Vaksinasi dan Gonjang Ganjing Berdamai dengan COVID-19
Sejumlah negara di dunia mulai melonggarkan pembatasan aktivitas sosial masyarakat, seiring situasi COVID-19 yang dilaporkan kian melandai dalam beberapa pekan terakhir.
Situasi itu dilaporkan otoritas kesehatan Amerika Serikat yang melaporkan angka kasus menurun drastis sejak 21 Januari 2022, dari 5,2 juta jiwa per pekan, menjadi 757.422 per 19 Februari 2022.
Penurunan angka kasus juga terjadi di Inggris dari 1,2 juta jiwa lebih per 2-8 Januari 2022, menjadi 317.283 kasus per 13-19 Februari 2022. Pelandaian kasus juga diumumkan Pemerintah Prancis dari 501.635 kasus baru per 25 Januari 2022 menjadi 76.638 per 19 Februari 2022.
Dilansir dari Reuters, Denmark, Rumania dan Austria memulai pelonggaran aktivitas masyarakat sejak Selasa (1/2), sebab tak lagi menganggap wabah corona sebagai "penyakit kritis secara sosial."
Selang sepekan kemudian, Swedia menjadi negara berikutnya yang juga mengumumkan hal serupa, dengan mencabut ketentuan pembatasan aktivitas sosial di wilayah setempat.
Direktur Pasca-Sarjana Universitas YARSI Prof Tjandra Yoga Aditama mengatakan negara yang mulai melonggarkan restriksi, pada umumnya mempertimbangkan sejumlah aspek kesehatan di wilayah masing-masing.
Aspek pertama adalah situasi puncak kasus varian omicron yang rata-rata telah terlampaui serta ditunjukkan dengan angka kasus yang kian melandai.
Tjandra yang juga Direktur Penyakit Menular Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) Asia Tenggara periode 2018-2020 itu mengatakan cakupan vaksinasi yang semakin masif menjadi tolok ukur utama kepercayaan diri negara dalam mengumumkan capaian endemi di wilayah setempat.
"Jumlah yang divaksinasi lengkap sudah banyak sekali, dapat lebih dari 80 persen penduduk negara itu," katanya.
Selain itu, capaian vaksinasi penguat atau dosis ketiga penguat antibodi masyarakat juga cukup banyak, sehingga membuat otoritas setempat percaya diri untuk melonggarkan aturan pembatasan mobilitas rakyatnya.
Hal yang juga tak kalah penting adalah kemampuan negara Uni Eropa dalam mempersiapkan fasilitas pelayanan kesehatan yang optimal untuk menghadapi gejolak peningkatan kasus di kemudian hari.
Situasi Indonesia
Jika mencermati beberapa indikator tersebut, Indonesia hingga saat ini masih membutuhkan waktu untuk berproses menuju endemi.
Meskipun kasus aktif harian di Indonesia menunjukkan tren penurunan dalam empat hari terakhir, tetapi masih mencatatkan angka kasus yang relatif tinggi.
Komponen dasar yang digunakan pemerintah bersumber pada panduan WHO bahwa penularan dapat dikatakan rendah manakala transmisi Level 1 minimal mencapai 20 per 100.000 penduduk.
Sementara pada Kamis (17/2) kasus aktif harian di Indonesia mencapai 24.678 kasus, Jumat (18/2) mencapai 26.515 kasus, Sabtu (19/2) sebanyak 24.527 kasus dan hari ini mencapai 15.447 kasus. Pun dengan angka kasus konfirmasi yang turun dari 59.635 kasus menjadi 48.484 kasus per hari ini.
Satgas COVID-19 melaporkan kasus harian COVID-19 di Indonesia sempat melonjak hingga tembus 64.718 pasien pada Rabu (16/2). Angka itu merupakan puncak tertinggi kasus COVID-19 sejak pandemi melanda Tanah Air.
Kementerian Kesehatan RI mencatat kasus harian saat ini telah melampaui puncak pencapaian varian delta pada Juli-Agustus 2021 mencapai 56.757 kasus. Tapi angka keterisian tempat tidur isolasi dan ICU COVID-19 di rumah sakit masih terjaga.
Kapasitas tempat tidur dan ruang isolasi di rumah sakit pada hari ini berada di kisaran 38 persen dari total kapasitas nasional 150.000 tempat tidur perawatan pasien yang tersedia. Angka pasien sembuh hari ini juga telah mencapai 32.873 orang.
Sedangkan pada indikator cakupan vaksinasi dosis lengkap di Indonesia baru berkisar 67,37 persen atau setara 140.311.077 jiwa dari total masyarakat sasaran 208.265.720 jiwa. Sebanyak 8.459.050 jiwa atau 4,06 persen di antaranya telah memperoleh vaksin penguat.
