Des 12, 2021 11:04 Asia/Jakarta
  • komodifikasi agama
    komodifikasi agama

Ritual keagamaan tak lagi bisa dimaknai secara teologis semata, namun sudah bergeser menjadi bagian dari afiliasi dan afinitas kelas sosial yang bersifat duniawi. Ini bukti politisasi dan bisnis agama itu nyata.

Buku “Against Religion: Why We Should Live Without It” (1991), karya Andrew Norman Wilson menuliskan bahwa tumbuh berkembangnya agama dalam suatu negara bukan disebabkan oleh esensi dari nilai kereligiusannya, melainkan oleh pemanfaatan nama atau simbol agama tersebut untuk kepentingan politik dan bisnis.
 
Benarkah demikian?
 
Di Amerika Serikat, ada istilah “God Incorporation” (perusahaan Tuhan?) yang mengacu pada kegiatan keagamaan dan memiliki struktur organisasi sama dengan perusahaan-perusahaan komersial lainnya. Orientasi kegiatannya tak hanya menggelar kebaktian agama yang mengandalkan income (pendapatan) dari pemberian sukarela jemaat semata, namun juga dari aktivitas bisnis seperti menjual buku, compact-disc (CD), T-shirt, dan produk-produk lain.
 
Aktivitas komersial sejenis “God Incorporation” yang menggunakan simbol-simbol agama, tumbuh bagai jamur di musim hujan di seantero dunia. Keuntungan yang dihasilkan sangat luar biasa, bahkan penyelenggara bisa memiliki aset jutaan dollar. Satu alasan yang sama; bahwa aktivitas komersial sejenis ini tak mengenal resiko bisnis (business risk).
 
"Islamic consumption trend"
 
Di Indonesia “Islamic consumption trend” tengah mewabah di seluruh pelosok Tanah Air. Fenomena sekilas menggembirakan, karena secara fisik kondisi ini seolah menggambarkan peningkatan kereligiusan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan spiritualnya. Namun dalam perspektif lain, fenomena ini mengisyaratkan ada keterlibatan politik dan bisnis di dalamnya.
 
Euforia aktualisasi identitas Islam telah dimanfaatkan oleh para petualang politik dan pelaku bisnis (kaum kapitalis) untuk menjadikan agama (Islam) sebagai kemasan (politik) dan komoditas (bisnis). Praktik politisasi dan komodifikasi agama ini sekaligus menandakan terjadinya transformasi, dari spiritual intelligence (kecerdasan spiritual) menjadi emotional spiritual marketing (pemasaran spiritual secara emosional).
Praktik politisasi dan komodifikasi agama yang memanfaatkan nama atau simbol Islam berdampak nyata, yaitu semakin mengaburnya nilai kereligiusan Islam itu sendiri. Sehingga, sulit membedakan identitas Islam sebagai media spiritual (agama), senjata politik atau perangkat komersial, seperti yang terlihat pada bisnis pendidikan (sekolah/universitas), agen perjalanan (naik haji atau umrah), hingga bidang properti dan ritel.
 
Dari perspektif spiritual, politisasi dan komodifikasi agama juga membuat Islam terjebak dalam kerangka formalitas simbolis yang hanya mengedepankan kamuflase dan pencitraan semata. Para petualang politik dan pelaku bisnis sangat jeli melihat peluang segmentasi pasar lewat memanfaatkan simbol-simbol agama (Islam) untuk kepentingan electoral vote atau pun mencari keuntungan bisnis.
 
Islamic consumption trend yang tumbuh sejak era 1990-an, realitasnya telah menjadi kekuatan (politik dan bisnis) sangat signifikan di Indonesia.
Sebagai negara dengan mayoritas penduduknya beragama Islam, terbesar dunia (229 juta jiwa), bentuk politisasi dan komodifikasi Islam berkembang sangat pesat.
 
