Julani, Sharaa, dan Washington: Musuh Abadi yang Tak Pernah Ada
https://parstoday.ir/id/news/west_asia-i177384-julani_sharaa_dan_washington_musuh_abadi_yang_tak_pernah_ada
"Dalam teater geopolitik, kostum bisa berganti: teroris hari ini, presiden besok. Sutradaranya? Washington.”
(last modified 2025-09-25T11:13:57+00:00 )
Sep 25, 2025 16:36 Asia/Jakarta
  • Julani, Sharaa, dan Washington: Musuh Abadi yang Tak Pernah Ada

"Dalam teater geopolitik, kostum bisa berganti: teroris hari ini, presiden besok. Sutradaranya? Washington.”

Oleh: Purkon Hidayat

Di sebuah poster hitam-putih tahun 2017, wajah Abu Mohammad al-Julani terpampang dengan teks tegas:“Up to $10 million reward.” Amerika Serikat menawari hadiah besar bagi siapa pun yang bisa memberikan informasi tentang pemimpin Jabhat al-Nusra itu. Julani diposisikan sebagai ancaman serius, bagian dari al-Qaeda, dan wajah teror global di Suriah.

Namun, pada 24 September 2025, pria yang sama berdiri di podium emas Sidang Umum PBB. Kali ini ia tampil dengan nama baru: Ahmed al-Sharaa, Presiden Suriah. Bukan buronan, bukan teroris, melainkan kepala negara yang disambut sebagai aktor sah dalam panggung diplomasi dunia. Ironi ini bukan sekadar kisah metamorfosis individu, melainkan potret nyata bagaimana kepentingan geopolitik bisa menghapus label “musuh” hanya dalam hitungan tahun.

Dari Buronan ke Presiden

Julani tumbuh dalam bayang-bayang jihad global, lalu menjadi komandan Jabhat al-Nusra, cabang al-Qaeda di Suriah. Tahun 2013, Amerika resmi melebelinya sebagai Specially Designated Global Terrorist. Empat tahun kemudian, FBI menempelkan wajahnya di daftar buronan bernilai jutaan dolar.

Tapi seiring dinamika perang Suriah, Julani berusaha mengubah citra. Ia memutus hubungan formal dengan al-Qaeda dan merestrukturisasi organisasinya menjadi Hay’at Tahrir al-Sham (HTS). Meski tetap menguasai Idlib dan melakukan berbagai pelanggaran HAM, ia mulai berbicara tentang “pemerintahan sipil” dan “stabilitas lokal.”

Puncaknya terjadi Juli 2025, ketika Departemen Luar Negeri AS mencabut status FTO untuk HTS. Dalih resminya: HTS tak lagi memenuhi kriteria undang-undang AS sebagai organisasi teroris. Dua bulan kemudian, Ahmed al-Sharaa, — nama baru Julani — tampil di PBB sebagai Presiden Suriah. Transformasi dramatis ini menegaskan satu hal penting: dalam politik global, musuh dan sekutu hanya dipisahkan oleh tipisnya tirai kepentingan.

HAM dan Demokrasi: Retorika atau Kostum?

Amerika kerap mengklaim diri sebagai kampiun demokrasi dan hak asasi manusia. Namun kasus al-Sharaa justru membongkar kontradiksi itu dan menunjukkannya kepada dunia, terutama di era Trump.

Amerika menjadikan musuhnya: Iran, Assad, Hamas, Hizbullah sebagai pihak-pihak pelanggar HAM, menjadikannya dasar sanksi dan tekanan.  

Tapi bagi mitra pragmatisnya, standar berubah. Julani, dengan catatan panjang represi sipil dan pelanggaran kemanusiaan, tiba-tiba dianggap bisa pihak yang bisa diajak bicara.

Di sinilah letak masalahnya: demokrasi dan HAM tampak bukan prinsip universal, melainkan alat tekan yang bisa dipakai atau dilepas sesuai kebutuhan strategi.

Membaca pola Amerika secara singkat dengan CLA

Untuk memahami ironi ini, kita bisa menggunakan kerangka Causal Layered Analysis (CLA) yang membedah realitas dalam empat lapisan.

1. Litani (permukaan): Julani dulu buronan, sekarang presiden. Fakta ini sendiri sudah mengejutkan.  

2. Struktur: politik realis Amerika. Stabilitas pasca-Assad lebih penting ketimbang konsistensi nilai demokrasi dan hak asasi manusia. 

3. Worldview: demokrasi bukan tujuan, melainkan instrumen hegemonik. Ia hanya berlaku bila selaras dengan kepentingan global Washington.  

4. Mitos/Metafora: tidak ada musuh abadi, hanya kepentingan abadi. Amerika ibarat sutradara teater: kemarin Julani berperan sebagai penjahat, besok ia bisa dipromosikan jadi pahlawan — kostum tinggal diganti, naskah tetap sama: kepentingan.

Stabilitas Semu, Luka Lama

Dari sudut pandang Washington, legitimasi al-Sharaa memberi manfaat instan antara lain:

  • Menyediakan figur kuat guna mengendalikan transisi Suriah.
  • Menahan pengaruh Iran dan Rusia. 
  • Menawarkan jaminan minimal bagi keamanan Israel.  

Namun dari perspektif sebagian rakyat Suriah, terutama mereka yang pernah hidup di bawah represi bengis HTS, ini ibarat garam di atas luka. Ribuan orang mengalami penahanan sewenang-wenang, represi kebebasan sipil, hingga kesulitan mengakses bantuan kemanusiaan. Kini mereka menyaksikan pemimpinnya disambut di PBB tanpa mekanisme akuntabilitas.

Stabilitas yang ditawarkan hanyalah semu. Negara yang dibangun tanpa keadilan bagaikan rumah di atas pasir. Ia bisa runtuh kapan saja oleh gelombang ketidakpuasan baru.

Dunia Melihat, Kredibilitas Runtuh

Kasus al-Sharaa menambah daftar panjang standar ganda Amerika. Dunia Selatan (Global South) semakin sulit percaya pada narasi demokrasi ala Washington.

Pesan yang terbaca jelas: terorisme bisa dinegosiasikan, asalkan sejalan dengan kepentingan geopolitik. Amerika yang dulu mengklaim “perang melawan teroris” kini justru mengulurkan tangan kepada mantan ikon teroris itu sendiri.

Kontradiksi ini meruntuhkan kredibilitas moral Amerika. Bagi banyak negara, Washington tak berbeda dari kekuatan hegemonik lain: bicara nilai luhur, tapi bertindak dengan logika kuasa.

Musuh Abadi yang Tak Pernah Ada

Kisah Julani yang kini menjadi Ahmed al-Sharaa tidak lain dari drama geopolitik yang terasa absurd, namun nyata. Dari poster FBI hingga podium PBB, ia bertransformasi bukan karena pertobatan moral, melainkan karena perubahan naskah geopolitik.

Amerika tampil sebagai sutradara besar. Demokrasi dan HAM hanyalah kostum panggung yang bisa dipakaikan atau dilepas sesuai kebutuhan. Yang abadi bukanlah musuh, bukan pula sekutu, melainkan kepentingan.

Sejarah akan mengingat kepingan getir ini: seorang buronan bernilai jutaan dolar kini berdiri sejajar dengan para kepala negara lain, sementara jutaan korban perang dibiarkan tanpa keadilan. Dunia pun bertanya: jika prinsip bisa diperlakukan sebagai properti teater, apa yang tersisa dari klaim moral Amerika?