Khadijah, Teladan Pengorbanan dan Kedermawanan Perempuan
Hari kesepuluh Ramadhan bertepatan dengan peringatan wafatnya seorang wanita terbaik yang berperan penting mendampingi Rasulullah Saw dalam perjuangannya menyampaikan risalah ilahi.
Kepergian beliau tepat di tahun yang sama dengan meninggalnya paman Rasulullah Saw, Abu Thalib yang terjadi tiga tahun sebelum Hijrah dari Mekah ke Madinah. Kehilangan dua orang yang sangat dicintai itu, membuat Rasulullah Saw tenggelam dalam duka yang sangat berat. Oleh karena itu, tahun itu dikenal dengan nama Aamul Huzn atau Tahun Kesedihan.
Sayidah Khadijah dipanggil dengan nama Thahirah yang berarti suci. Kepribadian sucinya dan kedermawanannya membuat beliau dihormati masyarakat umum dan para tokoh di zamannya, sehingga dipanggil Sayidah an-Niswan yang berarti junjungan para wanita.
Ahli hadis al-Qommi menulis, "Sayidah Khadijah as memiliki posisi yang tinggi di sisi Allah, sehingga sebelum kelahirannya ada pesan kepada Isa al-Masih dari sisi Allah bahwa beliau disebut "Mubarakah" dan bersama Sayidah Maryam di surga. Karena dalam Injil ketika menggambarkan ciri khas disebutkan, keturunannya berasal dari seorang wanita agung "Mubarakah".
Pada hari pertama setelah Muhammad diutus sebagai Rasulullah dan sedang turun dari goa Hira, Sayidah Khadijah langsung menyambutnya dan menjadi wanita pertama yang memenuhi seruan risalah Nabi Muhammad Saw dan memeluk agama Islam.
Ketika Rasulullah Saw menyampaikan Islam kepada istri tercinta beliau, Sayyidah Khadijah berkata: “Aku beriman, aku meyakini kenabianmu, aku menerima agama Islam dan aku berserah diri.” (Bihar al-Anwar jilid 18). Sejak awal, Sayyidah Khadijah mampu mengenali kebenaran, menerimanya dengan sepenuh hati serta menyuarakannya dengan lantang.
Ketika Rasulullah dituduh pendusta oleh kaum musyrik dan munafik serta menerima penghinaan dari mereka, Allah Swt meringankan kesedihan dan kekhawatiran utusan-Nya itu melalui Khadijah. Keimanan dan dukungan sang istri membuat Rasulullah Saw optimis dengan masa depan dakwahnya.
Doktor Bint al-Shati' berkata, "Apakah ada istri lain selain Khadijah dengan kapasitas seperti ini; menerima seruan suaminya ketika keluar dari Gua Hira' dengan iman yang kuat, lapang dada, kelembutan, dan kasih sayang, tanpa sedikit pun meragukan kejujurannya dan yakin Tuhan tidak akan meninggalkannya sendirian. Apakah ada wanita lain selain Khadijah yang mampu dengan penuh keikhlasan menutup mata dari kehidupan mewah, harta yang berlimpah, dan kemapaman, untuk mendampingi suaminya dalam kondisi kehidupan yang paling sulit dan membantunya dalam berbagai tantangan demi merealisasikan tujuan yang ia yakini kebenarannya. Tentu saja tidak! Hanya Sayidah Khadijah yang demikian."
Sayidah Khadijah as, adalah wanita bijaksana yang lahir di kota Mekkah, 68 tahun sebelum Hijrah. Dari sisi nasab, kehormatan, status sosial dan keluarga, beliau memiliki posisi yang istimewa di antara kaum perempuan Jazirah Arab dan Quraish.
Dari sisi kesempurnaan, kepribadian dan kebijaksanaan, Sayyidah Khadijah as adalah yang paling utama di antara semua wanita di masa itu. Sejak usia belia, beliau adalah salah satu wanita tersohor di Hijaz dan Arab. Karena beliau adalah wanita pedagang pertama dan merupakan salah satu saudagar terkemuka di Hijaz.
Di samping berdagang, beliau juga sangat meningkatkan kepribadian dan nilai-nilai kemanusiaan dalam dirinya. Sayyidah Khadijah as, tidak mengejar keuntungan membabi-buta. Oleh karena itu, dalam berdagang beliau berusaha menjauhkan diri dari keuntungan tidak benar yang marak di masa itu seperti riba dan lain sebagainya.
Hal ini menjadi faktor pemikat kepercayaan dari banyak kelompok dan lapisan masyarakat serta meningkatkan keberhasilan dan keuntungan yang diperoleh Sayyidah Khadijah as, melalui perdagangan yang halal. Dalam sejarah disebutkan, “Ribuan onta berada di tangan pembantu dan pekerja Khadijah yang melintasi berbagai negeri seperti Mesir, Sham dan Habasyah untuk berdagang dan mengangkut barang dagangan.”
