Mencermati Rekor Baru Inflasi di Zona Euro
Tingkat inflasi di Zona Euro, yang dipengaruhi oleh konsekuensi perang di Ukraina, telah mencapai 8,9 persen bulan ini dan memecahkan rekor inflasi tahunan di zona ini.
Tantangan ekonomi di negara-negara Eropa berlanjut dengan kenaikan harga-harga, kekurangan bahan pangan dan bahan bakar, serta peningkatan inflasi di negara-negara Zona Euro telah memicu kekhawatiran.
Kenaikan tajam harga pangan dan energi merupakan penyebab inflasi di Eropa, yang telah membawa perekonomian negara-negara di kawasan ini mendekati resesi.
Dengan berlanjutnya perang antara Rusia dan Ukraina, masalah ekonomi di Eropa semakin meningkat.
Kenaikan harga bahan bakar, kekhawatiran akan pasokan gas yang dibutuhkan untuk musim dingin, kurangnya serealia dan makanan, dan tidak adanya perspektif yang jelas tentang perang antara Rusia dan Ukraina adalah salah satu penyebab krisis ekonomi di Eropa dan Amerika Serikat.
Terkait hal itu, para pimpinan bank sentral Amerika Serikat, Inggris, dan Uni Eropa menggelar rapat bersama untuk mengkaji isu inflasi.
Dalam pertemuan ini, Presiden Bank Sentral Eropa Christine Lagarde menyatakan bahwa ekspektasi inflasi di Zona Euro lebih tinggi dari sebelumnya, dan menganggap tidak mungkin mencapai angka inflasi yang rendah dalam jangka pendek.
Sementara itu, negara-negara Eropa terus mendukung Ukraina melawan perang Rusia dan menghabiskan banyak uang untuk melengkapi dan mengirim senjata militer ke negara ini dan juga secara aktif terlibat dalam kampanye sanksi Rusia.
Menurut prediksi terbaru Komisi Eropa, pertumbuhan ekonomi Jerman yang selama ini dikenal sebagai lokomotif ekonomi 27 negara Uni Eropa, hanya akan tumbuh 1,3% pada 2023, sedangkan angka rata-rata untuk Zona Euro menunjukkan 1,5%. Defisit perdagangan Jerman sebesar satu miliar euro pada Mei juga belum pernah terjadi sebelumnya sejak 1991.
Sebenarnya, pasca krisis ekonomi akibat pandemi COVID-19, serta masa pasca-Brexit dan keluarnya Inggris dari Uni Eropa, negara-negara Eropa kini telah memasuki perang dengan membuat keputusan yang salah mengikuti kebijakan Washington, yang memperburuk masalah ekonomi, kemiskinan dan peningkatan pengangguran dan akan menjadi konsekuensi paling kecil bagi negara-negara di Benua Eropa.
Tingkat inflasi di Zona Euro, yang dipengaruhi oleh konsekuensi perang di Ukraina, telah mencapai 8,9 persen bulan ini dan memecahkan rekor inflasi tahunan di zona ini.
Neil Shearing, ekonom senior Capital Economic Institute, mengatakan dalam hal ini, "Karena peningkatan inflasi yang belum pernah terjadi sebelumnya, biaya hidup dan kekurangan gas, Zona Euro juga menghadapi risiko resesi seperti Amerika Serikat dan Inggris.
Kondisi ekonomi di Amerika juga tidak bagus. Harga makanan menjadi sangat mahal. Jumlah orang yang menggunakan bantuan publik telah meningkat, dan banyak yang khawatir tentang resesi pasca-inflasi.
Surat kabar The Financial Times menulis dalam sebuah laporan, "Pada malam pemilu sela Kongres pada bulan November, tingkat pertumbuhan inflasi telah melebihi pertumbuhan upah, yang berarti bahwa kualitas hidup warga negara Amerika telah menurun."
Presiden AS Joe Biden dan Partai Demokrat tidak mampu mengatasi masalah inflasi di negeri ini, sehingga harga-harga bagi konsumen naik 9,1% pada bulan Juni.
Terlepas dari semua masalah ini, Washington ternyata masih mendorong Ukraina dalam perang dengan Rusia.
Sekarang otoritas Eropa semakin khawatir bahwa krisis ekonomi akan menyebabkan peningkatan pengangguran dan krisis sosial. Krisis yang membuka jalan bagi partai sayap kanan untuk mendapatkan kekuasaan.
Dalam hal ini, Nancy Faeser, Menteri Dalam Negeri Jerman, mengatakan, "Ada risiko bahwa beberapa kelompok, termasuk sayap kanan, akan menyalahgunakan kenaikan harga yang tajam. Karena orang-orang ini telah mengadakan protes sejak awal epidemi Corona dan niat mereka untuk mengintensifkan krisis."
Bagaimanapun, negara-negara Eropa dan Amerika Serikat menghadapi inflasi yang belum pernah terjadi sebelumnya dan kondisi sosial yang mengerikan. Sementara perang Ukraina masih berlangsung. Perang yang akan menempatkan Eropa dalam situasi yang lebih kritis dalam beberapa bulan mendatang dan dengan awal musim dingin.(sl)