KTT G7 Perancis; Dari Friksi Hingga Harapan (1)
KTT G7 yang terdiri dari tujuh negara industri; Amerika Serikat, Perancis, Jerman, Inggris, Jepang, Italia, dan Kanada memulai sidangnya pada Sabtu, 24 Agustus di Biarritz, barat daya Perancis. Sebelum penyelenggaraannya ada kekhawatiran besar tentang hasil pertemuan, mengingat perbedaan yang jelas antara Amerika Serikat dan anggota lainnya.
Sejatinya, KTT G7 pada 2019 merupakan ujian yang sulit bagi persatuan dan integritas anggotanya dalam menghadapi krisis global. Kelompok G7 terdiri dari tujuh negara industri dunia yang memiliki lebih dari setengah ekonomi dunia. Para pemimpin negara-negara dalam kelompok ini mengadakan pertemuan bersama setiap tahun. Fokus utama G7 pada tahun 1975 adalah pada ekonomi dan perdagangan dan rencananya mereka ingin membentuk forum yang terdiri dari negara-negara ekonomi maju dunia adalah untuk mencegah bisnis berubah menjadi kesenjangan politik antara para anggotanya.
Tetapi kebijakan dan tindakan Presiden Donald Trump terkait berbagai isu politik, bisnis, lingkungan dan keamanan yang secara umum menentang sikap dan kebijakan anggota G7 lainnya, termasuk anggota Eropa, Kanada dan Jepang, telah menyebabkan G7 menyimpang dalam tiga tahun terakhir. Menurut mantan anggota Dewan Keamanan Nasional AS Robert Malley, "Unilateralisme Donald Trump telah mengisolasi negara itu, yang kemudian menjadi transparan dengan keluarnya negara ini dari Rencana Aksi Bersama Komprehensif (JCPOA) dan memaksakan pengenaan tarif perdagangannya pada sekutu terdekat AS."
KTT ini diselenggarakan di tengah meningkatnya ketegangan antara Trump dan anggota lain dari kelompok ini. Perang tarif Trump dengan Cina, masalah lingkungan dan kesepakatan nuklir JCPOA dan bagaimana menyikapi Iran adalah di antara masalah yang paling menantang di antara para pemimpin G7. Beberapa analis bahkan percaya bahwa pertemuan ke empat puluh lima G7 akan berakhir tanpa pernyataan akhir karena perselisihan yang memanas antara AS dan anggota Eropa kelompok ini. Masalah ini tidak jauh dari prediksi mengingat pengalaman KTT G7 di Quebec, Kanada pada tahun 2018.
Pada KTT Kanada, perbedaan antara Trump dan para pemimpin G7 lainnya sangat mencolok dan dramatis, sehingga beberapa analis menyebut kelompok ini dengan kelompok 6 + 1, sebagai penjelasan jauhnya pandangan AS dengan sikap anggota kelompok lainnya dalam masalah-masalah internasional yang penting seperti perdagangan, Iran dan perubahan iklim. Sehingga setelah KTT tersebut, Trump bahkan menarik kembali tanda tangan dan dukungannya atas deklarasi KTT G7 di Kanada. Sementara di KTT G7 Perancis, setelah berakhirnya pertemuan pada hari Senin, 26 Agusus , Perancis mengeluarkan pernyataan singkat tentang berbagai isu yang diangkat di KTT dan kesimpulannya.
Masalah penting yang mempengaruhi visi yang akan dibahas pada pertemuan G7 sebelum penyelenggaraannya, Trump telah mendesak agar anggota G7 lain mengikuti kebijakan Washington, terutama model ekonomi AS. Para pejabat AS mengkonfirmasi bahwa Trump selama pertemuannya dengan para kepala negara G7 di Perancis akan memuji kebijakan ekonomi pemerintahnya dan mendorong sekutu untuk mengikuti model AS dalam menyelesaikan masalah ekonomi dunia. Trump bertemu dengan para pemimpin di Inggris, Prancis, Jerman, Jepang, India, dan Kanada.
