Amerika Tinjauan dari Dalam, 11 Maret 2023
(last modified Sat, 11 Mar 2023 09:30:35 GMT )
Mar 11, 2023 16:30 Asia/Jakarta
  • Gedung Putih.
    Gedung Putih.

Perkembangan di dalam negeri Amerika Serikat (AS) selama sepekan lalu diwarnai sejumlah isu penting, di antaranya adalah sanksi baru terhadap Republik Islam Iran.

Amerika Serikat telah menempatkan nama-nama beberapa individu dan perusahaan dalam daftar sanksi baru sebagai kelanjutan pendekatan standar ganda dan kebijakan tekanan maksimumnya terhadap Iran.

Sejalan dengan tujuan konfrontatif melawan Republik Islam, dan tekanan ekonominya terhadap Tehran, pemerintah AS menjatuhkan sanksi lebih banyak terhadap Iran.

Presiden AS Joe Biden telah berulang kali mengakui kegagalan kebijakan memaksimalkan tekanan terhadap Republik Islam Iran, tetapi dalam praktiknya mengikuti kebijakan yang sama karena sanksi dalam kebijakan AS selalu menjadi alat untuk mengejar tujuan sepihak mereka.

Meskipun menghadapi gelombang sanksi, tapi Republik Islam Iran telah membuat kemajuan yang signifikan dalam berbagai bidang ilmiah, ekonomi dan budaya.

Departemen Keuangan AS pada hari Rabu (8/3/2023) menempatkan nama delapan individu dan tiga perusahaan Iran dalam daftar sanksi dengan dalih pelanggaran hak asasi manusia.

Amerika Serikat adalah negara yang paling besar dalam menjatuhkan sanksi terhadap negara lain di dunia demi memaksakan agendanya terhadap negara lain.

AS Tekan Negara-Negara Baltik supaya Musuhi Rusia

Surat kabar Wall Street Journal mengungkapkan dalam sebuah laporan bahwa presiden negaranya telah menekan negara-negara Baltik terkait perang di Ukraina supaya mendukung Kyiv.

Negara-negara Baltik, termasuk Latvia, Lituania, dan Estonia telah berulang kali mendukung sanksi negara-negara Barat terhadap Rusia untuk mendukung Kyiv, dan mengeluarkan resolusi terhadap pemerintah Rusia tahun lalu.

Wall Street Journal dalam laporannya hari Minggu (5/3/2023) mengakui bahwa Presiden AS Joe Biden telah menekan para kepala negara Baltik untuk mengambil sikap tegas terhadap Rusia terkait perang di Ukraina.

Dalam kunjungan baru-baru ini ke Polandia, yang dilakukan setelah kedatangannya di Kyiv, Biden menegaskan kembali dukungannya terhadap Ukraina dan mengklaim bahwa mengakhiri konflik di Ukraina melalui diplomasi mungkin terjadi.

Tapi statemen ini dilakukan bersamaan dengan berlanjutnya dukungan bersenjata dari negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat terhadap Kyiv dalam perang Ukraina.

Moskow memandang langkah tersebut membuat perang terus berlanjut di negara ini, dan tidak akan membantu mengakhiri perang.

Ini Respon AS atas Kesepakatan Tehran dan Riyadh

Amerika Serika dalam respon pertamanya terkait kesepakatan Iran dan Arab Saudi menyatakan bahwa Washington mengetahui laporan pemulihan hubungan diplomatik antara Tehran dan Riyadh.

Setelah beberapa babak perundingan antara Sekretaris Dewan Tinggi Keamanan Nasional Iran, Ali Shamkhani dan timpalannya dari Arab Saudi, Musaad bin Mohammed al-Aiban di Beijing, Jumat (10/3/2023) diraih kesepakatan untuk memulai hubungan antara kedua negara. Dan hal ini diumumkan secara resmi dalam sebuah acara dengan ditandatangani statemen bersama antara Iran, Arab Saudi dan Cina.

Menurut laporan IRNA, Gedung Putih Jumat (10/3/2023), meski AS berpartisipasi dalam aksi-aksi koalisi Saudi di Yaman, mengklaim menyambut segala bentuk upaya untuk membantu mengakhiri perang di Yaman, dan meredam tensi di Asia Barat.

Masih menurut klaim Gedung Putih, penurunan tensi dan diplomasi bersama pertahanan merupakan pilar utama kebijakan yang diisyaratkan oleh Presiden AS Joe Biden.

