Babak Baru Percaturan Politik Irak
(last modified Tue, 28 Dec 2021 13:32:01 GMT )
Des 28, 2021 20:32 Asia/Jakarta
  • Aksi warga Irak memprotes hasil pemilu. (dok)
    Aksi warga Irak memprotes hasil pemilu. (dok)

Pengadilan Federal Irak, seperti yang ditunggu-tunggu, mensahkan hasil pemilu parlemen pada hari Senin (27/12/2021). Pengadilan menolak permohonan banding terhadap hasil pemilu legislatif 10 Oktober.

Putusan itu mencakup dua masalah. Pertama, pengadilan memutuskan bahwa langkah Komisi Tinggi Independen Irak mengumumkan hasil pemilu tidak sekaligus merupakan pelanggaran terhadap hukum dan bahwa penghitungan suara dalam pemilu mendatang harus dilakukan secara manual, bukan elektronik. Parlemen baru harus merevisi undang-undang pemilu saat ini.

Pada dasarnya, Pengadilan Federal Irak tidak menerima adanya kecurangan dalam pemilu.

Kedua, pengadilan menolak permohonan untuk membatalkan hasil pemilu. Dengan demikian, gugatan yang diajukan oleh faksi-faksi politik Irak tidak diterima dan hasil pemilu sudah diverifikasi.

Di sini muncul dua pertanyaan. Pertama, bagaimana reaksi kelompok politik Irak terhadap putusan pengadilan federal, dan kedua, bagaimana masa depan situasi politik di Irak?

Faksi-faksi politik Irak menunjukkan perilaku yang baik dan demokratis serta menerima putusan pengadilan meskipun mereka yakin telah terjadi kecurangan. Ketua Aliansi al-Fatah, Hadi al-Amiri mengatakan dia menghormati putusan Pengadilan Federal Irak.

Namun, al-Amiri tetap mengulangi klaim-klaim sebelumnya bahwa proses pemilu telah dicurangi dan direkayasa. Menurutnya, Pengadilan Federal Irak mengeluarkan putusan "di bawah tekanan berat."

Ketua Koalisi Negara Hukum Nouri al-Maliki dan Pemimpin Gerakan Kebijaksanaan Nasional Irak Sayid Ammar al-Hakim serta Harakat Huqooq, menyatakan mereka menghormati putusan pengadilan. Hal senada juga disampaikan oleh Partai Demokrat Kurdistan.

Para hakim di Pengadilan Federal Irak.

Perilaku para pemimpin kelompok politik Irak ini menunjukkan bahwa mereka tidak menginginkan kekacauan, ketidakamanan, dan kekerasan di negara itu.

Para penggugat hasil pemilu percaya bahwa Pengadilan Federal Irak memverifikasi hasil pemilu karena ditekan oleh pihak asing.

Tekanan asing ini mungkin mengacu pada campur tangan utusan Amerika Serikat dan PBB dalam urusan pemilu Irak dan tekanan mereka terhadap pengadilan federal. Meski demikian, pihak penggugat yakin bahwa jika protes ini diteruskan, Irak dapat terseret ke dalam krisis politik dan sosial serta memperburuk situasi saat ini. Oleh sebab itu, putusan tersebut harus diterima meskipun yakin pengadilan federal tidak bersikap independen.

Lalu, bagaimana situasi politik di Irak ke depan? Dengan putusan itu, maka menurut Konstitusi Irak, sidang pertama parlemen baru harus diadakan dalam dua minggu ke depan untuk memilih ketua parlemen. Langkah berikutnya, kelompok-kelompok Kurdi harus mengajukan nama calon presiden baru Irak, dan presiden harus dipilih oleh dua pertiga anggota parlemen.

Tampaknya, langkah yang paling sulit adalah membentuk sebuah koalisi besar dan mengajukan nama perdana menteri baru oleh kelompok-kelompok Syiah Irak. Saat ini Gerakan Sadr dan Koalisi Negara Hukum bersaing untuk membentuk sebuah koalisi besar di parlemen.

Gerakan Sadr menempati urutan pertama dengan perolehan 73 kursi, Koalisi al-Taqaddum, koalisi Sunni terbesar, berada di urutan kedua dengan 37 kursi, dan Koalisi Negara Hukum berada di posisi ketiga dengan 33 kursi.

Dalam beberapa hari terakhir, Gerakan Sadr dan Koalisi Negara Hukum meningkatkan lobi-lobi untuk membentuk koalisi besar dengan partisipasi kelompok-kelompok Syiah. Namun, proses pembentukan koalisi besar dan penunjukan perdana menteri baru sepertinya akan memakan waktu dan bakal melebihi tenggat waktu yang ditetapkan oleh undang-undang. (RM)

Tags