Tampilnya (banyak) partai politik berbasis agama (Islam) dalam kompetensi politik di Indonesia menandai bahwa Islam bukan sekedar agama. Demikian juga data dari Roadmap Industri Halal Indonesia yang menyumbang Produk Domestik Bruto (PDB) hingga 3,8 miliar dollar AS per tahun (2020), dan label “Halal”, yang telah menjadikan Indonesia sebagai mesin ekonomi, semakin menegaskan bahwa Islam memang bukan hanya sekedar agama.
Kondisi ini sekaligus mengisyaratkan jika ritual keagamaan (Islam) tak lagi bisa dimaknai secara teologis semata, namun sudah bergeser menjadi bagian dari afiliasi dan afinitas kelas sosial yang bersifat duniawi (profan). Dengan demikian tak heran jika nilai-nilai kereligiusan Islam semakin kabur dan kehilangan nilai kesakralannya.
 
Menguatnya politisasi dan komodifikasi agama (Islam) berdampak pada eksklusifisme dan inklusifisme yang berkaitan dengan ideologi radikalisme, dan ini seharusnya menjadi perhatian bersama. Sayang, negara (pemerintah) justru terkesan membiarkan, bahkan malah membuka diri dengan mengakomodasikan agama (Islam) ke dalam persoalan politik dan komoditas bisnis.
 
Kondisi ini menjadikan eksistensi Islam menguat, meskipun bukan dalam hal pemahaman nilai spiritualitas atau kereligiusannya, melainkan untuk kepentingan duniawi (politik).
Dampak negatif semakin profan-nya Islam, juga tercerminkan dalam aktivitas penggalangan dana (crowdfunding) di bawah nama dan simbol Islam lewat platform kotak amal yang belakangan viral.
 
Lalu, ditangkapnya anggota Majelis Ulama Indonesia (MUI), menyususul terbongkarnya kasus kotak amal yang dijadikan sumber pendanaan teroris oleh Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Mabes Polri, merupakan bukti konkret yang memperkuat bukti bahwa Islam memang bukan sekadar agama, melainkan telah menjadi senjata politik (kekuasaan).
 
Pertanyaan rasional kemudian; berapa banyak masyarakat yang sudah tahu, mengerti, dan memahami bahwa berkembangnya agama Islam di Indonesia bukan disebabkan oleh esensi kereligiusannya, melainkan oleh politik dan sebagai branding bisnis?
 
Daniel Richardson (University College, London) dalam hasil penelitiannya menuliskan bahwa orang menjadi lebih bodoh jika berada dalam kelompok. Disertasi ilmiah seperti yang ditulis dalam bukunya; Man Vs Mind: Everyday Psychology Explained (2017), ini juga merekomendasikan bahwa; “Keputusan yang orang ambil sebagai kelompok cenderung buruk dan kurang cerdas dibandingkan dengan yang diambil secara individual”.
Jika melihat catatan PISA (Programme Internasional for Student Assesment) tahun 2019, skor literasi Indonesia sangat rendah (peringkat 72 dari 78 negara). Lantas, apakah besarnya jumlah pengikut Islam di Indonesia disebabkan kereligiusan masyarakatnya atau akibat pengaruh politik dan bisnis?
 
Tak menutup kemungkinan jika besarnya jumlah penganut Islam di Indonesia memang bukan disebabkan oleh derajat kereligiusannya. Artinya masyarakat telah menjadi korban propaganda (politik dan bisnis) yang mengakibatkan taklid buta (hanya menjadi pengikut tanpa tahu alasan atau hanya meniru dan menurut tanpa dalil).
Harus diakui, bahwa politisasi dan bisnis agama memang nyata, bahkan mengalahkan nilai esensi agama itu sendiri. Dan di  sinilah tugas pemerintah (Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan) untuk mengkampanyekan esensi agama yang sebenarnya, agar bangsa ini menjadi semakin cerdas.
 
Ibnu Rusyid (1126-1198) benar, “Jika ingin menguasai orang bodoh, bungkus yang batil dengan agama!”
 
Adjie Suradji, Alumnus Fakultas Sains, Universitas Karachi, Pakistan (Kompas.com)

Tags