Nasib JCPOA pada Ulang Tahunnya yang Kelima
Setelah 13 tahun melakukan negosiasi internasional yang intensif, perjanjian nuklir JCPOA (Rencana Aksi Bersama Komprehensif) akhirnya tercapai pada 14 Juli 2015. Sepekan kemudian, Dewan Keamanan PBB meratifikasi resolusi 2231 yang mendukung JCPOA.
Kesepakatan tersebut pernah menjadi "kesepakatan bersejarah yang bagus" hingga Presiden Amerika Serikat Donald Trump memutuskan keluar dari perjanjian internasional itu secara sepihak.
14 Juli 2020 menandai ulang tahun kelima perjanjian nuklir JCPOA antara Republik Islam Iran dan dan kelompok negara 5+1 (AS, Inggris, Perancis, Rusia, Cina, dan Jerman).
Di bawah kesepakatan bersejarah ini, semua sanksi terkait nuklir yang dikenakan pada Iran oleh Uni Eropa, Dewan Keamanan PBB dan AS akan dicabut. Sebagai imbalannya, Iran membatasi kegiatan nuklirnya dan memberikan peningkatan akses kepada Badan Energi Atom Internasional (IAEA).
Namun pada 8 Mei 2018, Trump secara sepihak menarik diri dari kesepakatan nuklir antara kelompok 5 +1, yang melanggar Resolusi Dewan Keamanan PBB NO. 2231. Tidak hanya itu, Trump juga meluncurkan kampanye tekanan maksimum terhadap Tehran untuk memaksa Iran menerima tuntutan ilegal Washington. AS kemudian memulihkan semua sanksi terhadap Iran.
Menanggapi langkah ini, Eropa berjanji untuk memperkenalkan dan menerapkan langkah-langkah khusus demi menetralisir efek sanksi sepihak AS terhadap Iran dalam bentuk mekanisme finansial yang disebut INSTEX.
Namun, setelah dua tahun berlalu, mekanisme ini praktis tidak berguna, dan Uni Eropa bersama Troika Eropa belum mengambil banyak langkah untuk menerapkannya secara efektif. Faktanya, pihak Eropa yang menghadapi tekanan AS menolak untuk memenuhi kewajibannya terhadap JCPOA, terutama implementasi INSTEX.
Uni Eropa dan Troika Eropa memainkan peran penting dalam upaya meraih kesepakatan nuklir JCPOA; tetapi setelah AS keluar, mereka tidak memenuhi janjinya untuk mewujudkan isi JCPOA terutama INSTEX.
Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa, Josep Borrell dalam cuitan di Twitternya menegaskan pentingnya menjaga JCPOA. Dia Menyinggung pertemuan Dialog Mediterania (MED2020), dan mengatakan, "Bertepatan dengan ulang tahun kelima JCPOA, saya berbicara tentang perjanjian nuklir internasional ini pada Konferensi Dialog Mediterania 2020. Kita harus menjaga JCPOA dan saya akan terus bekerja sebagai koordinator Komisi Bersama JCPOA".
Klaim Borrell bahwa Eropa serius mempertahankan JCPOA demi menjaga perdamaian dan keamanan regional dan internasional dipertanyakan. Pada saat yang sama, kinerja Uni Eropa dan Troika Eropa dalam implementasi JCPOA bertentangan dengan slogan-slogan mereka.
Meski Iran telah menjalankan kewajibannya terhadap JCPOA, tapi pihak Eropa tidak mematuhi komitmennya terhadap perjanjian nuklir internasional itu.
Wakil Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araqchi menyikapi ketidakpatuhan Jerman, Inggris dan Perancis terhadap JCPOA dengan mengatakan bahwa pelanggaran ketiga negara Eropa ini akan diselidiki di komisi bersama JCPOA
Tehran selama ini menjalin kerja sama aktif dengan Badan Energi Atom Internasional (IAEA) untuk memastikan implementasi penuh JCPOA dengan membangun akses pengawasan IAEA di tingkat tertinggi. Bagaimanapun, JCPOA adalah komitmen multilateral yang harus dijalankan oleh semua pihak dan tidak bersifat satu arah saja.
Tepat setahun setelah Amerika Serikat keluar dari JCPOA, Dewan Tinggi Keamanan Nasional Republik Islam Iran pada 8 Mei 2019 mengambil keputusan untuk mengurangi komitmennya terhadap JCPOA berdasarkan pasal 26 dan 36 perjanjian nuklir internasional ini. Putusan ini diimplementasikan dalam periode lima tahapan.
Duta Besar Republik Islam Iran untuk Rusia, Kazem Jalali dalam sebuah tulisan berjudul "JCPOA di ujung pisau" menjelaskan bahwa JCPOA berpijak pada tiga pilar utama yaitu: ekonomi, teknis serta politik dan hukum". Keputusan Amerika Serikat keluar dari JCPOA yang disusul dimulainya kembali sanksi terhadap Iran dalam dua tahap 90 dan 180 hari memperumit implementasi perjanjian nuklir internasional itu.
Masalah tersebut menjadi perhatian internasional, karena memukul prinsip interaksi dan dialog yang konstruktif. Selain itu, unilateralisme AS terhadap negara lain, terutama Eropa menyebabkan Amerika Serikat memaksa negara-negara penandatangan JCPOA lainnya supaya tidak mematuhi kesepakatan internasional itu.
Mengingat kelanjutan dari kebijakan unilateral Trump, Eropa tidak punya pilihan lain. Pertama kembali ke prinsip membela perjanjian multilateral sebagai masalah penting yang dapat membantu menjaga keberlanjutan JCPOA. Kedua, pihak Eropa melanjutkan langkahnya saat ini yang akan membawa Eropa semakin jauh dari JCPOA.
Kementerian luar negeri Iran dalam sebuah pernyataan peringatan ulang tahun kelima penandatanganan JCPOA, menyatakan, "Rezim Trump di Amerika Serikat berusaha meraih kemenangan dalam pemilu presiden mendatang dengan menempatkan kebijakan luar negerinya terhadap Iran sebagai kemenangan. Oleh karena itu, kehancuran JCPOA melebihi sebelumnya menguntungkan kepentingan politiknya, sekaligus menjegal supaya kepentingan politik Iran tidak terwujud di JCPOA.
Berdasarkan resolusi 2231 Dewan Keamanan PBB, embargo senjata Republik Islam Iran akan dicabut pada Oktober 2020, dan rezim Trump bermaksud untuk memanfaatkan resolusi ini demi kepentingannya.
Pernyataan kemenlu Iran itu menekankan bahwa rezim hegemonik AS tidak lagi bisa mewujudkan kebijakan ilegalnya dengan memaksakan dominasi terhadap struktur politik dan ekonomi internasional, sebab aturan hukum internasional tidak seperti yang dipikirkan Trump.
Langkah-langkah Tehran sejauh ini telah membawa pesan politik penting yang menunjukkan bahwa Iran bermaksud menyelamatkan JCPOA dengan mengembalikan keseimbangan antara hak dan kewajiban. Tapi bagaimana mungkin menyelamatkan kelanjutan JCPOA jika Iran telah menjalankan kewajibannya, tapi tidak diberi akses untuk mewujudkan haknya, dan pihak lain tidak menjalankan komitmennya terhadap perjanjian nuklir internasional itu. (RA)