Reuters menggambarkan pembicaraan Trump dengan para pemimpin negara-negara ini sebagai "rumit". Karena kebijakan perdagangan Trump telah menyebabkan banyak perselisihan antara negara-negara kelompok G7 dengan pemerintah Trump. Jadi, mengingat kebijakan unilateralis Trump dan upayanya untuk memaksakan pandangan dan tuntutannya pada anggota lain dari G7, diharapkan bahwa KTT G7 di Perancis akan menyaksikan banyak kontroversi, seperti halnya KTT G7 sebelumnya pada Juni 2018 yang diadakan di Kanada, dimana pada waktu itu terjadi perdebatan yang belum pernah terjadi sebelumnya antara Trump di satu sisi dan para pemimpin Eropa dan perdana menteri Kanada di sisi lain.
Pada pertemuan kelompok G7 di Perancis, yang dihadiri oleh para pemimpin dari enam negara kelompok itu, terutama para pemimpin Eropa dan pejabat senior UE, seperti Presiden Dewan Eropa Donald Tusk, mereka sangat khawatir tentang prospek situasi ekonomi dunia dan ketegangan perdagangan antara negara-negara besar, khususnya Cina dan AS, dan perilaku perdagangan Washington yang bermusuhan terhadap Eropa. Sejatinya, sejak pelantikan Donald Trump pada Januari 2017, hubungan bilateral antarAtlantik sudah tegang. Dengan mengejar kebijakan unilateralis, Trump telah berusaha untuk memaksakan pendekatan dan tuntutannya yang berbeda pada mitra Washington.
Sikapnya di bidang kebijakan perdagangan dan perang tarif sedemikian keras dan tidak dapat dibela, sehingga Inggris yang menjadi sekutu strategisnya turut mengritiknya. Perdana Menteri Inggris Boris Johnson mengatakan dalam sebuah pernyataan, "Pertumbuhan kebijakan proteksionisme dalam perdagangan internasional, tarif yang kita saksikan dan mereka yang mendukung tarif perdagangan akan bertanggung jawab atas setiap penurunan ekonomi dunia." Para pejabat Eropa Eropa telah mengeluarkan peringatan serius setelah anggota G7 lain mengkhawatirkan aksi perdagangan Trump yang sama terhadap negara-negara ini, terutama negara-negara anggota G7. Presiden Dewan Eropa Donald Tusk telah memperingatkan bahwa Uni Eropa akan menanggapi kemungkinan langkah-langkah pemerintah Trump untuk mengenakan tarif bisnis. Ia mengatakan, "Mungkin ini kesempatan terakhir untuk menghidupkan kembali komunitas politik kita."
Presiden Dewan Eropa, Donald Tusk, membuat kritik tajam ini dengan sengaja sebelum pertemuan puncak melawan Trump. Karena Trump dengan penuh kesombongan dan egois, bukan saja tidak mau mundur dari sikapnya terhadap isu-isu yang diangkat pada pertemuan kelompok G7, tetapi juga secara ceroboh mendesak semua pemimpin lain di negara-negara anggota kelompok G7 untuk mengikuti kebijakan dan tindakannya. Memang, hubungan antara Eropa dan Amerika Serikat selama masa kepresidenan Trump telah menjadi sumber meningkatnya perselisihan dan ketegangan. Kebijakan dan tindakan Trump dalam banyak kasus bertentangan dengan pandangan dan pendekatan Eropa dan ini telah memicu ketidaksenangan dan kritik terus menerus oleh para pejabat tinggi Eropa, termasuk Donald Tusk terhadap presiden AS yang kontroversial ini.
Peneliti Perancis Marie-Cecile Naves percaya bahwa kebijakan Trump didasarkan pada soliditas, gertak sambal dan pertengkaran yang menjadi kekhususan kepribadiannya. Dalam kebijakan unilateralisnya di KTT Perancis, Trump juga berusaha untuk menyampaikan pandangan dan tuntutannya kepada anggota kelompok G7 lainnya, tetapi ia menghadapi satu sikap para pemimpin Eropa dalam masalah yang disengketakan, termasuk keanggotaan ulang Rusia di G-7.
