Politik Luar Negeri Jokowi di Luar Dugaan
(last modified Thu, 19 Oct 2017 04:03:40 GMT )
Okt 19, 2017 11:03 Asia/Jakarta

Pendiri Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) Dino Patti Djalal menilai Indonesia semakin aktif di tahun ketiga pemerintahan Presiden Joko Widodo. Keaktifan dilihat dari konteks regional dan global.

"Dahulu ada pandangan bahwa Jokowi pada awal pemerintahannya tidak terlalu mementingkan politik luar negeri, tetapi yang terjadi sekarang justru sebaliknya," kata Dino seperti dilansir Media Indonesia, Kamis 19 Oktober 2017.

Dino menjelaskan, Indonesia memiliki tanggung jawab historis dalam mengimplementasikan kebijakan politik luar negeri bebas aktif yang sangat relevan pada era pascaperang dingin. Prinsip bebas aktif yang dianut Indonesia membuka ruang manuver lebih luas untuk berhubungan dengan negara besar dan kecil.

"Namun, bebas aktif saja tidak cukup. Kita harus lebih kreatif dalam konten dan kepemimpinan untuk memastikan apakah Indonesia bisa menjadi pemain dalam mewujudkan perdamaian dan kerja sama internasional," tutur dia.

Wakil Menteri Luar Negeri era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu juga menyoroti peran Indonesia di ASEAN sebagai negara yang secara alami telah diakui kepemimpinannya. "Kebijakan Indonesia terhadap ASEAN benar-benar menjadi tulang punggung kebijakan luar negeri kita."

Pada masa depan, Indonesia perlu menerapkan strategi geopolitik yang berorientasi pada peluang seiring kembali munculnya globalisasi sebagai isu politik di negara berkembang dan negara Barat. Selanjutnya, kebijakan di bidang pariwisata, pendidikan, dan perdagangan harus mampu memanfaatkan globalisasi untuk kepentingan nasional seperti meningkatkan jumlah kunjungan turis asing, mengirim siswa Indonesia untuk belajar di luar negeri, dan menerapkan perdagangan bebas.

"Intinya apakah kita berani bersaing dan memanfaatkan semua peluang ini. Indonesia perlu keberanian melakukan reformasi untuk bisa menjadi pemain penting di pentas global," ucap Dino.

Sorotan media asing

Hasil riset Indonesia Indicator (I2) menyebut kinerja pemerintahan Jokowi yang telah melewati tahun ketiga tidak pernah lepas dari sorotan media internasional. Bahkan, kebijakan politik, keamanan, dan ekonomi mendominasi isu pemberitaan media asing.

"Isu ekonomi relatif lebih banyak mendapatkan sorotan dalam sisi netral dan positif, isu politik keamanan ada beberapa hal yang masih memperoleh framing negatif," ujar Direktur Komunikasi Indonesia Indicator (I2) Rustika Herlambang saat merilis hasil riset bertajuk Rapor Merah Rapor Biru Jokowi: Kajian Analisis Media Asing Berbahasa Inggris, kemarin.

Menurutnya, kebijakan perekonomian Jokowi merupakan sisi yang mendapat sorotan tanpa putus sepanjang setahun terakhir. Persepsi media asing terhadap aspek ekonomi yang terkait dengan Jokowi relatif lebih baik dan netral.

Sementara itu, berdasarkan judul pemberitaan di media asing, masalah politik dan keamanan merupakan salah satu sisi yang masih diberi rapor merah. Isu-isu politik yang dinilai negatif antara lain kemunculan kelompok radikal yang dikhawatirkan mengusung pandangan intoleransi. "Isu tersebut sangat mengkhawatirkan pihak asing."

Sejumlah indikator menunjukkan bahwa politik luar negeri RI dalam kemepimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang berorientasi ke dalam atau "inward looking" sepanjang dua tahun masa jabatannya mulai menunjukkan hasil.

Penanaman modal asing pada sektor prioritas, seperti infrastruktur, indikator yang diharapkan berubah drastis oleh pendekatan politik luar negeri berorientasi ke dalam, kini tumbuh hampir dua kali lipat dibanding periode kekuasaan sebelum Jokowi.

Berbeda dari pendahulunya, yakni masa mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang selalu aktif di panggung internasional untuk menyelesaikan persoalan global, Jokowi lebih banyak menghabiskan waktu untuk membangun hubungan dengan negara-negara yang dinilai bisa menguntungkan Indonesia secara langsung.

Salah satu contoh aktifnya Yudhoyono dalam dalam politik global adalah insiatif penyelenggaraan forum tahunan internasional untuk demokrasi "Bali Democracy Forum". Dia juga menggagas deklarasi kelautan Manado yang dihadiri lebih dari 70 negara.

Kontribusi Yudhoyono pun diakui oleh dunia internasional saat ditunjuk PBB untuk mengepalai panel tingkat tinggi yang bertugas menentukan arah pembangunan dunia sampai tahun 2030 yang kini dikenal dengan nama Tujuan Pembangunan Berkelanjutan--"Sustainable Development Goals." Sementara itu Jokowi tampak tidak terlalu tertarik forum normatif yang tidak menguntungkan Indonesia secara langsung, seperti "Bali Democracy Forum".

Dalam berbagai kesempatan di forum-forum internasional, Jokowi selalu menjajakan Indonesia baru yang lebih bersahabat bagi investasi asing dan lebih terbuka terhadap perdagangan internasional, sekaligus menawarkan proyek-proyek infrastruktur besar sebagai penopang ekonomi dalam negeri.

Dalam pertemuan G20 di Australia tahun 2014, Jokowi menjanjikan reformasi birokrasi yang akan memudahkan pihak asing memulai usaha. Lalu tahun berikutnya, dia mengunjungi China dan Jepang untuk kemudian pulang membawa perjanjian investasi senilai lebih dari 70 miliar dolar AS.

Tujuannya pragmatis; (1) menarik modal asing masuk ke Indonesia yang kemudian akan (2) menciptakan lapangan pekerjaan sehingga memicu pertumbuhan ekonomi. Inilah yang disebut para pengamat sebagai politik luar negeri berorientasi ke dalam.

Orientasi ini terlihat dalam sikap Jokowi yang tidak ragu berselisih dengan negara-negara besar jika kepentingan nasional Indonesia terancam, --kontras dengan Yudhoyono yang mengusung slogan "seribu kawan, tanpa musuh".

Jokowi membiarkan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti membakar kapal-kapal penangkap ikan asing yang beroperasi ilegal di Indonesia, meski kebijakan itu berpotensi memunculkan ketegangan internasional.

Di sisi lain, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi telah menyesuaikan arah kebijakannya dengan visi Jokowi. Dia membentuk "gugus tugas diplomasi ekonomi" yang dikepalai oleh wakil menteri. Orientasi ke dalam juga tampak dalam laporan capaian diplomasi internasional yang menekankan pada keberhasilan pembentukan pusat data bagi lebih dari 2.700.000 tenaga kerja Indonesia di luar negeri untuk meningkatkan perlindungan bagi mereka.

Di dalam negeri, Jokowi telah menyesuaikan visi itu dengan sejumlah kebijakan, di antaranya adalah deregulasi dan revisi datar negatif investasi.

Untuk deregulasi, Jokowi telah berhasil memangkas proses perizinan usaha yang sebelumnya bisa berlangsung lebih dari dua tahun menjadi hanya beberapa bulan. Sementara dari sisi daftar negatif investasi, Jokowi membuka sektor-sektor yang sebelumnya tertutup menjadi terbuka untuk modal asing. (Sumber: Metrotvnews dan Palapapos)