Ketua Satgas COVID-19 Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Prof Zubairi Djoerban dalam Dialog Forum Komunikasi IDI, Ahad malam mengatakan belum saatnya bagi Indonesia berdamai dengan omicron yang kini mendominasi di berbagai daerah.
"Berdamai dengan COVID-19 seperti Inggris dan Perancis sekarang? Nanti dulu," katanya.
Alasannya, gelombang ketiga di Indonesia baru saja menunjukkan indikasi peningkatan. Situasi berdamai dengan SARS-CoV-2 baru boleh dilakukan Indonesia manakala angka kasus mulai melandai tajam.
Selain itu, vaksinasi primer dosis lengkap dan penguat juga belum mencapai target yang ditetapkan pemerintah. Kalau omicron sudah mendominasi, sudah mayoritas, sekarang baru di Jawa Bali, daerah lain delta masih banyak.
Peran vaksinasi
Berdasarkan laporan otoritas kesehatan di Amerika Serikat, peran vaksin COVID-19 efektif mencegah rawat inap pasien yang terpapar. Menurut Zubairi Djoerban, rawat inap di rumah sakit untuk yang belum divaksin 44 kali lebih besar dibandingkan yang sudah menerima penguat. Rawat inap untuk yang belum vaksinasi 16 kali lebih besar dibandingkan penerima dosis lengkap.
Dalam acara yang sama, Ketua Tim Advokasi Vaksinasi COVID-19 PB IDI Iris Rengganis melaporkan penelitian terhadap efikasi dari tujuh vaksin yang beredar di Indonesia seluruhnya menunjukkan hasil yang baik.
Vaksin dengan efikasi tertinggi dimiliki vaksin berplatform mRNA Pfizer produksi BioNTech sebesar 95 persen. Di urutan kedua dimiliki vaksin berplatform mRNA Moderna sebesar 94,1 persen.
Pada urutan ketiga dan keempat dimiliki Sinopharm dan Novavax berplatform inactivated virus sebesar 79 persen. Kelima adalah vaksin produksi Oxford University AstraZeneca berplatform mRNA sebesar 70 persen, keenam vaksin produksi China Sinovac sebesar 65,3 persen dan terakhir vaksin Merah Putih yang saat ini telah memasuki fase uji klinis pada manusia.
Harapan kita, menurut Iris, vaksin ini mendekati efektivitas. Kadang-kadang seringkali menjadi lebih rendah karena adanya mutasi dari virus.
Iris mengatakan upaya mempercepat kekebalan populasi diperlukan pemberian penguat bagi orang sehat, orang dengan komorbid yang sudah terkontrol serta diberikan setelah enam bulan suntikan kedua dosis lengkap.
Vaksin penguat diberikan karena respons imun tubuh (antibodi) sudah menurun enam bulan setelah pemberian vaksin kedua dan vaksin terbukti masih efektif terhadap delta dan omicron.
Bila masyarakat terinfeksi, kata Iris, maka gejala yang timbul dapat lebih ringan. Selain itu vaksin juga mengurangi perawatan di rumah sakit dan kematian
Program vaksinasi dosis ketiga di Indonesia dilakukan melalui mekanisme jenis vaksin dan dosis homolog, yaitu pemberian vaksin penguat dengan menggunakan vaksin yang sama dengan vaksin primer dosis lengkap yang sudah didapat sebelumnya.
Selain itu penguat juga diberikan melalui mekanisme heterolog, yaitu pemberian vaksin penguat dengan menggunakan vaksin berbeda dengan vaksinasi primer dosis lengkap yang sudah didapat sebelumnya.
Untuk jenis dosis primer Sinovac, maka untuk penguat akan diberikan vaksin AstraZeneca separuh dosis (0,25ml) atau vaksin Pfizer, separuh dosis (0,15ml).
Untuk jenis dosis primer AstraZeneca, maka untuk penguat akan diberikan vaksin Moderna separuh dosis (0,25ml) atau vaksin Pfizer separuh dosis (0,15ml).
Mengutip penelitian yang dilakukan Schulze zur Wiesch, katanya, di antara petugas kesehatan Jerman pada 2021, tubuh tampaknya merespons paling baik terhadap kekebalan campuran. Pasien yang menerima berbagai jenis vaksin, misalnya, vaksin AstraZeneca, kemudian dosis Moderna dan penguat, tampaknya memiliki perlindungan terbesar.
Penelitian para ahli imunologi, kata Iris, menunjukkan bahwa orang dengan kombinasi kekebalan yang diperoleh melalui infeksi masa lalu ditambah dua suntikan vaksin menghasilkan, antibodi terbaik yang dijuluki sebagai "hibrida atau super imunitas".
Oleh Andi Firdaus
Editor: Masuki M. Astro
COPYRIGHT © ANTARA 2022