Selain dikenal sebagai seorang pengusaha besar dan sukses, Sayidah Khadijah juga dikenal sebagai sosok spiritual, lembut, suci, dermawan, serta memiliki pemikiran tinggi dan pandangan jauh ke depan. Bahkan di era Jahiliyah, di mana kesucian tidak berarti sama sekali, Sayidah Khadijah juga dikenal dengan nama Thahirah, karena kesuciannya.
Berbagai keutamaan tersebut disandingkan dengan status keluarga dan kekayaannya yang melimpah, membuat banyak pembesar Mekkah yang melamar beliau. Namun, Sayidah Khadijah as adalah wanita dengan pandangan dan kesadaran yang tinggi, hanya mencari keutamaan akhlak dan spiritual. Oleh karena itu, beliau menolak semua lamaran tersebut.
Akan tetapi ketika beliau mengenal seorang sosok terkenal menjaga amanat dan berhati bersih seperti Muhammad, Sayidah Khadijah sendiri yang melangkah maju dan mengajukan permintaan pernikahan.
Dalam pertemuannya dengan Nabi Muhammad Saw, Sayidah Khadijah berkata, “Wahai Muhammad! Aku mendapati dirimu sebagai sosok mulia, penjaga amanat dan seorang manusia di puncak kemurnian, kejujuran, kesucian dan kebenaran, di mana kau menjaga dirimu tetap suci dan tidak ada sedikit pun noda di pangkuanmu. Kau berakhlak baik, terpercaya dan jujur, kau tidak takut untuk berkata jujur dan kau tidak melepaskan nilai-nilai kemanusiaanmu di hadapan apapun. Karakter dan kepribadian muliamu ini telah sedemikian mempesonaku sehingga sekarang aku ingin mengemukakan permintaan pernikahan dan juga perkenalan denganmu. Jika kau menyetujui permintaanku, aku siap untuk melaksanakan acara pernikahan kapan pun waktu yang tepat.”
Selama hidup bersama Nabi Muhammad Saw, Sayidah Khadijah telah memberikan pengorbanan besar kepada beliau dan Islam. Dukungan finansial, mental dan emosional kepada Rasulullah Saw, keyakinan dan pembenaran atas kenabian beliau di saat orang-orang mendustakannya, serta pertolongan beliau kepada Nabi Saw dalam menghadapi orang-orang musrik adalah bagian dari pengorbanan besar beliau kepada Rasulullah Saw dan Islam.
Ketika Nabi Muhammad Saw menjalankan tugas beliau sebagai utusan Allah Saw untuk memberikan hidayah kepada umat manusia, orang-orang musyrik mengganggu dan memusuhi beliau. Di saat-saat seperti itu, istri yang mengerti dan penuh kasih sayang seperti Khadijah adalah penenang hati terbaik yang meredakan kesusahan tersebut.
Ibnu Ishaq, seorang sejarawan terkenal menulis, "Nabi tidak mendengar perkataan kaum yang menolak dan mendustakan, di mana menyebabkan kesedihan dan mengganggu pemikirannya, kecuali Allah Swt telah menghilangkan kesedihan itu melalui Khadijah. Khadijah telah meringankan dampak berat dari ucapan-ucapan kasar yang dilontarkan kepada Rasulullah Saw dan membenarkan beliau. Beliau juga menganggap tidak bernilai terhadap perilaku dan kelancangan orang-orang kepada Rasulullah Saw.
Hari kesepuluh dari bulan Ramadhan adalah hari terakhir bagi seorang perempuan yang selama bertahun-tahun senantiasa mengiringi langkah utusan terakhir Allah Swtitu. Nabi Muhammad Saw di hari semacam ini harus merelakan istri tercintanya untuk kembali kepada Yang Maha Kuasa. Sebuah peristiwa yang menyayat jiwa beliau setelah beberapa waktu sebelumnya harus kehilangan pamannya Abu Thalib.
Wafatnya Sayidah Khadijah begitu mempengaruhi beliau, sehingga tahun itu disebut sebagai "tahun kesedihan" (Am al-Huzn). Ketika Sayidah Khadijah as wafat, Nabi Muhammad Saw menangis. Nabi mengusap air matanya yang bercucuran dengan kedua tangannya ketika memakamkan isteri tercintanya itu. Pada waktu itu beliau berkata, "Tidak ada yang dapat menyamai Khadijah. Ketika semua mendustakanku, ia membenarkanku. Ia menjadi penolongku dalam mendakwahkan agama Allah Swt dan dengan hartanya, ia membantuku."
Salam untukmu Sayidah Khadijah, ibu seluruh kebaikan !
Salam atasmu wahai perempuan dermawan yang mengajarkan derma dan kebaikan tanpa pamrih !
Salam untumu wahai wanita agung yang mengorbankan seluruh dijawa dan raganya untuk tegaknya agama Islam ! (PH)