Gaza: Sebidang Tanah Kecil yang Memberi Pelajaran Besar Cinta Tanah Air
-
Seorang ibu dan anaknya di Gaza
Pars Today - Gaza bukan lagi tempat yang terkepung, tapi Gaza berubah menjadi suara setiap orang tua dan muda yang, di tengah reruntuhan, tetap menggemakan seruan untuk tetap tinggal di tanah air mereka.
Menurut laporan Pars Today, di sebuah gang yang tak lagi tampak seperti gang, seorang perempuan tua Palestina berjalan dengan postur bungkuk tapi tetap berdiri dan berkata di depan kamera yang merekamnya sebagai catatan sejarah, "Aku akan menumpahkan tetes darahku yang terakhir di tanah ini, tetapi aku tak akan pernah meninggalkan tanahku."
Suara ini serupa dengan ribuan suara yang melihat Gaza bukan sebagai kota yang terkepung, melainkan sebagai tempat pelajaran terbesar manusia kontemporer untuk "tetap tinggal di tanah air."
Dimensi kemanusiaan
Gaza saat ini lebih terdefinisikan dalam kehidupan sehari-hari dan kemanusiaan ketimbang sekadar peta atau laporan sosial apa pun.
Ketika seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun yang duduk di tangga rumahnya yang rusak dan kita tidak tahu siapa anggota keluarganya yang akan menemaninya di jalan yang sulit ini.
Seorang saudara laki-laki yang mengantre untuk mendapatkan air, seorang ayah yang menggenggam kunci rumahnya, sementara rumah sudah tidak ada, tetapi semua itu masih menjadi bagian dari identitasnya.
Melihat semua gambar-gambar ini sebenarnya lebih dari sekadar tragedi, dan bahkan harus dikatakan bahwa ini adalah simbol perlawanan. Perlawanan yang sama yang dalam literatur Palestina disebut "SUMUD". Sebuah kata yang, melampaui perlawanan militer, berarti tetap berada di tanah air dan melestarikan asal usul seseorang.
Puisi dan sastra perlawanan Palestina
Sejak pertengahan abad ke-20, penyair Palestina seperti Mahmoud Darwish, Samih Al-Qasim, Fadwa Tuqan, dan lainnya telah berulang kali mengangkat tema ini, "ikatan tak terpisahkan antara manusia dan tanah kelahirannya".
Puisi dan sastra di Palestina bukan hanya seni, tetapi juga bahasa politik dan budaya dari generasi yang tidak diizinkan untuk muncul di media atau dalam pertemuan resmi.
Ketika kita melihat seorang perempuan Palestina berdiri di atas reruntuhan sambil menggendong bayinya, ia sebenarnya meneriakkan apa yang telah diciptakan para penyair ini bertahun-tahun lalu dalam bentuk metafora dan kata-kata, bahwa tanah air bukanlah sesuatu yang dapat dipindahkan atau dijual. Tanah air adalah tempat yang harus ditinggali bahkan dalam kondisi yang paling sulit sekalipun.
Makna "tinggal" dalam politik dan sejarah
Bagi banyak orang di Gaza, meninggalkan rumah bukan hanya berarti menyelamatkan nyawa, tetapi juga berarti penyerahan diri yang bersejarah.
Pengalaman "Hari Nakba" tahun 1948 masih segar dalam ingatan, ketika ratusan ribu warga Palestina meninggalkan rumah mereka dengan harapan untuk kembali tapi ternyata tak pernah bisa kembali.
Kini, mereka yang memilih untuk tetap berada di antara reruntuhan, pada dasarnya, sedang berdialog dengan sejarah, janganlah kita mengulangi apa yang pernah terjadi pada kita.
Gaza saat ini dapat dianggap sebagai paradoks terbesar abad ini. Sebuah wilayah geografis kecil yang sekaligus merupakan "wilayah paling mematikan di dunia" dan "ruang kelas terpenting dalam mengajarkan cinta tanah air".
Perempuan tua yang berdiri di antara reruntuhan itu mungkin tak tercatat dalam buku sejarah mana pun, tetapi ia dan ribuan orang seperti dirinya telah memberi makna baru pada kata-kata itu. Bahwa tanah air masih hidup, bahkan ketika mesin oksigen dimatikan dan saluran air kosong.(sl)