muslim dan korbannya dari beberapa orang Kristen, maka insiden tersebut langsung dikaitkan dengan serangan teroris. Tapi sekarang media-media dan polisi dengan mudah mengabaikan peristiwa itu, dan para politisi anti-Islam tidak mengambil sikap apapun. Ketika ada individu yang memiliki nama identik dengan Islam melakukan tindak kekerasan, media-media dan pemerintah Barat langsung mengaitkan kekerasan itu dengan ajaran Islam.

Namun, jika seorang Kristen atau Yahudi atau penganut agama lain melakukan tindakan kekerasan serupa, mereka tidak mencari-cari latar belakang agama pelakunya dan hanya fokus pada subjek perbuatan. Ini adalah kebijakan bias dari pemerintah dan media Barat untuk mengesankan Islam sebagai agama yang mempromosikan ekstremisme dan kekerasan.

Contoh lain dari kebijakan bias ini dapat dilihat dari reaksi mereka dalam menanggapi grafiti anti-Islam di masjid-masjid di Jerman. Jika tindakan seperti itu dilakukan di dinding gereja atau sinagoga, pasti akan ada pemberitaan besar-besaran tentang meningkatnya gelombang anti-Semit dan penyebaran ekstremisme Islam di Eropa. Namun, media dan pemerintah Barat dengan mudah mengabaikan serangan terhadap masjid dan tempat-tempat milik umat Islam.

Pada Desember 2018, sekelompok ekstremis Barat menyerang sebuah masjid yang sedang dibangun di kota Duisburg, Jerman Barat, merusak tempat suci itu dan menulis kalimat-kalimat rasis di dindingnya. Kantor berita Anadolu melaporkan bahwa para penyerang melukis "Bintang Daud" (simbol agama Yahudi) di dinding Masjid Maulana yang berafiliasi dengan Pandangan Nasional Masyarakat Islam-Turki (IGMG).

Kementerian Dalam Negeri Jerman menyatakan bahwa pada 2017 saja, setidaknya 950 kejahatan terhadap Muslim atau masjid terdokumentasikan di Jerman, di mana 33 orang terluka dalam kejahatan itu. Kejahatan tersebut meliputi serangan fisik, surat ancaman, penyebaran kebencian, dan penulisan simbol tertentu di pintu dan dinding masjid. (RM)

Tags