Okt 14, 2020 18:25 Asia/Jakarta

Sekitar dua pekan lagi, Amerika Serikat akan memasuki proses pemilihan presiden baru yang menurut sebagian orang, pilpres kali ini adalah pemilu paling penting dalam sejarah negara itu.

Jutaan warga AS melakukan pemungutan suara pada hari Selasa, 3 November 2020 untuk memilih presiden mereka untuk empat tahun ke depan.

Jajak pendapat terbaru menggambarkan persaingan ketat antara calon presiden petahana dari Partai Republik Donald Trump yang berjuang untuk karir politiknya di tengah tantangan dari capres Partai Demokrat Joe Biden.

Trump telah dikabarkan terinfeksi Virus Corona, COVID-19 dan dibawa ke rumah sakit. Kondisi Presiden AS ini akan membuat kampanyenya keluar jalur dan membuat debat kedua dengan Biden pada 15 Oktober dipertanyakan.

Demokrat berharap bahwa catatan Trump dalam menangani pandemi COVID-19 — yang telah membuat AS terpukul keras dengan tingkat infeksi dan kematian yang tinggi, dan penghindaran pajaknya— akan memenangkan suara mereka.

Trump dan Biden berhadapan untuk pertama kalinya pada Selasa malam, 29 September2020 dalam sesi debat di televisi yang membahas enam isu utama: rekor Trump dan Biden, Mahkamah Agung, COVID-19, ekonomi, ras, dan kekerasan dan integritas pemilu.

Mereka yang dekat dengan kampanye Biden tidak berharap debat yang disiarkan televisi akan mengubah persaingan secara fundamental, mengingat pandemi dan ekonomi.

Demikian pula, Trump yakin akan mengulangi kemenangan mengejutkannya pada tahun 2016 dan janjinya untuk "Membuat Amerika Hebat Lagi".

Saat jejak kampanye bergulir, jajak pendapat selalu berubah. Sebelumnya, menurut Real Clear Politics, Biden unggul 10 poin dari dalam jajak pendapat. Biden di 51,6 dengan Trump tertinggal di belakang dengan 41,6 poin.

Namun, masih ada dua minggu perjalanan kampanye yang harus dilalui dan jumlahnya dapat berubah dengan cepat seiring dengan semakin berkurangnya dukungan publik. 

Sementara itu, sebagian warga Amerika meragukan proses jalannya pemilu mendatang, bahkan Trump dalam beberapa kesempatan mengatakan bahwa jika dirinya tidak berkomitmen untuk memberikan transisi kekuasaan yang damai setelah pemilu presiden pada 3 November 2020 jika dirinya kalah.

Ketika ditanya tentang komitmen terhadap transisi damai sebagai salah satu pilar demokrasi di AS, Trump menjawab, Yah, kita harus melihat apa yang terjadi nanti.

Dalam sebuah kesempatan, Trump juga menolak berargumen apakah dia akan menerima hasil pemilu. Dengan nada bercanda, Trump mengatakan bahwa dia akan tetap menjabat hingga melewati dua masa jabatan yang terikat secara konstitusional.

Penolakannya untuk menjamin transisi yang bebas kekerasan kemungkinan mengkhawatirkan para lawannya yang sudah gelisah melihat posisi Trump sebagai penegak hukum federal dalam memadamkan aksi protes di kota-kota AS.

Menurut Trump, keengganannya berkomitmen pada transisi damai berakar pada kekhawatirannya tentang surat suara. Dia berpendapat bahwa pemungutan suara melalui mail-in-ballots penuh dengan penipuan.

"Anda tahu bahwa yang saya sangat mengeluhkan tentang surat suara dan surat suara itu adalah bencana," kata Trump pada konferensi pers di Gedung Putih, merujuk pada pemberian suara melalui pos yang dia klaim tanpa dasar akan mengarakah kepada penipuan pemilih.

Ketika ditanya dalam wawancara dengan Fox News apakah dia bisa menerima hasil pemilu, Trump menolak.

"Tidak. Saya harus melihatnya. Tidak, saya tidak akan hanya mengatakan 'ya'. Saya (juga) tidak akan mengatakan 'tidak'," jawabnya.

Trump juga mengatakan bahwa penantangnya dari Partai Demokrat Joe Biden hanya akan menang pada pemilu November jika pemilu itu "dicurangi" dan dia menyarankan hasil pemilu kemungkinan akan diperebutkan sampai ke Mahkamah Agung.

Sementara itu, Partai Demokrat telah sejak lama khawatir bahwa Trump mungkin berusaha mempertahankan kekuasaan menggunakan otoritas presiden.

Mahkamah Agung memang menjadi jalan terakhir yang bisa saja dipilih Trump ketika menghadapi kekalahan. (RA)