Des 17, 2020 20:55 Asia/Jakarta

Sebuah laporan investigasi menunjukkan bagaimana seorang ahli senior Organisasi untuk Pelarangan Senjata Kimia (OPCW) -yang membocorkan laporannya tentang Suriah- secara pribadi dipuji oleh para direktur organisasi tersebut, yang tetap tidak memberikan peringatan tentang manupulasa laporan karena alasan politik.

Pada Juli 2018, OPCW merilis laporan yang menuduh Suriah telah melakukan serangan kimia di Douma, salah satu kota di barat daya negara ini.

Pada September 2020, Grayzone -situs berita investigasi independen dan bereputasi baik- mengungkapkan bagaimana laporan yang berusaha untuk membenarkan serangan rudal Barat di Suriah, dikeluarkan setelah OPCW merekayasa laporan.

Menurut Press TV, laporan asli yang telah disusun oleh Dr. Brendan Whelan, seorang veteran OPCW  yang telah berkecimpung selama 16 tahun di organisasi ini, telah membebaskan pemerintah Suriah dari peran apa pun dalam serangan Douma.

Whelan mengetahui tentang manipulasi laporan tersebut, tetapi ditolak secara terbuka oleh pejabat senior OPCW. Namun baru-baru ini, Grayzone menunjukkan bahwa dia mendapatkan pujian atas integritas dan keberaniannya dalam mengungkap kejahatan dan manupulasi laporan.

"Anda mengambil semua langkah untuk menjaga integritas moral dan profesional Anda dan itulah yang paling penting," kata salah satu direktur OPCW kepadanya dalam email yang ditemukan oleh situs web tersebut.

Pejabat OPCW lainnya menulis, "Anda menghasilkan banyak pengetahuan dan dengan tidak egois membagikan setiap bagian dari apa yang Anda ketahui dengan orang lain, dengan antusias. Saya berterima kasih banyak untuk ini."

"Saya ingin memuji Anda juga atas karakter dan nilai-nilai kuat Anda, yang telah berdiri kokoh pada saat-saat ketika akan lebih mudah untuk hanya 'melepaskannya' tanpa memperjuangkan apa yang Anda yakini benar. Terima kasih untuk semuanya, sulit menggantikanmu…," tulis pejabat lainnya.

Seorang pejabat OPCW, yang juga memuji Whelan, khawatir bahwa rilis laporan asli akan membantu "narasi Rusia". Menurut Grayzone, ini adalah "pengakuan diam-diam bahwa kemandirian dan ketidakberpihakan organisasi telah menjadi 'bawahan' geopolitik".

Serangan Douma terjadi ketika pasukan Suriah akan memenangkan pertempuran melawan milisi bersenjata dan kelompok-kelompok teroris yang didukung asing di sana. Tuduhan serangan kimia di Douma dijadikan alasan Amerika Serikat, Inggris, dan Prancis untuk meluncurkan serangan rudal terkoordinasi terhadap situs dan fasilitas penelitian di dekat Damaskus, ibu kota Suriah dan kota Homs di barat negara ini.

Barat dan sekutunya mengklaim bahwa serangan itu merupakan upaya untuk melumpuhkan apa yang mereka sebut sebagai kemampuan pemerintah Suriah untuk memproduksi bahan kimia.

Tuduhan serangan kimia yang ditimpakan kepada pemerintah Damaskus terjadi ketika Suriah telah menyerahkan persediaan senjata kimianya ke misi bersama yang dipimpin oleh PBB dan OPCW pada tahun 2014.

Pada September 2020, seorang mantan penyelidik utama OPCW telah menentang laporan akhir dari Misi Pencari Fakta badan tersebut mengenai dugaan serangan kimia di kota Douma pada 7 April 2018, dengan mengatakan, itu mungkin tidak mencerminkan realitas di lapangan.

Ian Henderson mengemukakan argumen itu dalam pertemuan informal Dewan Keamanan PBB pada hari Senin, 28 September 2020 yang diselenggarakan oleh Misi Rusia.

"Saya berbicara untuk diri saya sendiri, tetapi saya tahu ada inspektur Douma FFM (Misi Pencarian Fakta/Fact-Finding Mission) lainnya yang memiliki keprihatinan serupa yang saya lakukan tentang cara investigasi dikendalikan, dikunci… [serta] temuan tercermin dalam laporan akhir FMM," ujarnya.

"Kami percaya bahwa ada lebih dari cukup informasi di luar sana hari ini yang telah menunjukkan poin kami bahwa temuan laporan FFM di Douma mungkin tidak mencerminkan situasi sebenarnya," imbuhnya.

Menyusul dugaan serangan kimia, negara-negara Barat dengan cepat menyalahkan pemerintah Presiden Suriah Bashar al-Assad. Pada 14 April 2018, AS, Inggris, dan Prancis melancarkan serangan rudal terhadap situs dan fasilitas penelitian di dekat Damaskus dan Homs.

Pemerintah Damaskus telah membantah dan menegaskan bahwa tidak ada serangan kimia yang terjadi dan bahwa insiden itu dilakukan oleh badan intelijen asing untuk menekan Suriah dalam menghadapi serbuan tentara terhadap kelompok-kelompok teroris dan milisi bersenjata.

OPCW menyimpulkan bahwa klorin kemungkinan besar telah digunakan dalam serangan itu. Namun, Suriah dan Rusia sama-sama menolak temuan tersebut dengan mengatakan mereka yakin insiden itu dilakukan oleh White Helmets, sebuah kelompok yang mengklaim sebagai LSM kemanusiaan tetapi telah lama dituduh bekerja dengan milisi bersenjata dan teroris untuk melakukan aksi penyerangan dengan gas tersebut.

Di bagian lain sambutannya, Henderson menggarisbawahi perlunya meluncurkan penyelidikan teknis yang transparan yang bertujuan untuk mengklarifikasi jalannya peristiwa di Douma pada tahun 2018.

"Dan ini perlu dilakukan dengan cara yang menunjukkan ketelitian dan integritas ilmiah karena saat ini belum dilakukan," katanya. Mungkin, lanjutnya, yang lebih penting, kami terus berharap bahwa ada seseorang yang mau dan mampu, seseorang yang memiliki keberanian untuk melakukan sesuatu tentang ini.

Pada akhir 2019, situs web whistleblowing WikiLeaks menerbitkan beberapa kumpulan dokumen yang menunjukkan bahwa OPCW mungkin sengaja merekayasa temuannya, terutama menghindari pengungkapan yang mungkin menunjukkan bahwa kelompok teroris berada di balik dugaan serangan kimia tersebut.

Salah satu dokumen yang diterbitkan menunjukkan Sebastien Braha, kepala kabinet di OPCW, telah memerintahkan dalam email bahwa "semua jejak" laporan dari Henderson dihapus dari daftar badan tersebut. (RA)