Sikap Barat Mencari-cari Alasan di Perundingan Wina
(last modified Wed, 12 Jan 2022 14:19:27 GMT )
Jan 12, 2022 21:19 Asia/Jakarta
  • Ali Bagheri Kani dan Enrique Mora (dok)
    Ali Bagheri Kani dan Enrique Mora (dok)

Perundingan pencabutan sanksi terhadap Republik Islam Iran di Wina berlanjut ketika pihak Barat khususnya AS sampai saat ini belum menunjukkan tekad politik yang diperlukan untuk meraih kesepakatan.

Selama dua hari terakhir perundingan ketat antara Juru runding senior Iran, Ali Bagheri dan juru runding Kelompok 4+1 (Rusia, Cina, Inggris, Prancis dan Jerman) berlanjut, dan selain digelar perundingan terpisah antara Ali Bagheri dan wakil Rusia, Cina, Uni Eropa dan troika Eropa, juga digelar perundingan tingkat pakar serta membahas isu-isu yang tersisa.

Eskalasi pergerakan delegasi peserta perundingan Wina merupakan salah satu alasan yang mengindikasikan proses perundingan terus berkembang dan dicapai kemajuan di sejumlah isu yang disengketakan.

Juru runding senior Rusia di Wina, Mikhail Ulyanov hari Selasa (11/1/2022) di akun Twitternya menulis, "Mengingat sejumlah spekulasi maka dibutuhkan transparansi. Perundingan Wina digelar sesuai dengan "struktur berbeda" sesuai kebutuhan."

Juru runding senior Rusia, Mikhail Ulyanov

Meski ada sejumlah kemajuan di proses perundingan, sejumlah tuntutan lebih oleh pihak Barat dan bahkan upaya untuk membalik kebelakang isi perundingan, menjadi salah satu faktor yang memperlambat negosiasi. Pihak Barat di satu sisi, berbicara tentang jadwal dan batas waktu untuk kelanjutan pembicaraan, dan di sisi lain, dengan terus-menerus mengubah pendekatan mereka dan mengabaikan perkembangan saat ini, telah menyebabkan gangguan dan perlambatan negosiasi.

Menteri Luar Negeri Prancis, Jean-Yves Le Drian Rabu (12/1/2021) dini hari mengklaim bahwa Iran dan kekuatan global meski ada kemajuan signifikan di perundingan pada akhir Desember, tapi sampai saat ini masih jauh dari kesepakatan untuk menghidupkan kembali JCPOA.

Sementara Iran hadir di perundingan dengan prakarsa dan inisiatif transparan, dan menyatakan tidak akan mengabaikan garis merah dan tuntutan utamanya, serta jika pihak seberang memiliki kemauan yang kuat untuk menerima mekanisme yang direncanakan oleh Republik Islam Iran dalam pencabutan sanksi yang efektif, waktu untuk mencapai kesepakatan akhir akan lebih singkat.

Menteri Luar Negeri Iran, Hossein Amir-Abdollahian terkait urgensitas keseriusan Barat bagi kesuksesan perundingan menjelaskan, "Kami sampai saat ini belum menyaksikan prakarsa baru pihak Barat di perundingan Wina, sepertinya mereka tidak siap untuk segera kembali ke komitmen nuklirnya. Oleh karena itu, di kasus ini kami merasa sampai saat ini Barat masih mencari-cari alasan."

Peran destruktif Israel di perundingan Wina

Sejak awal pembicaraan Wina, rezim Zionis, yang menentang pencabutan sanksi terhadap Iran, telah terus-menerus mengambil posisi mengancam dalam menghadapi kemungkinan kesepakatan dengan Iran. Pada hari Senin, Perdana Menteri Israel Naftali Bennett sekali lagi menyatakan kemarahannya pada pembicaraan Wina dan kemungkinan mencapai kesepakatan selama itu, dengan mengatakan: "Setiap perjanjian dengan Iran tidak akan mengikat bagi Israel."

Kebungkaman negara-negara Barat dalam menghadapi ancaman seperti itu oleh pejabat rezim Zionis, serta klaim mencoba untuk menghidupkan kembali perjanjian 2015 dan koordinasi berkelanjutan dengan rezim Zionis yang terus-menerus berbicara tentang non-komitmen terhadap perjanjian dan kemungkinan tindakan sepihak untuk menghancurkannya, dapat dicermati sebagai tidak adanya indikasi niat baik sejati negara-negara tersebut di perundingan Wina.

Oleh karena itu, segala bentuk sikap Barat yang mengiringi Israel akan memiliki dampak merusak bagi proses perundingan saat ini yang menurut para juru runding dalam kondisi positif, dan mempertanyakan keseriusan pihak Barat untuk meraih kesepakatan di perundingan ini. (MF)