Uni Eropa dan Sikap Trump Soal Nuklir Iran
Sikap terbaru Presiden Amerika Serikat, Donald Trump terkait Rencana Aksi Bersama Komprehensif, JCPOA selain memperpanjang penundaan sanksi nuklir Iran, juga menetapkan empat syarat baru agar Amerika tetap bertahan dalam kesepakatan nuklir. Sikap itu memicu reaksi dari Uni Eropa dan beberapa negara besar Eropa.
Donald Trump sejak Januari 2018 sampai sekarang telah melakukan dua kali perpanjangan penundaan sanksi nuklir Iran. Pada Jumat, 12 Januari 2018, Trump kembali menandatangani perpanjangan penundaan sanksi nuklir Iran meski tampak tidak senang melakukan hal itu.
Gedung Putih mengumumkan, ini adalah untuk yang terakhir kalinya Trump menandatangani perpanjangan penundaan sanksi dan mengkonfirmasi kesepakatan nuklir Iran. Jika revisi yang diinginkan Trump atas "sunset clause" atau klausul matahari terbenam, peningkatan pengawasan dan penggabungan masalah rudal ke dalam JCPOA, tidak dilakukan, maka Amerika akan keluar dari kesepakatan ini.
Presiden Amerika mengaku siap bekerjasama dengan Kongres untuk menyusun sebuah draf bipartisan terkait Iran. Trump menjelaskan, setiap draf hukum yang ditandatangani soal JCPOA harus mencakup empat prinsip, pertama, Iran harus didesak agar mengizinkan inspeksi atas seluruh situs militer yang diinginkan oleh tim investigasi internasional. Kedua, harus ada jaminan bahwa Iran tidak akan pernah menyentuh atau bahkan mendekati senjata nuklir. Ketiga, berbeda dengan JCPOA, draf tersebut tidak boleh memiliki tenggat.
Trump menegaskan bahwa kebijakan-kebijakannya diambil agar seluruh celah kepemilikan bom bagi Iran tertutup rapat, bukan hanya 10 tahun tapi untuk selamanya. Keempat, draf ini harus dengan tegas, untuk pertama kalinya, dicantumkan dalam undang-undang Amerika bahwa rudal jarak jauh tidak bisa dipisahkan dari program senjata atom, dan produksi serta uji coba rudal Iran harus dimasukkan dalam daftar sanksi.
Richard Solosky, seorang pakar politik di Lembaga Amal untuk Perdamaian Global, Carnegie menuturkan, retorika Trump terkait Iran dan JCPOA muncul dari karakter pribadinya. Solosky menegaskan, Presiden Amerika dalam sikap terbarunya terkait ancaman keluar dari JCPOA dan melawan Iran di kawasan, tidak punya tujuan realistis dan strategis yang jelas.
Perpanjangan penundaan sanksi nuklir Iran terjadi di saat Badan Energi Atom Internasional, IAEA yang menurut isi JCPOA merupakan satu-satunya otoritas paling absah untuk mengawasi kinerja Iran, hingga kini sudah sembilan kali menegaskan kepatuhan Tehran atas kesepakatan nuklir. Berdasarkan kesepakatan nuklir yang ditandatangani tahun 2015 oleh Iran dan Kelompok 5+1 termasuk Amerika, Rusia, Cina, Inggris, Perancis dan Jerman, Tehran sudah membatasi sebagian aktivitas nuklirnya dan sebagai imbalan, Kelompok 5+1 berjanji akan mencabut sanksi nuklir Iran.
Namun, Departemen Keuangan Amerika bersamaan dengan diumumkannya keputusan Trump, malah memasukkan 14 individu dan lembaga ke dalam daftar sanksi dengan dalih melanggar hak asasi manusia dan terlibat dalam program rudal Iran. Di sisi lain, keputusan Trump memperpanjang penundaan sanksi nuklir Iran dan penetapan sejumlah syarat, mendapat reaksi positif dari anggota kabinet dan Kongres.
