Des 13, 2020 16:55 Asia/Jakarta

Sudan telah menjadi negara Arab ketiga, setelah Uni Emirat Arab (UEA) dan Bahrain, yang menyetujui kesepakatan normalisasi dengan Israel sejak Agustus 2020 dan menjadi negara kelima yang memiliki hubungan diplomatik dengan rezim Zionis. Mesir dan Yordania telah menjalin hubungan diplomatik masing-masing pada 1979 dan 1994, dan disusul UEA dan Bahrain.

Menteri Informasi Sudan Faisal Mohamed Saleh mengaku bahwa Presiden Amerika Serikat Donald Trump telah menekan negaranya untuk menormalisasi hubungan dengan rezim Zionis Israel. Hal itu diungkapkan Mohamed Saleh dalam wawancara eksklusif dengan Press TV di Khartoum, ibu kota Sudan pada 16 November 2020.

Presiden AS menempatkan Sudan di bawah "tekanan berat" untuk menormalisasi hubungan dengan Israel dan berusaha untuk menggunakan kesepakatan normalisasi sebagai kartu yang menguntungkannya selama pemilu presiden AS pada 3 November lalu. Trump di Gedung Putih pada Oktober 2020 mengumumkan bahwa Sudan dan Israel telah setuju untuk menormalisasi hubungan.

AS telah berjanji untuk menghapus Sudan dari daftar negara yang disebut sponsor terorisme. Itu secara luas dilihat sebagai satu-satunya insentif untuk normalisasi hubungan Sudan dengan Israel.

Sudan akhirnya menyerah pada tekanan AS dan setuju untuk menormalisasi hubungan dengan rezim Zionis Israel. Presiden Donald Trump telah mengumumkan normalisasi hubungan antara Khartoum dan Tel Aviv. Trump mengatakan bahwa ia telah memberi tahu Kongres AS tentang keputusannya untuk menghapus nama Sudan dari daftar negara-negara sponsor terorisme.

Pasca serangan 11 September, AS memasukkan Sudan dalam daftar negara-negara pendukung terorisme. Presiden Sudan Omar al-Bashir di tahun-tahun terakhir pemerintahannya berusaha menghapus nama negaranya dari daftar hitam itu, tetapi gagal meskipun ia telah menyesuaikan kebijakan Sudan dengan kebijakan AS dan sekutunya di kawasan.

Setelah rezim berganti, pemerintahan sementara di Khartoum terus berusaha menghapus nama Sudan dari daftar hitam AS. Dalam beberapa bulan terakhir, para pejabat Khartoum melakukan berbagai pembicaraan dengan pejabat Washington, tetapi AS memanfaatkan kesempatan ini untuk menjinakkan Sudan dan mendorongnya ke arah normalisasi hubungan dengan Israel menjelang pemilu presiden di AS yang diikuti Trump.

Pada September 2020, UEA dan Bahrain setuju untuk menormalisasi hubungan dengan rezim Zionis lewat mediasi Amerika. Sudan adalah negara ketiga yang dipertimbangkan oleh Washington dalam prakarsa ini.

Krisis ekonomi, kekurangan pangan, pengangguran dan kemiskinan, konflik internal, dan perang saudara di beberapa wilayah Sudan, serta wabah virus Corona telah memperburuk krisis di negara itu. Situasi ini dimanfaatkan oleh Washington dan Tel Aviv untuk membuka perundingan dengan Khartoum.

Masalah penghapusan nama Sudan dari daftar hitam dan paket bantuan ekonomi dari AS telah menyita perhatian para petinggi Khartoum, karena mereka sedang berusaha memasok pangan, mencari pinjaman dana, dan dukungan dari Washington.

Sudan akhirnya menyetujui normalisasi hubungan dengan Israel dengan imbalan namanya dihapus dari daftar hitam AS dan memperoleh bantuan ekonomi.

Dalam hal ini, jurnalis terkemuka Arab, Abdul Bari Atwan mengatakan, “Sudan memiliki sejarah dan warisan yang besar dalam melawan pendudukan Israel dan mendukung isu-isu yang berkaitan dengan umat Islam.”

“Normalisasi ini bertujuan untuk menghancurkan sejarah dan warisan ini, serta merusak revolusi dan gerakan-gerakan mulia Sudan untuk mencapai kebebasan, hak asasi manusia, dan pertumbuhan ekonomi. Tampaknya upaya untuk mencuri revolusi rakyat dan menyabot revolusi untuk berbagai kepentingan telah dimulai,” tambahnya.

Meski normalisasi ini disambut baik oleh AS, rezim Zionis, dan sekutunya, tetapi ini bukanlah kabar baik bagi orang-orang Sudan. Banyak partai di Sudan menentang keputusan tersebut termasuk dua partai besar yaitu Partai al-Muttamar dan Partai al-Baath.

Dalam pernyataan terpisah, mereka menentang keputusan rezim yang berkuasa untuk menormalisasi hubungan dengan Israel dan menegaskan bahwa mereka akan berusaha membentuk sebuah front nasional untuk menolak normalisasi hubungan dengan Zionis.

Ketua Partai Ummat Sudan, Shadiq al-Mahdi memperingatkan para penguasa militer dan pemerintahan transisi tentang konsekuensi dari normalisasi hubungan dengan Israel. Dia mengancam akan mencabut dukungan Partai Ummat kepada lembaga-lembaga pemerintahan transisi.

Pekan-pekan mendatang akan menjadi hari-hari kritis bagi Sudan. Sepertinya tidak hanya partai-partai politik, tetapi juga masyarakat Sudan akan menolak kesepakatan seperti itu. Perkembangan ini tidak akan menguntungkan Washington, dan banyak pakar di Amerika juga menganggap tekanan yang diberikan Gedung Putih kepada pemerintahan sementara Sudan, tidak tepat. (RA)