Kunci untuk menghidupkan kembali hubungan bilateral Tehran-Riyadh setelah jeda 7 tahun terjadi selama kunjungan penting Presiden Iran Sayid Ebrahim Raisi ke Cina, di samping kesepakatan antara kedua negara, dan isu melanjutkan hubungan antara Iran dan Arab Saudi adalah salah satu proposal dari pihak Cina yang diajukan kepada Iran.

Berdasarkan kesepakatan kedua negara, menlu Iran dan Arab Saudi selain menggelar pertemuan, juga maksimal dua bulan akan mempersiapkan implementasi pertukaran dubes dan pembukaan kedutaan besar serta seluruh persyaratan untuk memulai hubungan.

Iran dan Arab Saudi seraya berterima kasih kepada Irak dan Oman karena menjadi tuan rumah perundingan antara kedua pihak dari tahun 2021 hingga 2022, juga mengucapkan terima kasih kepada pemerintah Cina karena menjadi tuan rumah serta dukungan terhadap dialog yang ada di negara ini, serta upaya untuk mensukseskan perundingan tersebut.

Arab Saudi memutuskan hubungan diplomatiknya dengan Iran mulai 3 Januari 2016 dengan alasan serangan sejumlah oknum ke kedutaan besar dan konsulatnya di Tehran dan Mashhad.

Biden Diminta Bantah Statemen Dubes AS soal Iran

Puluhan organisasi sosial Amerika Serikat dalam suratnya meminta Presiden Joe Biden untuk meralat, dan membantah statemen Duta Besar negara itu terkait Iran.

Sebanyak 45 organisasi sosial AS, Kamis (9/3/2023) dalam suratnya untuk Joe Biden, mendesak Presiden AS itu untuk mengumumkan penentangannya atas pernyataan Dubes AS untuk Wilayah pendudukan, Tom Nides.

Sebelumnya Dubes AS untuk Wilayah pendudukan mengatakan bahwa Washington, akan mendukung semua tindakan yang akan dilakukan Rezim Zionis terhadap Iran.

"Sebagaimana yang dikatakan Joe Biden, kami tidak akan diam menyaksikan Iran menguasai senjata atom. Semua opsi ada di atas meja, Israel bisa dan harus melakukan apa pun yang diperlukan untuk menghadapi ini, dan kami akan mendukung," kata Nides.

Di sisi lain 45 organisasi sosial AS dalam suratnya untuk Biden mengatakan, "Dengan maksud untuk menjaga keamanan kawasan, menjaga diplomasi di masa depan, dan menghormati tanggung jawab Kongres terkait wewenang perang, penting bagi Anda untuk mengklarifikasi bahwa statemen itu tidak mencerminkan kebijakan AS terkait Iran."

Organisasi-organisasi sosial AS itu mencemaskan statemen Tom Nides, mungkin saja digunakan oleh Israel sebagai izin tidak langsung dari AS untuk Tel Aviv untuk melakukan langkah militer terhadap Iran.

Menurut mereka, langkah militer Israel terhadap Iran, bertentangan dengan kepentingan keamanan AS, dan akan menghambat diplomasi dengan Iran.

Mengapa AS Khawatirkan Perubahan Tatanan Dunia ?

Komunitas intelijen Amerika Serikat dalam laporan terbarunya menyampaikan kekhawatiran tentang upaya Cina untuk mengubah tatanan dunia, dan risiko keamanan yang dihadapi Washington.

Laporan tersebut mengungkapkan,"Di tahun-tahun mendatang, Amerika Serikat dan sekutunya akan menghadapi lingkungan keamanan yang kompleks. Lingkungan ini didominasi oleh dua tantangan strategis kritis yang bersinggungan satu sama lain dan secara praktis akan mengintensifkan konsekuensi keamanannya,".

Dari laporan ini setidaknya dua masalah utama muncul. Pertama, kekuatan besar, kekuatan regional yang muncul, dan aktor non-negara akan berusaha mendominasi tatanan dunia. Mereka akan bersaing satu sama lain untuk menciptakan kondisi dan aturan yang akan membentuk tatanan tersebut dalam beberapa dekade mendatang.

Kedua, tantangan global bersama, termasuk perubahan iklim dan keamanan serta kesehatan, datang bersamaan ketika dunia sedang mengatasi epidemi Covid-19, dan menghadapi masalah ekonomi yang disebabkan oleh kerawanan energi dan pangan.