Nikki Haley, Wakil tetap Amerika di PBB mengatakan, Washington berharap, sekarang negara-negara lain juga bergabung dengan Amerika untuk memukul mundur "perilaku berbahaya Iran". Haley juga mengabarkan berlanjutnya upaya Amerika di PBB untuk menarik dukungan internasional guna memperkuat langkah melawan aktivitas rudal Iran, penerapan pelarangan senjata atas Iran dan menghadapi dukungan pemerintah Iran atas terorisme.
Steven Mnuchin, Menteri Keuangan Amerika mengklaim bahwa Iran telah melanggar HAM dan menuturkan, Amerika tidak bisa tinggal diam dan hanya menyaksikan masalah ini. Senator Bob Corker, Kepala Komisi Hubungan Luar Negeri Senat Amerika terkait sikap Trump mengatakan, pihak-pihak yang menentang implementasi JCPOA termasuk dirinya dan Trump meyakini bahwa JCPOA adalah kesepakatan yang buruk dan sekarang waktunya untuk merevisi kesepakatan ini.
Sebaliknya, sikap Trump juga mendapat reaksi negatif termasuk dari Ernest Moniz, mantan menteri energi Amerika. Ia mengatakan, mengingat Iran selalu mematuhi JCPOA, maka Eropa tidak akan bisa menerima penjatuhan kembali sanksi atas negara itu. Barbara Slavin, pakar masalah Iran di Dewan Atlantik Pusat Asia Selatan percaya, jika pemerintahan Trump keluar dari kesepakatan nuklir Iran, maka ia telah melakukan tindakan bodoh yang berdampak buruk dan akan mengganggu secara serius hubungan Amerika dengan sekutu-sekutu dekatnya. Menurutnya, upaya Trump untuk melemahkan JCPOA gagal, dengan dua alasan.
Pertama, kesepakatan nuklir realitasnya efektif dan bekerja dengan baik, dan protes tak berdasar Trump hanya akan memberi alasan bagi kubu konservatif di Iran untuk menentang pembatasan aktivitas nuklir negara itu. Kedua, jika JCPOA rusak karena sikap Amerika, Iran mungkin saja melakukan langkah-langkah provokatif dan menciptakan krisis di kawasan.
Bertolak belakang dengan apa yang dilakukan Trump, Uni Eropa menegaskan komitmen atas berlanjutnya pelaksanaan penuh dan efektif JCPOA dan mengumumkan, anggota Uni Eropa akan berkoordinasi untuk mengevaluasi bersama keputusan Amerika. Dalam pernyataan yang dirilis Jumat (12/1) malam, Uni Eropa mengaku memperhatikan statemen Donald Trump terkait kesepakatan nuklir Iran dan sebagai langkah awal, melakukan koordinasi dengan tiga negara penandatangan JCPOA yaitu Inggris, Perancis dan Jerman, serta negara anggota Uni Eropa lainnya untuk mengevaluasi bersama statemen ini dan dampaknya.
Dalam pernyataannya, Uni Eropa juga menekankan komitmen atas berlanjutnya implementasi penuh dan efektif JCPOA. Kemenlu Jerman juga mereaksi statemen pemerintah Amerika soal JCPOA dan menegaskan, Berlin tetap menjaga komitmennya atas pelaksanaan penuh kesepakatan nuklir Iran. Uni Eropa pada tahun 2017 berulangkali menentang sikap pemerintah Amerika dan membela JCPOA.
Federica Mogherini, Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa mengatakan, Uni Eropa di tahun 2018 juga akan tetap melanjutkan upayanya untuk mendorong implementasi JCPOA oleh seluruh pihak terkait. Vladimir Yurtaev, dosen di Universitas Persahabatan Rakyat, Rusia meyakini bahwa Iran dalam kesepakatan nuklir akan keluar sebagai pemenang dalam kondisi apapun, bahkan jika Trump membatalkan kesepakatan nuklir itu.