Pada dasarnya, kebijakan dan tindakan Trump di berbagai bidang, terutama penarikan diri dari pelbagai kesepakatan dan perjanjian internasional seperti perjanjian nuklir JCPOA dan Perjanjian Iklim Paris, serta desakannya pada konfrontasi dan perang dagang dengan kekuatan ekonomi lainnya, telah menciptakan ketegangan besar di tingkat global. Masalah ini telah memicu reaksi tajam dari para pejabat senior Uni Eropa. Presiden Dewan Eropa Donald Tusk menggambarkan kebijakan Trump sebagai penyebab ketegangan dunia.
Sebelum meninggalkan KTT G7 di Perancis, Tusk pada hari Sabtu, 24 Agustus sebelum dimulainya KTT G7 di Perancis mengatakan, "Keluarnya AS dari JCPOA tidak memiliki hasil positif dan telah menyebabkan keretakan di Barat." Tusk juga menyebut perang dagang antara anggota G7 dapat menghancurkan kepercayaan di antara mereka. Presiden Dewan Eropa memperingatkan, "Jika Presiden Donald Trump menggunakan tarif perdagangan sebagai alat politik, ini bisa menjadi ancaman bagi seluruh dunia." Sikap kritis Presiden Dewan Eropa pada kebijakan Trump adalah sangat penting mengingat KTT G7 diselenggarakan di Perancis.
Salah satu masalah yang diangkat sebelum pertemuan puncak kelompok di Perancis adalah permintaan Trump agar Rusia bergabung kembali dengan G7. Masalah ini terus diangkat selama KTT G7 dan merupakan salah satu perbedaan utama antara Trump dan para pemimpin Eropa. Rusia dikeluarkan pada 2014 pada KTT G8 karena Barat mengklaim peran negara ini dalam krisis Ukraina. Namun, Trump menegaskan bahwa Moskow harus diundang kembali ke KTT ini. Beberapa hari sebelum KTT kelompok G7, Trump mengatakan ia akan mendukung penyatuan kembali Rusia dengan G7 dan mengubahnya menjadi G8. Ini bukan pertama kalinya Trump mendukung kembalinya Rusia kelompok negara-negara ini. Tahun lalu, ia meminta Rusia untuk kembali ke kelompok negara-negara ini menjelang KTT G7. Menurut Trump, "Banyak hal akan lebih mudah dikaji jika Rusia kembali ke G7."
Sekalipun demikian, permintaan Trump ini ditentang oleh anggota Eropa G7. Negara-negara ini, yaitu Jerman, Perancis dan Inggris, telah menghubungkan realisasi ini dengan perubahan kebijakan Rusia terhadap Ukraina. Kanselir Jerman Angela Merkel mengatakan tentang proposal Rusia untuk kembali ke G7, mengaitkannya dengan implementasi perjanjian Minsk di Ukraina. Presiden Perancis Emmanuel Macron, yang menjamu Presiden Rusia Vladimir Putin beberapa hari sebelum KTT kelompok G7, menegaskan bahwa Rusia tidak akan diizinkan untuk kembali ke G8 sampai krisis Ukraina diselesaikan dan selama itu pula kelompok ini tetap menjadi G7.
Sementara itu, Trump setuju dengan proposal Macron untuk mengundang Rusia ke KTT G7 di Amerika Serikat. Pernyataan paling kontroversial dibuat oleh Perdana Menteri Inggris Boris Johnson, yang bersikeras pada dugaan peran Rusia dalam keracunan bahan kimia mantan mata-mata Rusia Sergei Skripal dan putrinya di Inggris, serta kebijakan lanjutan Rusia tentang Ukraina yang berujung pada menentang kembalinya Rusia ke G7. Menanggapi permintaan Trump, Putin mengatakan bahwa Rusia menganggap ikatan apa pun dengan G7 berguna dan tidak menganggap jauh kembalinya Rusia ke G7.