Pengobaran Perang AS di Dunia, Warisan Peristiwa 11 September
Amerika Serikat kembali memperingati 20 tahun peristiwa 11 September ketika negara ini masih menghadapi konsekuensi dari peristiwa yang menentukan ini. Sebuah peristiwa yang bisa disebut sebagai faktor fundamental bagi dimulainya era baru dalam hubungan internasional.
Peristiwa 11 September 2001 menyebabkan terbentuknya trend dan peristiwa di kancah internasional dan regional, khususnya di Asia Barat, yang masih meninggalkan pengaruhnya meskipun peristiwa ini sudah lama berlalu. Peristiwa ini dapat dianggap sebagai titik balik dalam kebijakan luar negeri Amerika.
Setelah serangan 11 September, George W. Bush, Presiden Amerika Serikat, mengambil pendekatan agresif dengan menyerang Afghanistan dan Irak dengan dalih perang global melawan terorisme. Dalam apa yang disebut perang global melawan terorisme ini, lebih dari satu juta orang tewas di Irak, Afghanistan, Suriah, Libya, dan Yaman.
Pendudukan Irak dan konsekuensinya pada akhirnya mengarah pada pembentukan kelompok teroris seperti Daesh (ISIS), yang menciptakan banyak kejahatan di Irak dan Suriah.
Namun, Amerika Serikat tidak mendapatkan hasil apa pun dari operasi militer ini dan meninggalkan Afghanistan pada tahun 2021 dengan kegagalan total, meskipun masih mempertahankan kehadiran militernya di Irak dan Suriah.
Selain ribuan tentara Amerika terbunuh dan terluka, perang ini juga membebani anggaran negara yang menurut Donald Trump, mantan Presiden Amerika Serikat, berjumlah 7 triliun dolar.
Pada saat yang sama, pemenang utama aksi militer AS setelah 11 September adalah perusahaan senjata negara itu.
Menurut penelitian Watson Institute of Public and International Affairs Brown University, setengah dari total anggaran Departemen Pertahanan AS (Pentagon) antara 2001 dan 2020, yang mencapai 14 triliun dolar, masuk ke berbagai kontraktor dan perusahaan senjata negara ini. Dari jumlah ini, 4,4 triliun dolar telah dialokasikan untuk kompleks industri militer AS.
Sejarawan dan analis internasional Charles Strozier mengatakan, "Serangan 11 September menciptakan krisis eksistensial yang mendalam di Amerika Serikat, setelah itu Washington bereaksi seperti "binatang yang terluka" dan meluncurkan perang rawa melawan terorisme sebagai negara adidaya dunia."
Isu lain yang patut mendapat perhatian dalam konteks ini adalah peran peristiwa 11 September dalam meningkatkan Islamofobia dan kekerasan terhadap umat Islam di Amerika. Survei menunjukkan bahwa dalam dua puluh satu tahun terakhir dan setelah insiden 11 September, Islamofobia meningkat di Amerika.
Banyak Muslim Amerika merasa bahwa mereka menjadi sasaran diskriminasi, kekerasan, rasa tidak hormat, dan kebencian karena kejahatan yang tidak mereka lakukan atau dukung.
Peringatan 20 tahun peristiwa 11 September diperingati kembali ketika Amerika Serikat masih menghadapi konsekuensi dari peristiwa yang menentukan ini. Sebuah peristiwa yang bisa disebut sebagai faktor fundamental bagi dimulainya era baru dalam hubungan internasional.
Islamofobia dan serangan kebencian terhadap umat Islam meningkat terutama selama pemerintahan mantan Presiden AS Donald Trump, yang jelas-jelas memiliki posisi sayap kanan yang ekstrem. Dengan dalih memerangi terorisme, Trump memfokuskan serangan dan tindakannya pada Muslim.
Secara khusus, dikeluarkannya executive order Trump yang melarang masuknya warga 6 negara Islam ke Amerika Serikat dan menyebut Muslim sebagai teroris menunjukkan pendekatan sepihaknya di bidang ini.
Harus dikatakan bahwa pemerintah Amerika sendiri telah menjadi salah satu faktor meningkatnya skeptisisme dan kekerasan terhadap Muslim Amerika, terutama di era Trump.
Mildred Elizabeth Sanders, profesor Cornell University, mengatakan, Perubahan terbesar yang terjadi di masyarakat Amerika setelah serangan 11 September adalah ketakutan Muslim dan meningkatnya skeptisisme terhadap Arab Saudi.
Isu penting yang diangkat dalam konteks debat 11 September adalah upaya presiden Amerika dari George W. Bush hingga Trump untuk menutupi peran Arab Saudi dalam mendukung agen serangan 11 September dengan dalih negatif dampak penerapan undang-undang ini terhadap hubungan bilateral antara Riyadh dan Washington.
Alasannya adalah kepentingan ekonomi dan strategis Amerika dan peran penting rezim Saudi di kawasan Asia Barat.
Meskipun Joe Biden awalnya mengambil sikap tegas terhadap rezim Saudi dan mengklaim untuk mendefinisikan kembali hubungan dengan Riyadh, tetapi pada akhirnya, sesuai dengan kepentingan dan pertimbangan strategis Amerika terhadap Riyadh, negara ini menjalin hubungan luas yang sama dengan Saudi dan penjualan senjata telah kembali ke Riyadh.
Terlepas dari klaim Amerika tentang perang melawan terorisme di tingkat global, tetapi dalam kasus-kasus seperti dukungan Saudi untuk para pelaku insiden 11 September, yang dianggap sebagai salah satu insiden teroris terpenting di abad ke-21, Washington telah menutup matanya untuk melihat fakta yang tak terbantahkan ini.(sl)