Sikap tegas Uni Eropa terhadap statemen Trump ini menghadapkan lembaga itu, terutama negara-negara besar Eropa anggota Kelompok 5+1 dengan dua pilihan menentukan, mengikuti Trump atau mengikuti JCPOA. Sejak diumumkannya strategi baru Amerika terkait Iran oleh Trump pada 13 Oktober 2017 lalu yang menekankan tidak adanya kepatuhan Iran atas JCPOA dan melimpahkan kasus itu ke Kongres, masalah ini mendapat reaksi negatif dari negara-negara Eropa anggota Kelompok 5+1.
Tiga pemimpin Eropa, Theresa May, Perdana Menteri Inggris, Angela Merkel, Kanselir Jerman dan Emmanuel Macron, Presiden Perancis, mengeluarkan pernyataan bersama yang mengkhawatirkan sikap serampangan Trump terkait JCPOA dan mengumumkan komitmennya atas JCPOA dan pelaksanaan penuh kesepakatan nuklir Iran itu. Menurut mereka, menjaga JCPOA berarti melindungi keamanan nasional bersama.
Sikap tegas petinggi tiga negara Eropa dan dukungan Federica Mogherini atas JCPOA, kembali menguak isu penting konflik Amerika-Eropa. Mogherini menegaskan, kami sepenuhnya berkomitmen atas pelaksanaan penuh JCPOA oleh seluruh pihak, karena merupakan salah satu kunci keamanan Uni Eropa. Pada kenyataannya, sikap negatif Trump terkait JCPOA dan sabotase terang-terangan Presiden Amerika itu untuk merusak kesepakatan internasional ini, bukan hanya menuai protes dari rival-rival Amerika seperti Cina dan Rusia, bahkan telah meningkatkan jurang pemisah antara dua sisi Atlantik yaitu Amerika dan Eropa.
Namun di tengah penekanan Uni Eropa untuk menjaga JCPOA, beberapa petinggi dan pejabat Eropa mengambil sikap yang cenderung berbeda dan menekankan tindak lanjut klaim Amerika terkait Iran termasuk soal perluasan program rudal dan kebijakan regional Tehran. Mereka meyakini penanganan masalah ini harus dilakukan dalam kerangka proses terpisah dan tidak boleh dilakukan dalam kerangka kesepakatan nuklir.
Penentangan keras Trump atas JCPOA yang dalam pandangan Uni Eropa merupakan kesepakatan yang rasional dan tepat untuk menyelesaikan masalah nuklir Iran, dapat membahayakan kesepakatan ini secara serius. Syarat-syarat baru yang ditetapkan Trump terkait JCPOA akan memposisikan seluruh pihak penandatangan kesepakatan dalam dua kubu yang saling berhadapan, termasuk Amerika dan Eropa. Uni Eropa menganggap JCPOA sebagai sebuah kesepakatan yang bisa mengontrol program nuklir Iran, sementara Trump memandangnya berbeda, JCPOA menurut Trump tidak bisa mengontrol atau mengawasi dan membatasi program nuklir Iran.
Trump bahkan mengaku khawatir dengan masalah-masalah yang tidak terkait dengan nuklir seperti program rudal Iran, kebijakan regional Tehran dan pelanggaran HAM di negara itu. Bagi Uni Eropa, mengingat Iran sudah melaksanakan penuh JCPOA, maka kekhawatiran soal kemungkinan nuklir Iran di gunakan untuk kepentingan militer, sudah terkikis habis, dan mereka sekarang menginginkan perluasan hubungan dagang dan ekonomi dengan Iran.
Meski sebagian petinggi Eropa mengaku sejalan dengan Amerika terkait kekhawatiran atas program rudal Iran dan kebijakan regionalnya, namun menurut mereka penyelesaian masalah ini tidak semestinya dibuat dalih merusak kesepakatan nuklir. Dengan demikian dapat diprediksikan bahwa Uni Eropa terutama negara-negara anggota Kelompok 5+1 akan mengumumkan penentangannya atas sikap terbaru Trump dan syarat-syarat yang ia sampaikan agar Amerika tetap bertahan dalam JCPOA, serta menekankan berlanjutnya kondisi sekarang.