Tampaknya, Washington mengkhawatirkan perubahan mendasar tatanan dunia akibat perkembangan pasca Perang Dingin di kancah internasional, dengan kemunculan kekuatan internasional baru, terutama Cina, dan Rusia sebagai kekuatan internasional seiring dengan munculnya aktor regional yang berpengaruh, dan juga perubahan ekonomi dunia.

Simbol dari perubahan ini ditandai dengan penggantian bertahap Kelompok 20 yang terdiri dari kekuatan ekonomi global dan ekonomi berkembang berdampingan dengan kekuatan ekonomi regional, yang berarti berakhirnya dominasi ekonomi Barat dan munculnya kekuatan ekonomi baru di kancah regional dan global.

Selain itu, kekuatan rival Barat, yaitu Cina dan Rusia, bersama dengan ekonomi baru seperti India, Brasil, dan Afrika Selatan, yang semuanya merupakan anggota kelompok BRICS, secara khusus ingin menciptakan sistem multipolar, bukan unipolar.

Cina dan Rusia percaya bahwa perkembangan internasional dan realitas sistem dunia mendukung sistem multipolar. Sementara Amerika Serikat masih bersikeras mempertahankan sistem unipolar dan mencoba memainkan peran polisi dunia dalam mengejar tujuan dan tuntutannya secara unilateral.

Meningkatnya kerja sama dan kemitraan antara Rusia dan Cina selalu menghadapi reaksi negatif dari blok Barat, terutama dari Amerika Serikat. Sebab, Washington mengkhawatirkan peningkatan terus-menerus kekuatan dan pengaruh Beijing dan Moskow di arena regional dan internasional. Oleh karena itu, Barat melakukan segala upaya untuk menampilkan citra Cina dan Rusia sebagai ancaman bagi  kawasan Timur dan Eurasia, juga dunia.

Pejabat militer dan keamanan senior pemerintahan Biden telah berulang kali menyatakan Cina sebagai tantangan geopolitik terpenting bagi Amerika Serikat, dan mengklaim bahwa Beijing bermaksud mengubah sistem internasional berdasarkan tatanan multipolar.

Pada saat yang sama, mereka menganggap Rusia sebagai ancaman besar bagi Amerika Serikat dan sekutunya di Eropa, dan menekankan tekad mereka untuk mencegah Rusia memenangkan perang di Ukraina. Laporan komunitas intelejen AS menyebutkan bahwa persaingan strategis antara Amerika Serikat dan sekutunya dengan bloka Cina dan Rusia atas dunia akan menjadi sangat penting dalam menentukan siapa dan apa yang akan membentuk narasi di tengah tindakan Rusia di Ukraina.

Tampaknya perhatian terpenting Amerika Serikat mengenai peningkatan persaingan Cina dengan Amerika dan upaya Beijing untuk menjadi kekuatan ekonomi pertama di dunia dan aktor internasional yang menentukan. Dalam hal ini, laporan komunitas intelijen Amerika menyebutkan, "Cina memiliki kemampuan memadai untuk melakukan upaya langsung guna mengubah tatanan berbasis aturan global di semua bidang dan di berbagai kawasan."

Dalam pertemuan dengan Komisi Intelijen Senat AS, Avril Haines, Direktur Intelijen Nasional mengatakan, "Cina dalam aspek ekonomi, teknologi, politik dan militer menjadi tantangan Amerika di seluruh dunia, dan tetap menjadi prioritas yang tak tertandingi untuk Amerika."

Menlu AS: Amerika akan Lama Berada di Timteng

Menteri Pertahanan Amerika Serikat menyatakan bahwa Washington akan terus berada di Timur Tengah untuk waktu yang lama.

Menhan AS, Lloyd Austin dalam lawatannya ke Yordania hari Senin (6/3/2023) mengatakan, "Kami telah berulang kali meyakinkan sekutu bahwa kami akan berada di sini dalam jangka panjang, sebab ini kawasan yang penting, tidak hanya bagi kita, tetapi juga untuk seluruh dunia,".

Austin dalam statemen terbarunya yang disampaikan di Amman juga mengklaim bahwa Rusia menyediakan teknologi lain untuk Iran dengan imbalan teknologi drone dari Tehran.

Dari Yordania, Menteri Pertahanan AS melanjutkan perjalanan ke Mesir dan Palestina pendudukan.

Sebelumnya, Jake Sullivan, Penasihat Keamanan Nasional Gedung Putih dan Direktur CIA, Bill Burns, dan Kepala Staf Gabungan Angkatan Bersenjata AS telah melakukan perjalanan ke kawasan Asia Barat.