Perjanjian Tanpa Palestina: Penipuan atau Pengkhianatan?
https://parstoday.ir/id/news/west_asia-i177800-perjanjian_tanpa_palestina_penipuan_atau_pengkhianatan
Seorang analis politik berpendapat bahwa para pemimpin kawasan telah menanggapi keberanian dan keteguhan yang ditunjukkan rakyat Gaza dengan rasa takut, kepengecutan, dan kepentingan pribadi.
(last modified 2025-10-05T06:08:24+00:00 )
Okt 05, 2025 12:58 Asia/Jakarta
  • Perjanjian Tanpa Palestina: Penipuan atau Pengkhianatan?

Seorang analis politik berpendapat bahwa para pemimpin kawasan telah menanggapi keberanian dan keteguhan yang ditunjukkan rakyat Gaza dengan rasa takut, kepengecutan, dan kepentingan pribadi.

Tehran, Pars Today- David Hearst, analis politik dan mantan penulis senior harian The Guardian, dalam sebuah artikel untuk media Middle East Eye menulis, "Para pemimpin Arab dan Muslim mungkin mengklaim bahwa mereka tertipu dalam mendukung rencana Trump, karena rancangan yang diumumkan di Washington sangat berbeda dengan apa yang sebelumnya mereka setujui di New York. Namun, ini adalah penafsiran yang paling optimistis. Istilah lain yang lebih tepat adalah pengkhianatan."

Hearst menambahkan,“Pada saat opini publik dunia dengan jelas berbalik menentang Israel dan semakin banyak negara yang mengakui negara Palestina, delapan pemimpin Arab dan Muslim justru menyetujui rencana yang menjamin bahwa tidak akan ada negara merdeka yang dapat bangkit dari reruntuhan dendam Israel.”

Tidak Ada Otonomi Sama Sekali

Tidak ada jaminan bahwa pembersihan etnis dan genosida telah berhenti, karena berdasarkan kesepakatan ini, pasukan Israel tidak diwajibkan meninggalkan Jalur Gaza. Justru, Netanyahu yang memutuskan seberapa cepat dan sejauh mana wilayah Gaza akan diserahkan kepada “Pasukan Stabilisasi Internasional” (ISF). Ia juga yang menentukan jumlah bantuan dan bahan untuk rekonstruksi Gaza.

Tidak ada jadwal waktu yang jelas untuk penarikan tersebut. Berdasarkan rencana ini, tidak ada peran yang diberikan kepada kepemimpinan Palestina dalam proses rekonstruksi Gaza. Gaza secara resmi dan permanen dipisahkan dari Tepi Barat yang diduduki, dan setiap gagasan untuk menyatukan keduanya sepenuhnya dihapuskan.

Hearst menegaskan,“Tak satu pun dari delapan pemimpin, perdana menteri, atau menteri luar negeri dari Turki, Qatar, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Yordania, Mesir, Indonesia, dan Pakistan yang berkonsultasi dengan rakyat Palestina sebelum menyetujui rencana ini.”
Demikian pula, rakyat Palestina tidak memiliki sedikit pun wewenang dalam struktur pemerintahan yang akan dipaksakan atas mereka di Gaza.

Semua Sesuai Keinginan Netanyahu

Tak mengherankan jika Netanyahu tersenyum lebar. Ia bahkan mengatakan kepada penonton televisi Israel, “Siapa yang percaya hal seperti ini bisa terjadi? Mereka selalu bilang kita harus menerima kondisi Hamas, menarik pasukan kita agar Hamas bisa bangkit dan membangun kembali Gaza. Mustahil. Itu tidak akan pernah terjadi.”

Dan ketika ditanya tentang kesepakatan untuk pembentukan negara Palestina, ia menjawab, “Tentu saja tidak. Hal itu tidak tertulis dalam kesepakatan, tapi kami telah menyatakan dengan jelas: kami sepenuhnya menentang pembentukan negara Palestina. Presiden Trump juga menyetujui hal itu. Ia berkata bahwa ia memahami posisi kami.”

Dalam hal ini, ia benar. Bagian terakhir dari dua puluh satu pasal kesepakatan itu hanya menyebutkan,“Amerika Serikat akan memfasilitasi dialog antara Israel dan Palestina untuk mencapai kesepakatan tentang prospek politik bagi koeksistensi yang damai dan sejahtera.”

Palestina Ditinggalkan Sendiri

Jika Hamas menyerahkan para sandera, tidak ada jaminan perang akan berakhir, dan tidak akan ada lagi alat tawar-menawar untuk pembebasan para tahanan Palestina. Jika mereka menolak, perang akan berlanjut dengan dukungan penuh dari Trump.

Tidak mengherankan jika Arab Saudi, UEA, Yordania, dan Mesir bersikap menyerah seperti itu. Turki dan Qatar pun ikut terlibat. Keduanya, dengan menyetujui kesepakatan yang sepihak dan tidak adil ini, telah mengkhianati rakyat Palestina. Kini, setelah dua tahun genosida, Israel memperoleh izin penuh untuk tetap berada di Gaza — baik secara langsung maupun melalui perantara seperti Tony Blair, mantan Perdana Menteri Inggris.

Bahkan jika pasukan Israel benar-benar mundur, mereka tetap akan menutup perbatasan, mengendalikan jumlah dan kualitas bantuan serta bahan bangunan untuk rekonstruksi. Mereka memiliki izin untuk menyerang Masjid al-Aqsa. Mereka memiliki izin untuk membangun pemukiman Yahudi baru di Tepi Barat.

Ini adalah versi baru dari formula Perjanjian Oslo, namun dalam skala yang jauh lebih luas dan berbahaya. Rakyat Palestina hanya akan diizinkan hidup berdampingan dengan Israel dalam damai jika mereka menunjukkan kepatuhan penuh terhadap keinginan Israel, berlindung di sudut-sudut tanah yang belum direbut para pemukim, dan meninggalkan setiap impian tentang kemerdekaan.

Belum pernah sebelumnya dalam sejarah, rakyat Palestina dibiarkan begitu sendirian. Para pemimpin Arab dan Muslim telah menanggapi keberanian dan keteguhan rakyat Gaza — yang siang dan malam terpampang di layar televisi — dengan ketakutan, kepengecutan, dan kepentingan pribadi.(PH)